Reformasi Fikih ala Imam Syafi’i

Imam Syafi’i tidak segan untuk mengoreksi pandangan gurunya jika menemukan dalil yang lebih kuat.
Lukisan imajiner Imam Syafii muda. PIXABAY/Juda

Ikhbar.com: Di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam, Muhammad bin Idris al-Syafii atau Imam Syafi’i menempati posisi yang istimewa sebagai seorang pembaharu dalam ilmu fikih. Imam Syafi’i adalah pendiri mazhab fikih yang sekaligus mampu meletakkan dasar-dasar metodologi yang sistematis dalam ushul fikih.

Dengan kecerdasan luar biasa, kejujuran intelektual, serta keteguhan dalam mencari kebenaran, Imam Syafi’i berhasil menyatukan berbagai pendekatan hukum Islam yang sebelumnya berkembang secara terpisah.

Baca: Imam Syafi’i pun Pernah Dituduh Lakukan Kampanye Hitam

Pencarian kebenaran

Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H (767 M) di Gaza, Palestina. Sejak kecil, ia telah menunjukkan bakat luar biasa dalam ilmu agama. Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an sejak usia tujuh tahun dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun.

Pendidikan Imam Syafi’i awalnya ditempuh di Madinah di bawah bimbingan Imam Malik, seorang tokoh utama dalam fikih Islam yang berbasis pada hadis dan praktik penduduk Madinah. Dari gurunya ini, Imam Syafi’i banyak menyerap prinsip-prinsip fikih yang mengutamakan hadits Nabi sebagai sumber hukum utama.

Namun, semangat ilmiahnya tidak berhenti di sana. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di Madinah, ia melanjutkan perjalanan ke Irak, pusat intelektual Islam yang dikuasai mazhab Hanafi. Di sana, ia belajar di bawah bimbingan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid langsung Imam Abu Hanifah.

Menurut ulama, sejarawan, sekaligus pengajar di Markfield Institute of Higher Education, Leicester, Inggris, Syekh Adil Hasani, Mazhab Hanafi dikenal karena pendekatan rasionalnya dalam fikih, yang sering kali mengandalkan qiyas (analogi) dan istihsan (preferensi hukum berdasarkan kemaslahatan). Hal itu, kontras dengan pendekatan Imam Malik yang lebih berbasis hadis.

“Metode Hanafi inilah yang kemudian memberikan perspektif baru bagi Imam Syafi’i dalam memahami hukum Islam,” tulisnya, dalam “Imam El-Shafie,” sebagaimana dikutip dari Muslim Heritage, Kamis, 30 Januari 2025.

Setelah mendalami kedua mazhab besar itu, Imam Syafii kembali ke Makkah dan mulai mengajarkan ilmunya. Ia menarik perhatian banyak ulama besar, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, yang kelak menjadi pendiri mazhab Hanbali.

“Di Makkah, Imam Syafi’i mulai mengembangkan sintesis dari metode Madinah dan Irak, yang kelak menjadi dasar mazhab Syafi’i,” lanjut Syekh Hasani.

Baca: Hubungan Guru-Murid ala Imam Syafi’i

Keteguhan sikap

Salah satu ciri utama Imam Syafii adalah kejujurannya dalam mencari kebenaran. Ia tidak segan untuk mengoreksi pandangan gurunya jika menemukan dalil yang lebih kuat. Meskipun sangat menghormati Imam Malik, ia tetap menuliskan Khilaf Malik, sebuah buku yang mencatat perbedaan pendapatnya dengan gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap mazhab Hanafi dalam bukunya Khilaf al-Iraqiyyin.

“Jika kalian menemukan hadis sahih yang bertentangan dengan pendapatku (Imam Syafi’i), maka tinggalkan pendapatku dan ikutilah hadits tersebut,” ucap Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip Syekh Hasani.

Dengan sikap itu, Imam Syafi’i menunjukkan bahwa ia tidak terikat pada pemikiran pribadi atau loyalitas buta kepada guru-gurunya, tetapi hanya kepada kebenaran yang bersumber dari dalil yang kuat.

Imam Syafi’i juga dikenal sebagai seorang debater ulung yang selalu menjaga etika dalam diskusi. Tujuan utamanya bukanlah memenangkan perdebatan, melainkan menemukan kebenaran. Menurut Syekh Hasani, salah satu kutipan Imam Syafi’i yang cukup populer soal ini adalah tentang wasiatnya agar setiap Muslim mengikuti kebenaran, bukan fokus pada siapa yang menyampaikan.

“Aku (Imam Syafi’i) ingin orang-orang belajar dariku tanpa menyebut namaku, sehingga aku tetap mendapatkan pahala tanpa harus mendapatkan pujian dari manusia,” kutip Syekh Hasani.

Cover Kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i. WIKIMEDIA/Muhammad Umair Mirza

Baca: Gaza dalam Sebait Puisi Imam Syafi’i

Kontribusi besar ushul fikih 

Puncak pencapaian Imam Syafi’i dalam dunia fikih adalah kodifikasi metodologi hukum Islam dalam Al-Risalah. Sebelumnya, para ulama menggunakan metode mereka sendiri dalam memahami hukum Islam tanpa adanya sistem baku yang mengatur cara penarikan hukum.

Imam Syafi’i melihat perlunya sistem yang lebih terstruktur agar kesalahan dalam istinbath (pengambilan hukum) dapat diminimalisir.

Dalam Al-Risalah, Imam Syafi’i menetapkan empat sumber utama dalam hukum Islam. Yakni, Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi, lalu, Sunnah Nabi atau hadis yang berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur’an, kemudian Ijma’ (kesepakatan ulama) dalam kasus yang tidak memiliki nash jelas, dan Qiyas (analogi hukum) untuk menerapkan prinsip hukum pada kasus baru yang belum memiliki dalil eksplisit.

Salah satu gagasan penting Imam Syafii adalah penyatuan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu kesatuan sumber hukum. Ia menegaskan bahwa Sunnah memiliki otoritas yang kuat dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga keduanya harus dipahami secara bersamaan.

Ia juga menolak metode istihsan yang digunakan oleh mazhab Hanafi, karena dianggap terlalu subjektif dan dapat membuka pintu bagi hukum yang tidak memiliki dasar kuat dalam nash. Sebagai gantinya, ia lebih mengutamakan qiyas sebagai metode analogi yang lebih sistematis.

Baca: Geliat Perempuan Mesir Teladani Ibunda Imam Syafi’i

Revisi pemikiran 

Pada akhir hayatnya, Imam Syafi’i menetap di Mesir. Di sana, ia melakukan revisi terhadap banyak pandangannya yang sebelumnya ia ajarkan di Baghdad. Dalam beberapa kasus, ia menemukan hadits baru atau dalil yang lebih kuat, sehingga ia merasa perlu memperbarui pandangannya.

Inilah yang kemudian disebut sebagai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Keberanian untuk merevisi pemikirannya sendiri menunjukkan betapa konsistennya Imam Syafii dalam mengikuti kebenaran tanpa terikat pada pandangan sebelumnya.

Mazhab Syafi’i pun kemudian berkembang pesat dan memiliki pengaruh besar di berbagai wilayah, terutama Mesir, Yaman, Irak, Persia, hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Kitab-kitabnya seperti Al-Umm dan Al-Risalah terus menjadi rujukan utama dalam kajian fikih dan ushul fikih.

Selain itu, pendekatan metodologinya dalam hukum Islam menjadi dasar bagi studi hukum Islam di berbagai mazhab. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali, sangat menghormati Imam Syafii dan menganggapnya sebagai pembaharu Islam di abad kedua Hijriyah.

Plakat peresmian konservasi serambi dan fasad pintu masuk Makam dan Masjid Imam Al-Syafi’i pada 2008. Dok ISLAMIC HISTORY & TRAVEL

Imam Syafii dikenal sebagai ulama besar bidang fikih, sekaligus seorang pemikir besar yang berhasil merumuskan sistem hukum Islam yang sistematis dan logis. Dengan ketajaman intelektual, kejujuran ilmiah, serta keteguhannya dalam mencari kebenaran, ia berhasil menjembatani perbedaan pendekatan fikih yang berkembang di zamannya.

Hingga hari ini, mazhab dan metodologi yang ia bangun terus menjadi pilar penting dalam perkembangan hukum Islam. Reformasi fikih yang Imam Syafi’i lakukan membuktikan bahwa Islam adalah agama yang dinamis, selalu relevan dengan zaman, tanpa kehilangan akar keilmuannya yang kuat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.