Hukum Study Tour dalam Islam

Ilustrasi study tour. Dok PEXELS

Ikhbar.com: Kecelakaan bus pariwisata di Jalan Raya Kampung Palasari, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada Sabtu, 11 Mei 2024, telah menyedot perhatian publik. Bus yang membawa rombongan pelajar dan guru dari SMK Lingga Kencana Kota Depok yang baru saja mengadakan acara perpisahan di Bandung itu oleng lalu menabrak satu mobil dan tiga sepeda motor hingga menewaskan 11 orang dan mengakibatkan puluhan lainnya luka-luka.

Insiden yang terjadi saat study tour hingga memakan korban meninggal bukan baru sekali ini terjadi. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 9 Januari 2024, bus karyawisata pelajar yang ditumpangi rombongan siswa SMAN 1 Sidoarjo mengalami kecelakaan di Tol Solo-Ngawi, Jawa Timur. Insiden menewaskan dua orang dan menyebabkan tiga orang luka-luka.

Selain berisiko kecelakaan, study tour juga kerap dianggap sebagai program yang memberatkan, terutama bagi para orang tua/wali siswa. Pasalnya, mereka harus merogoh kocek tambahan yang tidak sedikit untuk kegiatan yang biasa digelar di setiap akhir tahun ajaran tersebut.

Lantas, seperti apa sebenarnya hukum study tour menurut Islam? Bagaimana pandangan ulama terkait kegiatan wisata dengan misi memperoleh ilmu pengetahuan lapangan?

Baca: Pentingnya Doa dan Perencanaan sebelum Bepergian

Wisata menurut Islam

Unsur terbesar dalam kegiatan study tour adalah tamasya atau wisata. Bedanya, dalam program yang juga biasa disebut karyawisata itu, para siswa dibebani dengan sejumlah tugas semacam kesimpulan hasil observasi maupun pencatatan lapangan selama proses kunjungan.

Syekh Ibrahim Anis, dalam Al-Mu’jam al-Wasith menyebutkan, ajaran Islam sejatinya tidak mengadopsi istilah wisata. Dalam arti, wisata yang dimaknai hanya dengan berjalan-jalan ke suatu tempat untuk rekreasi.

Hal itu terbukti ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi Muhammad Saw meminta izin untuk berwisata, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Sesunguhnya wisata umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud).

Akan tetapi, menurut sebagian besar ulama, berwisata kemudian diperbolehkan jika kegiatan itu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan kepada Allah Swt, maupun menambah ilmu pengetahuan. Hal itu, berdasarkan pada anjuran dalam QS. Al-An’am: 11, Allah Swt berfirman:

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِيْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.”

Syekh Jamaluddin Al-Qasimi, dalam Mahasinu at-Ta’wil menegaskan, wisata diperbolehkan bagi mereka yang berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasihat, pelajaran, dan manfaat lainnya.

Baca: Anjuran Merantau dalam Al-Qur’an

Kepentingan pengetahuan

Wisata, bahkan menjadi sesuatu yang dianjurkan jika hal itu dilakukan demi pencarian ilmu pengetahuan yang kemudian disebarkan kembali ke khalayak yang lebih luas.

Syekh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits menjelaskan, wisata dengan pemaknaan seperti itu sesuai dengan kandungan QS. At-Taubah: 112). Allah Swt berfirman:

اَلتَّاۤىِٕبُوْنَ الْعٰبِدُوْنَ الْحٰمِدُوْنَ السَّاۤىِٕحُوْنَ الرّٰكِعُوْنَ السّٰجِدُوْنَ الْاٰمِرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّاهُوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحٰفِظُوْنَ لِحُدُوْدِ اللّٰهِ ۗوَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

“(Mereka itulah) orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), rukuk dan sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.”

Bahkan, bisa berlaku sebaliknya. Berwisata bisa dihukumi boleh atau justru dianjurkan ketika hal itu dinilai bisa memacu semangat dalam menuntut ilmu. Dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menjelaskan:

ولابأس أن يريح نفسه وقلبه وذهنه وبصره إذا كل شيء من ذالك وضعف بتنزه وتفرج في المتنزهات بحيث يعود إلى حاله ولايضيع عليه.

“Tidak masalah bagi penuntut ilmu untuk mengistirahatkan jiwa, hati, pikiran, atau matanya ketika lelah dan lemah (bosan/tidak bersemangat dalam belajar) dengan cara berwisata dan bersantai di tempat-tempat wisata, dengan harapan dapat kembali pada kondisi semula, serta tidak menyia-nyiakan kondisi tersebut.”

Baca: Bangga Bermaksiat, Enggak Bahaya Tah?

Study tour yang diharamkan

Study tour maupun kegiatan wisata dalam jenis apapun bisa dihukumi haram ketika berpotensi mengandung kemaksiatan dan mengancam keselamatan.

Para ulama dalam lembaga fatwa Arab Saudi, Al-Lajnah Ad-Daimah menegaskan, wisata tidak boleh dilakukan di tempat-tempat yang gandrung dengan kemaksiatan dan kemunkaran.

“Jika wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak ke arah tersebut, maka tidak boleh bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintahNya. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu,” tulis mereka.

Fatwa serupa juga ditetapkan bagi kegiatan yang mengancam keselamatan. Baik keselamatan badan, jiwa, maupun akidah.

“Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan.”

Salah satu ikhtiar dalam menjaga keamanan saat berwisata adalah dengan terlebih dulu memastikan segi sarana prasarana, termasuk kendaraan yang akan digunakan agar sesuai dengan standar keselamatan, sekaligus dikendarai sesuai dengan aturan tata tertib lalu lintas di perjalanan.

Menurut sebagain ulama kontemporer, secara tidak langsung, anjuran tertib lalu lintas tersebut telah disinggung dalam QS. Luqman: 19. Allah Swt berfirman:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

“Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, kata “ughdhudh” terambil dari kata “ghadhdh” yang memiliki arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna.

Oleh karena itu, boleh tidaknya atau halal-haramnya sebuah perjalanan, termasuk study tour, bisa dipengaruhi oleh tujuan (baik tujuan tempat maupun tujuan dilakukannya perjalanan), jaminan keselamatan, kadar memberatkan/keterpaksaan, serta persiapan yang matang sebagai ikhtiar mendapatkan keselamatan secara maksimal.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.