Ikhbar.com: Utang memang diperbolehkan dalam Islam, tetapi bukan berarti bisa dilakukan tanpa pertimbangan matang. Hal ini disampaikan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH Muhammad Akhyar Adnan dalam Pengajian Tarjih yang digelar pada Rabu, 29 Januari 2025.
Kiai Akhyar menegaskan bahwa meskipun utang berstatus mubah (diperbolehkan), Islam memberikan banyak nasihat untuk berhati-hati. Ia mengutip pesan Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan, “Utang di siang hari bisa menjadi kesengsaraan di malam hari.”
“Ungkapan ini menggambarkan bagaimana utang bisa menjadi beban berat jika tidak dikelola dengan baik,” ujar Kiai Akhyar dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id pada Selasa, 4 Februari 2025.
Baca: Hukum Amplop Kondangan Hadiah atau Utang? Ini Ulasannya menurut Fikih
Dalam kesempatan itu, ia mengelompokkan utang ke dalam beberapa kategori. Dari sisi urgensi, utang terbagi menjadi dua: utang mendesak dan utang tidak mendesak.
“Utang mendesak biasanya diambil karena kebutuhan yang tak bisa ditunda, seperti biaya kesehatan atau kebutuhan pokok. Sebaliknya, utang tidak mendesak muncul karena keinginan yang bisa dihindari, seperti membeli barang mewah dengan kredit meskipun masih bisa menabung,” jelas dia.
Selain itu, lanjut Kiai Akhyar, dari segi tujuan, utang diklasifikasikan menjadi utang konsumtif dan utang produktif. Utang konsumtif digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tanpa menghasilkan nilai ekonomi. Sedangkan utang produktif bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, misalnya untuk modal usaha.
“Kombinasi kedua kategori ini menghasilkan empat jenis utang, yaitu konsumtif mendesak, konsumtif tidak mendesak, produktif mendesak, dan produktif tidak mendesak,” katanya.
Kiai Akhyar mengingatkan, sebelum berutang, ada baiknya seseorang untuk melakukan evaluasi kebutuhan.
“Kalau memang mendesak, mungkin itu pilihan terakhir. Tapi kalau tidak mendesak, lebih baik bersabar dan merencanakan keuangan dengan bijak,” pesannya.
Tak hanya itu, ia menekankan pentingnya pencatatan utang. Imbauan tersebut sebagaimana diajarkan dalam QS. Al-Baqarah.
Menurutnya, pencatatan ini bukan hanya untuk menghindari perselisihan tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dan transparansi dalam transaksi keuangan.
Sebagai ilustrasi, Akhyar berbagi pengalaman pribadinya saat masih kuliah. Ia mengaku kerap mengalami kesulitan menagih utang dari teman-temannya karena tidak ada bukti tertulis. Namun, setelah mulai menerapkan pencatatan sesuai ajaran Al-Qur’an, proses penagihan menjadi lebih tertib dan minim konflik.
“Prinsip pencatatan utang tak hanya berlaku dalam bisnis, tetapi juga dalam keluarga. Bahkan dengan saudara kandung pun, sebaiknya tetap ada catatan utang agar terhindar dari kesalahpahaman,” jelasnya.
Ia mengajak umat Muslim untuk lebih bijak dalam berutang dan harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Prinsip ini perlu diterapkan agar tidak menimbulkan mudarat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.