Tafsir QS. Al-Kafirun: Tak Ada Kompromi dalam Tauhid

Tampilan QS. Al-Kafirun dalam Al-Qur'an. Dok KIBRISPDR

Ikhbar.com: Al-Kafirun merupakan nama surat ke-109 dalam urutan mushaf Al-Qur’an. Terdiri dari enam ayat, surat tersebut masuk dalam kategori Makkiyah atau diturunkan di Kota Makkah.

QS. Al-Kafirun tergolong sebagai surat pendek karena memiliki ciri-ciri tahdzir (mewanti-wanti), tadzikir (member peringatan), dan takhwif (menakut-nakuti).

Berikut adalah bacaan lengkap QS. Al-Kafirun:

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ(١) لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ(٢) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ(٣) وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ(٤) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ (٥) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ(٦)

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Baca: Mendoakan Negara Aman Lebih Utama ketimbang Meminta Terhindar dari Kekafiran

Respons tawaran kafir

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim mengatakan, QS. Al-Kafirun diturunkan sebagai bentuk tanggapan atas tawaran orang-orang kafir Quraisy untuk menukar sesembahan secara bergiliran. Mereka mengajak umat Islam untuk menyembah berhala-berhala Quraisy selama satu tahun, kemudian mereka pun berjanji untuk menyembah Allah selama satu tahun berikutnya.

Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan, dua kalimat pertama, yakni ayat kedua dan ketiga surat tersebut menegaskan tentang perbedaan subtansial mengenai “al-Ma’bud” (yang disembah). Sedangkan dua kalimat terakhir, yaitu ayat keempat dan kelima menegaskan tentang perbedaan subtansial mengenai ibadah yang dilakukan oleh kepercayaan masing-masing.

“Dengan demikian, ‘ma’bud‘ kita tidak sama, dan ibadah pun tidak sama,” tegas Syekh Abduh.

Menurutnya, dalam ayat tersebut memberikan maksud yang begitu jelas, yaitu penolakan adanya pencampuran dalam bentuk apapun, seperti yang dinyatakan secara keliru oleh sebagian orang.

“Makna yang dapat disimpulkan dari ayat ini, sama seperti yang disimpulkan dari firman Allah QS. Al-An’am: 159,” katanya.

Kandungan QS. Al-An’am: 159 menceritakan tentang terpecah-belahnya ahlul kitab ketika Nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Mereka saling menyalahkan satu sama lain, Yahudi mengafirkan Nasrani, begitu pula sebaliknya.

Baca: Kafir Quraisy Kecele Fakta Isra Mikraj

Tak ada kompromi

Pendapat Syekh Abduh diperkuat dengan penjelasan KH. Abdul Malik Amrullah atau Buya Hamka. Melalui Tafsir Al-Azhar, ia menegaskan bahwa tauhid tidak bisa dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan tindakan syirik.

“Ketika tauhid didamaikan dengan syirik, itu artinya kemenangan syirik,” tegas Buya Hamka.

Hal senada juga diungkapkan Syekh Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy dalam Tafsir Al-Qur’an al-Majid an-Nur. Ia menjelaskan, dalam surat tersebut menandaskan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tidaklah sama dengan ma’bud ataupun pujaan orang-orang musyrik.

“Demikian pula ibadah Muhammad dan umatnya yang harus berdasarkan keikhlasan dan ketulusan hati yang bersih,” jelasnya.

Ulama ahli tafsir lainnya, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah membahas cukup panjang terkait kandungan QS. Al-Kafirun ini.

Ia mengatakan, dalam ketiga ayat paling awal dari QS. Al-Kafirun disimpulkan bahwa Allah berpesan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menolak secara tegas usul yang diajukan kaum orang-orang kafir saat itu.

“Ayat-ayat itu menegaskan bahwa tidak mungkin ada titik temu antara Nabi Saw dengan tokoh-tokoh tersebut. Sebab kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka, serta kekerasan kepala mereka telah mencapai puncaknya. Sehingga tidak ada sedikit harapan atau kemungkinan, baik masa kini maupun masa mendatang, untuk bekerja sama dengan tokoh-tokoh tersebut,” jelasnya.

Lebih lanjut, terkait makna “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” Prof. Quraish mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik. Sehingga tiap-tiap pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.

Sementara itu, Imam Ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an memberi penjelasan bahwa keseluruhan pada QS. Al-Kafirun tersebut dimaksudkan untuk menyembah Allah Swt.

“Ayat terakhir menjadi sikap tegas Rasulullah Saw untuk mengatakan berbeda dengan orang-orang kafir,” tulis Imam Ath-Thabari.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.