Ikhbar.com: Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi atau lebih masyhur dengan nama Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling banyak meriwayatkan hadis. Menurut catatan dalam Musnad karya Baqi bin Makhlad, jumlah hadis yang diriwayatkannya mencapai 5.364 buah. Angka ini mengungguli periwayatan sahabat-sahabat lain seperti Abdullah bin Umar sebanyak 2.630 hadis, Anas bin Malik (2.286), bahkan istri Rasulullah Saw sendiri, Aisyah binti Abu Bakar (2.210).
Padahal, Abu Hurairah baru memeluk Islam pada tahun ke-7 Hijriah. Artinya, ia hanya hidup bersama Nabi Muhammad Saw selama kurang lebih tiga tahun. Hal inilah yang kerap menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin seorang sahabat yang terlambat masuk Islam bisa meriwayatkan hadis lebih banyak daripada sahabat-sahabat senior lainnya?
Pertanyaan ini sempat dilontarkan oleh Aisyah sendiri. Sayyidah Aisyah berkata, “Nabi Saw tidak menyampaikan hadis secara terus-menerus seperti yang engkau sampaikan ini.” Kutipan tersebut tercatat dalam karya Min al-Nabi Ila al-Bukhari oleh Syekh Ahmad Shanubir. Pernyataan Aisyah bukanlah bentuk penolakan terhadap hadis-hadis Abu Hurairah, melainkan ungkapan keheranan terhadap caranya meriwayatkan.
Jawaban atas keheranan ini tidak sederhana. Ada banyak faktor yang menjelaskan mengapa Abu Hurairah bisa menjadi penyumbang hadis terbanyak dalam sejarah Islam.
Baca: Sahabat Nabi Paling Pemberani, Abu Bakar atau Ali?
Faktor waktu dan konsentrasi
Salah satu faktor paling menentukan adalah waktu wafat para sahabat. Mereka yang hidup lebih lama memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengajar dan meriwayatkan hadis. Abu Hurairah wafat pada tahun 57 Hijriah, sebuah masa ketika umat Islam sudah semakin mapan secara politik dan sosial. Ia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk mengajar dan berdakwah tanpa gangguan besar.
Sebaliknya, sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada tahun 13 Hijriah. Fatimah az-Zahra wafat lebih awal, yakni pada tahun 11 Hijriah. Dalam rentang waktu yang sangat singkat itu, kesempatan untuk meriwayatkan hadis tentu sangat terbatas. Hal ini menjelaskan mengapa jumlah hadis dari Abu Hurairah jauh lebih banyak dibandingkan sahabat-sahabat besar lainnya.
Faktor kedua adalah konsentrasi peran. Banyak sahabat sibuk dengan urusan negara, peperangan, atau pemerintahan. Umar bin Khattab, misalnya, lebih banyak mengatur urusan umat daripada duduk di majelis ilmu. Beberapa sahabat bahkan diketahui sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Umar sampai melarang sebagian sahabat untuk terlalu banyak meriwayatkan hadis, demi menjaga ketelitian dan kehati-hatian dalam penyampaian ajaran Nabi.
Berbeda dengan mereka, Abu Hurairah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajarkan hadis. Ia tidak disibukkan dengan jabatan pemerintahan atau kepemimpinan militer. Fokusnya adalah pada ilmu dan periwayatan.
“Abu Hurairah duduk dalam majelis-majelis hadis dan menyampaikan hadis secara berturutan,” tulis Syekh Shanubir. Cara ini memang unik. Tidak banyak sahabat yang menggunakan metode seperti itu.
Baca: Sikap Nabi saat Melihat Abu Bakar Dibully
Lokasi dan akses
Faktor ketiga adalah tempat tinggal. Setelah wafatnya Nabi Saw, Madinah tetap menjadi pusat ilmu dan peradaban Islam. Mereka yang menetap di sana memiliki akses lebih besar terhadap para pelajar dan murid yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam.
Abu Hurairah termasuk sahabat yang menetap di Madinah untuk waktu yang lama. Ia menjadi rujukan utama dalam pengajaran hadis di kota suci tersebut. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika hadis yang diriwayatkannya tersebar lebih luas dan dicatat oleh lebih banyak murid.
Hal ini berbeda dengan sahabat seperti Khalid bin al-Walid yang lebih banyak berada di medan perang, atau sahabat yang tinggal di daerah yang tidak menjadi pusat keilmuan pada masa itu, seperti Syam atau Mesir. Akses terhadap murid dan kegiatan pengajaran yang terbatas membuat periwayatan hadis dari mereka tidak seintensif yang terjadi di Madinah atau Kufah.
Kota Kufah sendiri kemudian berkembang menjadi pusat ilmu, hampir menyaingi Madinah. Sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud mulai menyebarkan ilmu secara masif ketika berpindah ke kota ini. Meski begitu, jumlah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud tetap lebih sedikit, yakni sekitar 848 hadis, karena wafatnya lebih awal, yaitu pada tahun 32 Hijriah.
Baca: Belajar dari Masjid Nabawi, Awal yang Sederhana tapi Multifungsi
Gaya pengajaran dan kemampuan menghafal
Selain faktor eksternal, perbedaan gaya pengajaran dan kemampuan pribadi juga turut memengaruhi. Abu Hurairah memiliki kebiasaan khusus dalam menyampaikan hadis. Ia duduk dan mengajar dalam satu majelis panjang, menyampaikan banyak hadis secara berturut-turut. Metode ini sangat efektif bagi para tabi’in untuk mencatat dan menghafal.
Tak hanya itu, Nabi Muhammad Saw juga pernah mendoakan Abu Hurairah secara khusus agar tidak lupa terhadap apa yang ia dengar. Doa ini menjadi keistimewaan tersendiri bagi Abu Hurairah.
“Aku tidak pernah lupa satu hadis pun setelah Nabi Saw mendoakanku,” begitu pengakuan Abu Hurairah, yang telah dikutip dalam banyak riwayat.
Di sisi lain, sahabat seperti Abdullah bin Amr bin al-‘Ash memang dikenal gemar menulis hadis. Bahkan ia menyimpan koleksi pribadi yang dinamai Al-Shahifah al-Shadiqah. Namun, meskipun memiliki catatan, Abdullah bin Amr lebih banyak menyendiri dan beribadah daripada mengajar. Aktivitasnya sebagai pengajar hadis tidak seaktif Abu Hurairah.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan bukan hanya bergantung pada hafalan atau catatan, tetapi juga pada seberapa sering dan terbuka seorang sahabat menyampaikan ilmu kepada orang lain.
Kehati-hatian
Sebagian sahabat memang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Mereka memilih menjawab pertanyaan atau memberikan fatwa tanpa menyebut sanad atau teks hadis secara eksplisit. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengutip perkataan Nabi Saw.
Umar bin Khattab adalah contoh paling menonjol dari pendekatan ini. Ia tidak melarang menyampaikan ajaran Nabi, tetapi mewajibkan kehati-hatian dan ketelitian. Sikap ini memengaruhi banyak sahabat pada masanya. Berbeda dengan sahabat yang hidup setelah masa Khulafaur Rasyidin, seperti Abu Hurairah, yang lebih terbuka dan sistematis dalam meriwayatkan hadis.
Jumlah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi tidak bisa dilihat hanya dari seberapa dekat mereka kepada Nabi Saw atau berapa lama mereka hidup bersamanya. Banyak faktor lain yang memengaruhi, dari mulai waktu wafat, lokasi tinggal, tingkat keterlibatan dalam politik, gaya pengajaran, kehati-hatian, bahkan kondisi sosial politik saat itu.
Abu Hurairah menjadi yang terbanyak bukan karena kebetulan. Ia hidup cukup lama, menetap di pusat ilmu, memiliki metode penyampaian yang efektif, dan menerima doa Nabi agar kuat menghafal. Semua ini menjadikannya tokoh kunci dalam transmisi hadis.
“Majelis-majelis Abu Hurairah adalah tempat lahirnya ribuan hafalan para tabi’in. Dari lisan seorang sahabat, terbentuklah mata rantai ilmu yang sampai hari ini menjadi bagian dari khazanah Islam yang tak ternilai,” tulisnya, masih dalam kitab yang sama.