Ikhbar.com: Kreativitas peserta kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dan pendukungnya semakin berkembang. Berbagai pendekatan dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas pasangan calon (paslon), salah satunya dengan ramai-ramai mengungkapkan nazar atau semacam janji, hingga menjadi trending topic di sejumlah platform media sosial (medsos) melalui tanda pagar (tagar) #NazarPemilu.
Nazar Pemilu yang banyak menyemburat tersebut berisi janji-janji terkait urusan politik untuk memilih calon tertentu, mengikuti partai tertentu, atau mendukung kebijakan tertentu. Berdasarkan kaca mata fikih, hukum nazar tersebut setara dengan nazar pada umumnya, yaitu tergantung pada niat dan tujuan.
Imam Ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan:
يَعْنِي بِالنَّذْرِ: مَا أَوْجَبُهُ الْمَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ تَبَرُّرًا فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَتَقَرُّبًا بِهِ إِلَيْهِ، مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَمَلِ خَيْرٍ
“Yang dimaksud dengan nazar adalah apa yang seseorang wajibkan atas dirinya sendiri dalam rangka melakukan kebaikan dalam ketaatan kepada Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya, baik sedekah maupun amal kebajikan.”
Sementara itu, Imam Al-Baghowi dalam At-Tahdziib fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i mendefinisikan nazar sebagai berikut:
أَنْ يُوْجِبَ [المرْءُ] عَلَى نَفْسِهِ قُرْبَةً لَمْ يُوْجِبْهَا الشَّرْعُ عَلَيْهِ
“Seseorang mewajibkan atas dirinya suatu ibadah yang tidak diwajibkan syari’at atasnya.”
Baca: Hukum Terima Uang dari Caleg atau Tim Sukses Capres menurut Fikih
Jenis nazar
Syekh Abdul Hamid Al-Makki As-Syarwani, dalam Hawasyi as-Syarwani menyebut dua macam nazar yang biasa berlaku umum, yaitu nazar lajjaj dan nazar tabarrur.
Nazar lajjaj adalah nazar yang bertujuan untuk memotivasi, mencegah, atau meyakinkan seseorang tentang sesuatu, dengan menggantungkan janji pada suatu syarat atau kondisi. Contohnya, pernyataan seseorang, “Jika saya tidak berhasil menyelesaikan kuliah tahun ini, maka saya akan menyumbangkan dua juta rupiah.” Niat tersebut disampaikan dengan tujuan untuk memberikan motivasi kepada dirinya sendiri, agar dapat terhindar dari kewajiban menyumbangkan jumlah yang telah dijanjikan, sehingga ia termotivasi untuk menyelesaikan kuliah.
Sementara nazar tabarrur adalah janji yang menyanggupi untuk melakukan suatu ibadah atau kebaikan, tanpa menggantungkannya pada suatu syarat atau kondisi, atau menggantungkannya pada sesuatu yang diharapkan. Contohnya, seseorang berkata, “Jika paslon A menang, saya akan bersedekah satu juta rupiah.” Kemenangan paslon A adalah sesuatu yang diharapkan. Ketika harapan itu sungguh-sungguh terjadi, maka ia berkewajiban untuk membayar sedekah sejumlah yang dinazarkannya.
Baca: Nihil Capres Perempuan, Ini Tips Memilih ala Ning Uswah
Hukum nazar
Menurut sebagian ulama, nazar yang menggantungkan kebajikan pada syarat atau kondisi tertentu hukumnya adalah makruh. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang berasal dari Ibnu Umar.
أَوَلَمْ يُنْهَوْا عَنِ النَّذْرِ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِالنَّذْرِ مِنَ البَخِيلِ
“Apakah mereka belum dilarang dari bernazar? Sesungguhnya Nabi Saw bersabda, ‘Sesungguhnya nazar tidaklah memajukan dan tidak pula memundurkan sesuatu pun, akan tetapi dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat yang lain, Abu Hurairah mengabarkan bahwa Nabi Muhammad Saw telah bersabda:
لَا تَنْذِرُوا، فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah kalian bernazar, karena sesungguhnya nazar tidaklah memengaruhi (mengubah) takdir sama sekali, dan hanya saja nazar dikeluarkan dari orang yang bakhil.” (HR Muslim).
Namun, menurut ulama lain, melakukan nazar hukumnya adalah mubah. Pasalnya, nazar adalah salah satu bentuk ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Namun, dalam hal ini, nazar harus dilakukan dengan niat yang ikhlas, tidak ria (pamer), tidak sum’ah (memperdengarkan amal), dan tidak mengandung unsur maksiat atau kemungkaran.
Apabila seseorang telah bernazar, maka ia wajib menunaikannya, kecuali jika janji tersebut bertentangan dengan syariat Islam.
Jika seseorang tidak menunaikan nazarnya, maka ia berdosa dan harus membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak, memberi makan sepuluh orang miskin sebanyak 0,6 kilogram atau ¾ liter makanan pokok, atau memberi pakaian kepada mereka. Namun, ketika seseorang itu tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut, maka ia harus berpuasa selama tiga hari.