Dari Menunduk hingga Mencium Anggota Tubuh, Ini 5 Akhlak Para Sahabat kepada Nabi

Penghormatan itu lahir dari iman dan cinta kepada pembawa ilmu, bukan dari rasa takut pada kekuasaan.
Ilustrasi para sahabat Nabi. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Ada sesuatu yang istimewa dalam cara para sahabat memperlakukan Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak hanya menghormati beliau sebagai pemimpin, tetapi memuliakannya sebagai sumber cahaya, tempat ilmu dan kasih sayang Allah Swt memancar.

Bagi mereka, akhlak bukan formalitas. Adab adalah cinta yang menjelma menjadi tindakan menunduk, memelankan suara, mencium tangan, dan siap membela dengan jiwa dan raga.

Kini, ketika sebagian orang menuduh penghormatan santri kepada kiai di pesantren sebagai warisan feodalisme, sejarah para sahabat justru menunjukkan sebaliknya. Penghormatan itu lahir dari iman dan cinta kepada pembawa ilmu, bukan dari rasa takut pada kekuasaan.

Baca: Sahabat Tidak Memanggil Nabi Hanya dengan Nama ‘Muhammad’

Allah Swt berfirman:

لِّتُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُۗ وَتُسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

Agar kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya, baik pagi maupun petang.” (QS. Al-Fatḥ: 9)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, kata “tu‘azziruhu” berarti membantu dan membela Nabi, sedangkan “tuwaqqiruhu” bermakna menghormati dan mengagungkan beliau. Inilah fondasi adab para sahabat, yang jejaknya terus hidup di pesantren hingga kini.

Berikut lima bentuk akhlak sahabat yang menggambarkan betapa dalamnya cinta dan penghormatan mereka kepada Nabi Saw.

Baca: Biodata Lengkap Rasulullah: Dari Keluarga, Senjata, hingga Makanan yang Paling Disuka

1. Menunduk dan tidak mau berada di atas Nabi

Kisah Abu Ayyub Al-Anshari sering disebut para ulama sebagai teladan adab paling halus. Ketika Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub. Nabi memilih lantai bawah agar mudah dijangkau tamu, sementara Abu Ayyub dan istrinya menempati lantai atas.

Namun, di malam itu, Abu Ayyub gelisah. Ia berkata kepada istrinya, “Bagaimana bisa kita berjalan di atas kepala Rasulullah? Demi Allah, ini tidak pantas.”

Keesokan harinya, ia memohon agar Nabi berpindah ke lantai atas. Nabi menjawab lembut, “Bawah lebih nyaman bagiku.” Abu Ayyub menolak, “Aku tidak akan berada di atap yang di bawahnya engkau.”

Akhirnya, Rasulullah Saw pindah ke lantai atas. Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim menulis, “Sikap Abu Ayyub adalah puncak adab dan penghormatan.”

Inilah sebab para santri enggan duduk lebih tinggi dari kiai. Mereka tidak takut, melainkan sadar bahwa ilmu turun kepada hati yang merendah di hadapan pembawanya.

Baca: Para Santri di Zaman Nabi

2. Memelankan suara di hadapan Nabi

Adab berikutnya ditetapkan langsung melalui wahyu. Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, jangan meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan jangan berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Ḥujurāt: 2)

Setelah ayat ini turun, Umar bin Khattab berubah total. Dalam riwayat Ibn Zubair (Shahih al-Bukhari), disebutkan bahwa Umar berbicara sangat pelan di hadapan Nabi Saw, sampai Rasulullah Saw harus mengulang, “Apa yang kau katakan, wahai Umar?”

Imam Malik menegaskan, sebagaimana dikutip Ibn Muflih dalam Al-Furu‘, bahwa larangan meninggikan suara juga berlaku di makam Nabi. Hormat kepada Nabi Saw setelah wafat sama dengan ketika beliau masih hidup.

Baca: Kisah Rasulullah Mencium Tangan Seorang Buruh

3. Mencium anggota tubuh dan berebut rambut Nabi

Banyak riwayat menggambarkan betapa lembutnya cinta para sahabat. Anas bin Malik berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw ketika rambut beliau dicukur. Para sahabat mengelilinginya. Tidak ada sehelai pun rambut yang jatuh ke tanah; semuanya mereka tampung di tangan.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, para sahabat mencium tangan dan kaki Nabi Saw sebagaimana termaktub dalam Sunan Abu Dawud dan Al-Adab al-Mufrad. Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam Asy-Syifa’ menjelaskan, tindakan itu bukan pengultusan, melainkan wujud cinta dan penghormatan kepada Rasulullah sebagai pembawa wahyu.

Karena itu, ketika santri mencium tangan kiai, sejatinya mereka meneladani para sahabat, memuliakan pembawa ilmu yang menuntun kepada Allah, bukan menyembah manusia.

Baca: Sahabat Nabi Paling Pemberani, Abu Bakar atau Ali?

4. Membela Nabi sepenuh jiwa raga

Adab para sahabat tidak berhenti pada simbol. Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi membela Nabi Saw.

Urwah bin Mas‘ud Ats-Tsaqafi, utusan Quraisy yang belum beriman, menyaksikan langsung perjanjian Hudaibiyah. Ketika kembali ke kaumnya, ia berkata, “Demi Allah, aku telah mendatangi para raja: Kaisar, Kisra, dan Najasyi. Tapi aku belum pernah melihat pengikut yang mengagungkan pemimpinnya seperti sahabat Muhammad mengagungkan Muhammad. Bila beliau berwudhu, mereka berebut airnya. Bila beliau berbicara, mereka menunduk. Bila beliau meludah, mereka menampungnya lalu mengusapkannya ke wajah.” (HR. Bukhari)

Bahkan seorang musuh pun mengakui, penghormatan para sahabat kepada Nabi Saw lahir dari cinta, bukan paksaan.

Baca: Hukum Cium Tangan ke Orang Lebih Tua

5. Mencintai Nabi melebihi diri dan keluarga

‘Amr bin Al-‘Ash, yang semula menentang Islam, mengaku di akhir hayatnya, “Tidak ada seseorang yang lebih aku cintai daripada Rasulullah Saw, dan tidak ada yang lebih mulia di mataku. Aku tidak sanggup menatap wajahnya karena hormatku yang besar. Seandainya aku mati dalam keadaan itu, aku berharap menjadi penghuni surga.” (HR. Muslim)

Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Allah, beliau lebih kami cintai daripada harta dan anak-anak kami, orang tua kami, bahkan dari air dingin di saat kehausan.”

Namun, cinta itu tetap terjaga dalam batasnya. Rasulullah Saw bersabda, “Jangan memujiku seperti kaum Nasrani memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba Allah. Katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Mereka mencintai Nabi Saw dengan cara yang benar, cinta yang mendekatkan kepada Allah, bukan menggantikan-Nya.

Baca: Etika Santri menurut Al-Ghazali

Jejak adab yang terus hidup

Para sahabat memiliki kebiasaan kecil yang sarat makna. Ketika mengetuk pintu rumah Nabi Saw, mereka melakukannya pelan, cukup dengan ujung kuku, sebagaimana disebut dalam Al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari.

Saat Nabi berbicara, mereka diam menunduk, seolah ada burung di atas kepala mereka. Semua itu mereka lakukan dengan hati penuh cinta dan hormat.

Dari semua kisah ini, jelas bahwa penghormatan santri kepada kiai, duduk lebih rendah, mencium tangan, memelankan suara, bukan sisa budaya feodal, melainkan tradisi adab Islam yang diwariskan langsung dari sahabat Nabi Saw.

Tentu, kiai bukan Nabi. Namun, sebagaimana para sahabat memuliakan Rasulullah Saw karena beliau pembawa wahyu, santri memuliakan kiai karena ia pembawa ilmu yang bersambung kepada beliau.

Allah Swt berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan yang baik bagi mereka, mengharamkan yang buruk, dan membebaskan beban serta belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan bersamanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Al-A‘raf: 157)

Selama umat ini menjaga adab sebagaimana para sahabat menjaga adab mereka kepada Rasulullah Saw, keberkahan ilmu akan tetap hidup.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.