Ikhbar.com: Kanal informasi dan data film di Indonesia, Cinepoint mencatat jumlah penonton film “Pabrik Gula” telah mencapai 3.806.590 orang hingga pertengahan April 2025. Angka itu menempatkannya sebagai salah satu film horor lokal terlaris tahun ini. Tak hanya Pabrik Gula, film “Qodrat 2″ juga telah menyedot perhatian publik dengan 1.776.821 penonton.
Tren film horor di Indonesia terus meningkat. Sepanjang 2024, komunitas film Cinecrib mencatat sebanyak 68 judul bergenre horor tayang di bioskop. Jumlah tersebut meningkat sebesar 30,7% dibanding tahun sebelumnya.
Tak hanya jumlah, minat penonton pun melonjak. Per 29 Desember 2024, film-film horor di Indonesia telah disaksikan oleh lebih dari 57 juta penonton. Tema yang paling banyak diangkat ialah pesugihan, yakni sebesar 33%, disusul balas dendam (31), kerasukan (8), cinta (6), kutukan (3), dan lainnya (19).
Bahkan, film berjudul “KKN di Desa Penari” mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah perfilman nasional. Dirilis pada 2022, film ini ditonton lebih dari 10 juta orang hanya dalam waktu sebulan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang tak lagi sederhana. Apakah menonton film horor semacam ini diperbolehkan dalam Islam? Bagaimana jika isi film mengandung unsur gaib, kekerasan batin, bahkan kesyirikan? Diskusi seputar hukum film horor pun terus bergaung, seiring meningkatnya antusiasme publik terhadap genre tersebut.
Menimbang tontonan
Ulama terkemuka asal Mesir, Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām memberikan pandangan yang cukup lentur. Menurutnya, sinema termasuk sarana hiburan yang netral. Hukumnya ditentukan oleh isi, bukan bentuknya.
ويتساءل كثير من المسلمين عن موقف الإسلام من ذور الخيالة “السينما” والمسرح وما شبهها,وهل يحل للمسلم ارتيادها أم يحرم عليه؟ ولا شك أن “السينما” وما ماثلها أداة هامة من أدوات التوجيه والترفيه. وشأنها شأن كل أداة فهي إما أن تستعمل فى الخير أو تسعتعمل فى الشر, فهي بذاتها لا بأس بها ولا شيء فيها. والحكم فى شأنها يكون بحسب ما تؤديه وتقوم به
“Banyak dari kalangan umat Islam bertanya pendapat Islam mengenai pertunjukan sinema (bioskop), sandiwara dan semacamnya, apakah halal bagi umat Islam untuk mengikutinya atau haram? Tidak diragukan bahwa sinema dan yang sejenisnya merupakan sarana penting dari sekian banyak sarana hiburan. Hukumnya sama seperti sarana pada umumnya. Adakalanya digunakan untuk kebaikan, ada kalanya digunakan untuk keburukan. Melihat dzatiyah-nya, tidak ada masalah, maka hukumnya adalah dengan mempertimbangkan isi di dalamnya.”
Dengan demikian, film, termasuk yang bergenre horor, tidak serta merta dilarang. Aspek yang diperiksa adalah isi dan dampaknya. Bila kontennya positif, maka boleh ditonton. Bila menyesatkan atau mendorong pada hal yang buruk, maka dilarang.
Syekh Al-Qardhawi kemudian mengajukan tiga kriteria agar aktivitas menonton film tetap berada dalam koridor syariat.
Pertama, isi film harus bersih dari kekufuran, kefasikan, dan pelanggaran terhadap akidah. Kedua, tidak membuat penonton meninggalkan kewajiban agama seperti salat. Ketiga, menghindari situasi bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam suasana yang berpotensi menimbulkan fitnah.
Baca: ‘How to Make Millions Before Grandma Dies,’ Pentingnya Ketulusan dalam Birrul Walidain
Unsur ketakutan hingga kesyirikan
Persoalan muncul ketika isi film mengandung unsur gaib yang direka-reka. Tema seperti pemujaan jin, pesugihan, atau sesajen bisa menjerumuskan pada kesyirikan simbolik.
Dalam hal ini, film bergenre horor bisa dinilai sebagai tontonan yang mampu menciptakan ketakutan berlebihan. Jika dilihat dari sudut ini, maka bisa dihukumi melanggar prinsip Islam yang melarang untuk menakut-nakuti sesama.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak boleh bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim lainnya.” (HR. Abu Dawud)
Terlebih, bila film tersebut mengandung elemen syirik. Misalnya, ritual sesajen untuk jin, pemujaan pada makhluk gaib, atau adegan-adegan yang menyerupai peribadahan selain kepada Allah Swt. Praktik seperti itu dilarang secara tegas di dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا
“Dan, orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. Al-Furqān: 72)
Imam Al-Baidhawi menjelaskan bahwa menghadiri kebatilan tanpa menolaknya adalah bentuk persetujuan diam-diam. Dalam konteks ini, menonton film yang memuat ritual batil bisa termasuk dalam larangan tersebut jika tanpa sikap kritis.
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw juga menolak ritual keagamaan yang dilakukan di tempat bekas penyembahan berhala, meski konteksnya berbeda. Hal itu dilakukan agar tidak menimbulkan kesan pembenaran terhadap kebatilan masa lalu.
Rasulullah Saw bersabda:
لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ
“Tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, Islam memberi perhatian besar pada simbol dan makna di balik suatu tindakan. Menonton film bukan sekadar hiburan visual, tetapi juga bagian dari proses pembelajaran nilai dan sikap.
Baca: Hukum Merayakan Halloween bagi Umat Islam
Jalan tengah
Di tengah arus industri film yang terus berkembang, umat Islam dituntut bersikap selektif.
Mengharamkan semua film horor bisa jadi bentuk sikap berlebihan. Tetapi menganggap seluruhnya tidak bermasalah juga menunjukkan sikap abai.
Jalan tengah diperlukan agar hiburan tidak menggerus nilai keimanan.
Penonton juga perlu dibekali literasi. Anak-anak dan remaja mesti diajarkan bahwa dunia gaib bukan bahan spekulasi liar. Keyakinan pada jin dan makhluk halus harus dikembalikan pada koridor Al-Qur’an dan hadis. Imajinasi horor tidak boleh menggantikan pengetahuan tauhid.
Para pembuat film pun memiliki tanggung jawab moral. Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari nilai. Unsur hiburan yang memicu ketakutan atau melanggar akidah perlu dipertimbangkan ulang. Islam tidak mengharamkan seni, tetapi mengarahkan agar seni tetap memuliakan manusia.
Dalam konteks ini, prinsip La dharara wa la dhirara (tidak membahayakan dan tidak saling membahayakan) menjadi acuan penting. Film horor yang memicu kecemasan, trauma, atau keyakinan batil bisa masuk dalam wilayah larangan syariat.
Alhasil, menonton film horor tidak otomatis dilarang. Hukum bergantung pada isi, efek, dan niat yang menyertainya. Islam memandang film sebagai sarana. Bila ia mendidik, menghibur, dan tidak bertentangan dengan prinsip syariat, maka ia diperbolehkan.
Sebaliknya, bila film mengandung kesyirikan simbolik, menggambarkan hal gaib secara menyesatkan, atau menimbulkan ketakutan yang tidak perlu, maka Islam menyarankan untuk menjauhinya. Jalan tengah menjadi pilihan bijak. Seperti kata ulama, bukan bentuknya yang dinilai, melainkan makna dan dampaknya.