Ikhbar.com: Sudah menjadi kelaziman, seseorang yang datang memenuhi undangan resepsi pernikahan akan membawakan amplop untuk diserahkan kepada mempelai maupun tuan hajat. Akan tetapi, apakah kebaikan yang kadang dilakukan secara bergantian dan berbalas ini dihukumi sebagai utang atau sekadar hibah alias hadiah? Risikonya, jika dinilai sebagai pinjaman, maka wajib diupayakan sebuah pengembalian. Namun, apabila dianggap hadiah, maka sejatinya tidak ada tuntutan fardu untuk membalas dengan nilai serupa.
Terkait hal ini, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka menghukumi uang amplop kondangan berstatus sebagai utang. Sementara sebagian lainnya tidak menghukumi hal itu sebagai sesuatu yang harus dikembalikan alias sekadar hadiah biasa.
Baca: Diundang Hajatan tetapi tidak Datang? Ini Hukumnya menurut Fikih
Bahan pertimbangan
Meski begitu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan apakah status amplop kondangan dihukumi sebagai utang atau cuma pemberian.
Pertama, akad pemberian amplop hajatan harus diperjelas. Artinya, apakah undangan yang hadir tersebut memberikan uang itu dengan tujuan sebagai hibah karena rasa syukur atau dihitung sebagai pinjaman yang harus dibayar oleh sahibul bait (tuan rumah) berdasarkan tradisi yang berlaku di masyarakat?
Kedua, maksud amplop hajatan juga bisa dipertimbangkan dari tradisi masyarakat. Misalnya, di sebuah desa ada kebiasaan atau anggapan bahwa di saat sahibul bait mengundang seseorang untuk menghadiri hajatan lalu memberikan amplop berisi uang, maka uang tersebut berstatus pinjaman atau utang yang harus dibayarkan atau diganti di kemudian hari.
Meski tidak dinyatakan secara tertulis, tradisi ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mengikat dan dipahami sebagai pinjaman. Hal ini, sesuai dengan kaidah fikih yang menegaskan, “Sesuatu yang sudah menjadi ‘urf (tradisi) itu seperti disyaratkan.” Maksudnya, sesuatu yang sudah menjadi kelaziman dan tradisi di masyarakat seperti halnya sebuah syarat yang harus dipenuhi.
Ketiga, dalam adab-adab berwalimah, setiap Muslim dan Muslimah punya kewajiban untuk memenuhi undangan, termasuk ikut bergembira atas hajatan yang diselenggarakan oleh saudaranya. Salah satu ungkapan kesyukuran tersebut itu bermacam-macam. Di antaranya, selain hadir, juga memberikan sejumlah uang kepada yang bersangkutan sebagai bantuan dan sejenisnya.
Oleh karena itu, pemberian uang kepada yang berhajat atau walimah tersebut pada prinsipnya sebagai hadiah pemberian biasa, bukan hutang piutang. Kecuali jika ada ‘urf atau tradisi sebaliknya, maka sebagai pinjaman dan dicatat sebagai utang. Hal ini, sebagaimana anjuran dalam QS. Al-Baqarah: 282, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Lantaran dihukumi sebagai utang, maka ia harus dilunasi sesuai dengan pokok pinjaman tanpa disyaratkan kelebihan atau manfaat karena berstatus sebagai pinjaman transaksi sosial (qardul hasan).
Keempat, mempertimbangkan aspek regulasi atau hukum positif terkait dengan kebolehan untuk menerima uang tertentu. Misalnya, ketentuan tentang gratifikasi dan sejenisnya agar tetap taat hukum.
Baca: Hukum Menutup Akses Jalan saat Hajatan
Lebih dihukumi sebagai utang
Meskipun begitu, pendapat ulama yang menghukumi amplop kondangan sebagai pinjaman dinilai lebih unggul. Penjelasan tersebut sebagaimana diungkapkan Syekh Abu Bakar Syatha dalam I’anat at-thalibin:
وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ
“Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.
Namun ulama lain lebih memilih untuk mengkategorikannya sebagai hibah atau pemberian cuma-cuma. Dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat tersebut dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.
Ini akan bermacam-macam sesuai dengan keadaan pemberi, jumlah pemberian, dan daerah. Adapun pemberian yang distatuskan sebagai utang apabila memang di daerah tersebut ada kebiasaan untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktek pemberian yang berbeda dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada motif pihak yang memberikan.”