Ikhbar.com: Ibadah haji adalah puncak perjalanan spiritual bagi umat Islam. Lebih dari sekadar ritual tahunan, haji menjadi simbol totalitas penghambaan diri. Namun, dalam praktiknya, banyak jemaah terjebak dalam aspek teknis. Mereka fokus pada sah-tidaknya ibadah, tetapi luput dari kedalaman makna.
Kesadaran akan dimensi fikih haji yang menyeluruh sangat penting. Mulai dari memahami rukun, syarat, dan sunah, hingga menavigasi praktik-praktik baru seperti dokumentasi digital. Semua itu memerlukan kehati-hatian, bukan hanya mengikuti arus atau mencari kemudahan.
Baca: Cara Nabi Ibrahim Temukan Fondasi Ka’bah
Jangan sekadar teknis
Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) An-Nidhomiyah Japura Kidul, Cirebon, Jawa Barat, KH Syafi’i Fathurrohman mengajak umat Muslim untuk menyelami ibadah haji secara utuh. Ia menilai, pemaknaan yang hanya berhenti pada sisi teknis adalah gejala umum yang perlu diperbaiki melalui pendidikan fikih yang komprehensif.
“Kalau banyak masyarakat hanya memaknai rukun, wajib, dan sunah haji sebatas teknis, sesungguhnya itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Barangkali karena minimnya pengetahuan,” ujarnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Esensi Ibadah Haji” di Ikhbar TV, dikutip pada Rabu, 14 Mei 2025.
Rukun haji adalah fondasi. Tanpa rukun, ibadah haji tidak sah. Sedangkan sunah adalah penyempurna. Sayangnya, rukun dan sunah kerap dijalankan sekadar untuk menggugurkan kewajiban.
“Sayang kalau ibadah seperti haji hanya dikerjakan untuk gugur kewajiban. Rukun-rukun itu harus diresapi maknanya agar ibadah kita tidak hanya sah, tapi juga bermakna,” ucapnya.
Kiai Syafi’i, sapaan karibnya, menekankan pentingnya ketulusan dalam menjalankan setiap rangkaian ibadah. Dalam hal sunah misalnya, meski tidak wajib, praktiknya dapat meningkatkan kualitas spiritual pelaku. Ibadah bukan sekadar rangkaian gerakan, tetapi perjalanan batin menuju keikhlasan.

Baca: Reformasi Fikih ala Imam Syafi’i
Tata laksana pindah mazhab
Intiqal mazhab (Berpindah mazhab) dalam pelaksanaan haji merupakan kebutuhan dalam kondisi tertentu. Banyak jemaah asal Indonesia yang bermazhab Syafi’i menghadapi tantangan teknis saat ibadah di Tanah Suci. Salah satunya adalah padatnya Masjidil Haram, yang membuat bersentuhan dengan lawan jenis sulit dihindari.
Dalam Mazhab Syafi’i, hal ini membatalkan wudu. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, wudu tetap sah selama tidak disertai syahwat. Perbedaan ini mendorong sebagian jemaah untuk menggunakan pendapat Maliki guna menjaga kelancaran ibadah.
“Kalau memang ditemukan kondisi yang menyulitkan secara fikih, terutama yang bisa membahayakan atau memberatkan jemaah, maka berpindah mazhab menjadi solusi yang sah secara syar’i,” jelas Kiai Syafi’i.
Meski demikian, perubahan mazhab harus dilakukan secara utuh. Tidak boleh mencampur antara satu mazhab dengan yang lain dalam satu paket ibadah.
“Tidak boleh dalam satu ibadah mencampur mazhab sesuka hati. Misalnya, wudunya pakai Syafi’i, tapi soal batalnya pakai Maliki. Itu tidak sah. Harus satu rangkaian penuh sesuai mazhab yang dipilih,” tegasnya.
Dalam konteks haji, intiqal mazhab menjadi jalan tengah yang diperbolehkan syariat. Namun, tetap harus disertai pemahaman dan niat yang benar.
“Harus ada niat yang benar. Jangan hanya ambil enaknya,” ucapnya mengingatkan.
Kiai Syafi’i menilai, peran Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) sangat krusial dalam hal ini. Mereka harus mampu menjelaskan perbedaan pandangan mazhab dan memberi bimbingan agar perpindahan dilakukan dengan landasan syariat.
“Pemerintah dan pembimbing harus menjelaskan secara detail kepada jemaah tentang tata cara intiqal mazhab, agar niat baik beribadah tidak justru menimbulkan kekeliruan,” ungkapnya.
Baca: Hukum Pamer Sedekah di Medsos
Bijak dokumentasi
Fenomena selfie (swafoto) saat haji telah menjadi perbincangan luas. Jemaah kerap mengabadikan momen spiritualnya di sekitar Ka’bah, termasuk saat tawaf. Tindakan ini menimbulkan perdebatan. Sebagian memandangnya sebagai gangguan, sebagian lain menganggapnya bentuk ekspresi diri.
Menurut Kiai Syafi’i, selfie diperbolehkan secara fikih. Syaratnya, tidak mengganggu pelaksanaan ibadah dan tidak melanggar aturan Arab Saudi.
“Selfie itu silakan saja, tapi setelah selesai ritual. Misalnya, setelah tawaf tujuh putaran, setelah salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, baru silakan ambil foto,” katanya.
Ia mengingatkan, jangan mengambil gambar saat sedang menjalankan rukun. Aktivitas semacam ini berpotensi mengganggu kekhusyukan dan bahkan mengganggu jemaah lain.
Selain itu, perlu diperhatikan aspek batiniah dari ibadah. Jangan sampai dokumentasi menggerus keikhlasan.
Kiai Syafi’i juga menyoroti pentingnya menimbang pandangan sosial. Meski niat selfie tidak riya, persepsi publik bisa berbeda.
“Kadang Allah menilai seseorang berdasarkan pandangan masyarakat terhadapnya. Kalau orang lain menganggap kita riya karena terlalu banyak selfie, bisa jadi nilai ibadah kita pun berkurang,” jelasnya.
Maka, dokumentasi pribadi tetap bisa dilakukan, selama dilakukan dengan penuh kesadaran, tidak mencolok, dan tidak melanggar ketentuan pemerintah setempat.
Di pengujung pembahasan, Kiai Syafi’i menjelaskan bahwa dalam semua bentuk ibadah, termasuk haji, yang dicari bukan hanya keabsahan, tetapi juga kualitas. Melakukan ibadah hanya dengan memenuhi syarat formal, tidak menjamin keterhubungan spiritual yang dalam dengan Allah Swt.
Pemahaman fikih yang luas, keikhlasan hati, serta perhatian terhadap dampak sosial ibadah menjadi penentu nilai akhir sebuah pengabdian. Fikih haji bukan sekadar tentang hukum sah dan batal. Ia adalah kompas moral dan spiritual untuk menjaga arah ibadah tetap lurus menuju rida Allah Swt.
“Ibadah haji itu bukan hanya soal sah secara syariat, tapi juga soal keikhlasan dan fokus hati,” pungkasnya.