Ikhbar.com: Lailatul Qadar menjadi malam yang paling dinanti dalam bulan Ramadan. Malam yang penuh kemuliaan ini diyakini memiliki keutamaan lebih baik dari seribu bulan. Namun, kapan tepatnya malam ini tiba tetap menjadi misteri. Bahkan, Rasulullah Muhammad Saw sempat hendak mengungkapkannya, tetapi urung dilakukan karena sebuah peristiwa yang mengejutkan.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Nabi Muhammad Saw keluar dari rumah untuk memberitahu para sahabat tentang waktu pasti Lailatul Qadar. Namun, ketika tiba di masjid, beliau mendapati dua orang sahabat bertengkar. Karena kejadian itu, informasi tentang Lailatul Qadar pun diangkat kembali oleh Allah Swt:
روى الإمام البخاري من حديث عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : خَرَجَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ: خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Imam Bukhari meriwayatkan dari hadis ‘Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata, ‘Nabi keluar untuk memberitahu kami tentang malam Lailatul Qadar, tetapi saat itu ada dua orang Muslim yang sedang bertengkar (berdebat). Nabi bersabda, ‘Aku keluar untuk memberitahu kalian tentang malam Lailatul Qadar, tetapi fulan dan fulan bertengkar, maka malam itu diangkat (tidak diberitahu lagi), dan mungkin itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah malam itu pada malam yang kesembilan, ketujuh, dan kelima (dari bulan Ramadan).'” (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw tidak menyebut nama kedua sahabat yang bertengkar itu. Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa mereka. Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menyebutkan nama keduanya berdasarkan keterangan dari Ibn Dihyah. Menurutnya, mereka adalah Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Abi Hadrad.
Baca: QS. Ad-Dukhan Ayat 3-4, Dalil Lailatul Qadar atau Nisfu Syakban?
Ribut soal utang di masjid
Penyebab pertengkaran itu ternyata soal utang-piutang. Dalam riwayat lain di Shahih Bukhari, Ka’ab bin Malik sedang menagih utang kepada Ibnu Abi Hadrad di masjid. Suara keduanya meninggi hingga terdengar oleh Rasulullah Saw yang berada di rumah. Nabi kemudian keluar dan menegur keduanya.
عَنْ كَعْبٍ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى يَا كَعْبُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَيْ الشَّطْرَ قَالَ لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُمْ فَاقْضِهِ
“Dari Ka’b, bahwa ia pernah menagih utang kepada Ibnu Abu Hadrad di dalam Masjid hingga suara keduanya meninggi yang akhirnya didengar oleh Rasulullah Saw yang berada di rumah. Beliau kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamarnya, beliau bersabda, ‘Wahai Ka’b!’ Ka’b bin Malik menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.’ Beliau bersabda: ‘Bebaskanlah utangmu ini.’ Beliau lalu memberi isyarat untuk membebaskan setengahnya. Ka’b bin Malik menjawab, ‘Sudah aku lakukan wahai Rasulullah.’ Beliau lalu bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad), ‘Sekarang bayarlah.'” (HR. Bukhari)
Ibn Hajar mengutip Qadhi ‘Iyad yang berpendapat bahwa pertengkaran ini menunjukkan betapa tercelanya perselisihan. Pertengkaran menyebabkan terhalangnya berkah dan kebaikan. Bahkan, perbuatan ini bisa mengundang kehadiran setan di antara manusia.
Baca: Gambaran Nabi tentang Lailatul Qadar
Hikmah di balik kerahasiaan Lailatul Qadar
Peristiwa ini membawa banyak pelajaran berharga. Salah satunya adalah pentingnya menjaga adab di tempat ibadah. Masjid merupakan tempat berzikir dan beribadah. Meninggikan suara, apalagi bertengkar, sangat tidak pantas dilakukan di sana.
Dalam QS. Al-Hujurat: 2, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya.”
Selain itu, tradisi menyimpan rahasia mengenai malam ini memiliki dasar yang kuat dalam tradisi Islam.
قال شيخ الإسلام الحافظ ابن حجر : وَاسْتَنْبَطَ السُّبْكِيُّ الْكَبِيرُ ، فِي “الْحَلَبِيَّاتِ” مِنْ هَذِهِ الْقِصَّةِ اسْتِحْبَابَ كِتْمَانِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِمَنْ رَآهَا
“Syekh Islam Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ‘As-Subki Al-Kabir dalam kitab Al-Halabiyyat menyimpulkan dari kisah ini bahwa disunahkan untuk merahasiakan malam Lailatul Qadar bagi orang yang melihatnya.'”
As-Subki Al-Kabir menarik kesimpulan ini dari peristiwa di masa Nabi Muhammad Saw. Beliau sendiri tidak diberitahu waktu pasti malam Lailatul Qadar, meskipun Allah Swt bisa saja mengungkapkannya. Dalam pandangan As-Subki, semua kebaikan terdapat dalam apa yang telah ditetapkan bagi Nabi Saw, sehingga disunahkan bagi umat Islam untuk mengikuti beliau dalam menjaga kerahasiaan malam tersebut.
وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ أَنَّ اللَّهَ قَدَّرَ لِنَبِيِّهِ أَنَّهُ لَمْ يُخْبَرْ بِهَا، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيمَا قُدِّرَ لَهُ، فَيُسْتَحَبُّ اتِّبَاعُهُ فِي ذَلِكَ
“Dalilnya adalah bahwa Allah telah menetapkan bagi Nabi-Nya bahwa beliau tidak diberitahu tentang malam Lailatul Qadar, dan semua kebaikan ada dalam apa yang telah ditetapkan bagi beliau. Maka disunahkan untuk mengikuti beliau dalam hal itu.”
Baca: Lailatul Qadar di Zaman Serba-Gelisah
Hikmah dari menyembunyikan malam Lailatul Qadar memiliki beberapa alasan penting yang disepakati oleh para ulama tasawuf. Dalam kitab tersebut dijelaskan empat alasan utama:
وَالْحِكْمَةُ فِيهِ أَنَّهَا كَرَامَةٌ، وَالْكَرَامَةُ يَنْبَغِي كِتْمَانُهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الطَّرِيقِ: ١ – مِنْ جِهَةِ رُؤْيَةِ النَّفْسِ فَلَا يَأْمَنُ السَّلْبَ. ٢ – وَمِنْ جِهَةِ أَنْ لَا يَأْمَن الرِّيَاءَ. ٣ – وَمِنْ جِهَةِ الْأَدَبِ؛ فَلَا يَتَشَاغَلُ عَنِ الشُّكْرِ لِلَّهِ بِالنَّظَرِ إِلَيْهَا وَذِكْرِهَا لِلنَّاسِ. ٤ – وَمِنْ جِهَةِ أَنَّهُ لَا يَأْمَنُ الْحَسَدَ فَيُوقِعُ غَيْرَهُ فِي الْمَحْذُورِ
“Hikmah dari merahasiakan malam Lailatul Qadar adalah karena itu merupakan karunia, dan karunia sebaiknya disembunyikan, tidak ada perselisihan di antara ahli spiritual tentang hal ini:
- Dari sisi pandangan diri sendiri, karena takut akan kehilangan karunia tersebut.
- Dari sisi takut akan riya (menunjukkan amal kepada orang lain).
- Dari sisi adab, karena tidak ingin terganggu dari bersyukur kepada Allah dengan memandang dan menyebut-nyebut karunia tersebut kepada orang lain.
- Dari sisi takut akan hasad (iri hati) yang dapat menyebabkan orang lain terjebak dalam hal yang tidak diinginkan.”
Prinsip merahasiakan karunia ini sejalan dengan kisah Nabi Yusuf AS yang dinasihati oleh ayahnya, Nabi Ya’qub, untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya.
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Dia (ayahnya) berkata, ‘Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.” (QS. Yūsuf: 5)
Tujuan Allah Swt menyembunyikan malam Lailatul Qadar pun mengandung hikmah yang agung. Dengan tidak diketahuinya malam tersebut, kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di seluruh sepuluh malam terakhir Ramadan tanpa membatasi hanya pada satu malam tertentu.
فالله تعالى أرادها أن تكون مخبوءة مستورة بين الليالي، لحِكم جليلة، منها استيعاب جميع الليالي العشر بالعبادة والذِكر، فالسعي الحثيث في اكتشافها يُفوّت هذا المقصود.
“Maka Allah Swt ingin malam Lailatul Qadar menjadi malam yang tersembunyi dan tidak diketahui di antara malam-malam lainnya, karena hikmah yang agung, di antaranya adalah agar seluruh malam-malam sepuluh terakhir Ramadan dipenuhi dengan ibadah dan zikir. Maka usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan malam Lailatul Qadar akan menghilangkan tujuan ini.”
Lebih dari itu, setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah memiliki kesempatan untuk meraih “malam Lailatul Qadar” pribadinya, yaitu momen ketika Allah mencurahkan rahmat, ampunan, dan membebaskannya dari api neraka.
وما أراد الله تعالى إخفاءه فلا سبيل لنا إلى إظهاره، ثم إن لكلّ مجتهد في هذا الشهر الكريم وفي غيره ليلةَ قدرِه الخاصة به، وذلك حين ينظر الله إليه بعين الرحمة والمغفرة ويشاء أن يكتبه في المُعتَقِين من النيران
“Dan apa yang Allah Swt kehendaki untuk disembunyikan, maka tidak ada jalan bagi kita untuk mengungkapkannya. Kemudian, setiap mujtahid (orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh) di bulan Ramadan yang mulia ini dan di luar bulan Ramadan memiliki malam Lailatul Qadar yang khusus baginya. Yaitu ketika Allah melihatnya dengan pandangan rahmat dan ampunan, dan Allah kehendaki untuk menulisnya di antara orang-orang yang dibebaskan dari api neraka.”