MBG bakal Masukkan Kuliner Lokal dalam Menu, Ini Hukum Memakan Belalang dan Ulat Sagu

Rencana Badan Gizi Nasional (BGN) memicu pertanyaan mengenai hukum konsumsi belalang dan ulat sagu dalam Islam.
Belalang dan ulat sagu goreng dijajakan di pasar kuliner Thailand. FREEPIK/EyeEm

Ikhbar.com: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Badan Gizi Nasional (BGN) membawa inovasi baru dalam menu makanan yang akan disajikan. Kepala BGN, Dadan Hindayana, pekan lalu menyatakan bahwa menu MBG akan menyesuaikan dengan kebiasaan dan potensi pangan lokal. Serangga seperti belalang dan ulat sagu disebut sebagai sumber protein potensial dalam program tersebut.

Pernyataan itu pun memicu pertanyaan mengenai hukum konsumsi belalang dan ulat sagu dalam Islam. Lantas, seperti apa penjelasannya?

Baca: Kuliner Islam Pelopor Makanan Sehat Dunia

Kandungan gizi

Belalang memiliki kandungan nutrisi yang kaya. Dalam belalang segar, protein mencapai 20%, sementara pada belalang kering mencapai sekitar 40%. Selain protein, belalang juga mengandung vitamin A yang dapat memenuhi 25 hingga 30% kebutuhan harian. Kulit belalang mengandung kitosan, zat yang juga terdapat dalam kulit udang.

Menurut Guru Besar Ilmu Gizi, sebagaimana dikutip dari laman IPB University, Ahmad Sulaiman mengatakan, protein dalam belalang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan. Kekurangan protein dapat menghambat penyerapan zat gizi lainnya. Pemanfaatan belalang sebagai sumber protein di Indonesia masih perlu digali lebih dalam agar lebih menarik dan diterima oleh masyarakat.

Berbeda dengan belalang, ulat sagu merupakan makanan lokal khas di beberapa daerah, seperti Papua. Ulat sagu mengandung berbagai nutrisi penting. Dalam 100 gram ulat sagu kering terdapat 25,8 gram protein, 38,5 gram lemak, 2,1 gram abu, 33,2 gram karbohidrat, dan menghasilkan energi sebesar 583 kkal.

Ulat sagu baik untuk pencernaan karena membantu mencegah sembelit dan perut kembung. Kandungan kalsium dan magnesiumnya bermanfaat bagi kesehatan tulang dan gigi. Selain itu, ulat sagu aman bagi penderita diabetes karena rendah gula dan dapat menjaga kadar gula darah. Sifat antimikrobanya juga memberikan perlindungan terhadap infeksi mikroorganisme.

Baca: 3 Resep Rahasia Dapur Istana Era Kekhalifahan Islam

Belalang disepakati halal

Dalam Islam, suatu makanan dikatakan halal jika tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Allah Swt berfirman:

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Makanlah sebagian apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai (rezeki) yang halal lagi baik dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. An-Naḥl: 114).

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah Muhammad Saw juga menjelaskan mengenai jenis makanan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi meski dalam keadaan bangkai.

Nabi Saw bersabda:

أحلت لكم ميتتان ودمان، فأما الميتتان: الجراد والحوت، وأما الدمان: فالطحال والكبد

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah, dua bangkai yaitu bangkai belalang dan ikan, sedangkan dua darah yaitu limpa dan hati.” (HR. Baihaqi).

Dari praktik yang dilakukan para sahabat, disebutkan pula dalam hadis:

غَزَوْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ

“Kami berperang bersama Rasulullah Saw dalam tujuh peperangan dan kami memakan belalang.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama juga memberikan pandangan mengenai kehalalan belalang. Syekh Kamaluddin Ad-Damiri dalam Hayat al-Hayawan al-Kubra menjelaskan bahwa umat Islam sepakat atas kehalalan serangga terssebut. Begitu juga Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ yang juga menegaskan bahwa bangkai selain ikan dan belalang haram dikonsumsi, sedangkan ikan dan belalang diperbolehkan tanpa penyembelihan.

Di Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor Kep-13/MUI/IV/Tahun 2000 juga menegaskan bahwa belalang halal dikonsumsi selama tidak menimbulkan mudarat.

Baca: Tidak cuma Tanah, Israel juga Klaim Makanan Khas Palestina

Ulat sagu lebih kompleks

Berbeda dengan belalang, ulat sagu memiliki perbedaan hukum di kalangan ulama. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, diceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah memeriksa kurma yang telah lama disimpan dan mengeluarkan ulat darinya.

عنْ أنَسِ بنِ مَالِكِ قالَ: أُتِيَ النّبيّ صلى الله عليه وسلم بِتَمْرِ عَتِيقٍ فَجَعَلَ يُفَتّشُهُ يُخْرِجُ السّوسَ مِنْهُ

“Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw diberi kurma yang sudah usang. Lalu beliau meneliti kurma itu dan mengeluarkan ulat dari kurma tersebut.” (HR. Abu Dawud).

Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa ulat dan serangga lain yang tak memiliki darah mengalir tidak termasuk bangkai selama tidak disengaja membunuhnya. Sebagian ulama membolehkan konsumsi ulat sagu karena dianggap sejenis larva yang berasal dari makanan alami, sementara sebagian lain melarangnya karena dianggap bangkai.

Pendapat ulama mazhab Syafi’iyah mengenai ulat terbagi menjadi tiga. Pertama, halal jika masih menyatu dengan makanan asalnya. Kedua, haram secara mutlak, dan ketiga, halal hanya jika tidak dapat dipisahkan dari makanan asalnya.

Al-Khatib Al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj menjelaskan bahwa ulat yang lahir dari makanan seperti cuka, keju, dan buah-buahan dapat dikonsumsi jika tidak dapat dipisahkan. Jika mudah dipisahkan, maka ulat tersebut haram dikonsumsi.

Sementara Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa ulat sagu boleh dimakan sebelum memiliki ruh. Setelah ruh ditiupkan, ulat sagu menjadi haram karena dianggap sebagai bangkai.

Baca: Soft Drink Pertama di Dunia Lahir dari Dapur Muslim, Cikal-bakal Coca Cola

Dalam Islam, belalang dinyatakan halal berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan ijmak ulama. Sementara itu, hukum ulat sagu lebih kompleks. Pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’i membolehkan konsumsi ulat sagu jika masih menyatu dengan makanan asalnya dan sulit dipisahkan. Bagi masyarakat yang ingin mengonsumsinya, sebaiknya mempertimbangkan kaidah fikih dan kebiasaan lokal.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.