Ikhbar.com: Tidak ada lantai marmer, tanpa menara, juga kubah megah. Namun, dari sebidang tanah sederhana di Kota Madinah inilah, lahir sebuah bangunan yang mengubah wajah dunia Islam hingga hari ini. Itulah Masjid Nabawi.
Ketika tiba di Madinah setelah perjalanan panjang hijrah dari Kota Makkah, Nabi Muhammad Saw tidak langsung membangun rumah. Tidak pula membangun pasar atau benteng pertahanan. Langkah pertamanya justru adalah mendirikan sebuah masjid.
Bukan sekadar tempat ibadah, Masjid Nabawi berdiri sebagai pusat kehidupan. Dari tanah yang tadinya gersang dan tanpa nama besar, bangunan sederhana itu menjelma menjadi pusat peradaban, ruang transformasi spiritual, sosial, hingga politik umat Islam.
Di sanalah semuanya bermula. Dari salat berjamaah hingga diplomasi antar-kabilah. Dari pengajaran hingga pengobatan. Dari tempat berlindung bagi kaum dhuafa hingga menjadi titik pusat pemerintahan pertama dalam sejarah Islam. Masjid Nabawi menjelma jantung kota sekaligus peradaban.
Baca: Para Santri di Zaman Nabi
Masjid revolusioner
Bangunan Masjid Nabawi di awal kemunculannya nyaris tak mencerminkan kemegahan. Luasnya sekitar 1.200 meter persegi. Lantainya tanah, dindingnya dari lumpur yang disulap jadi batu bata, atap dan tiangnya dari pohon kurma. Tidak ada ornamen mewah.
Meski begitu, sejarawan peradaban Islam kelahiran Bosnia, Omer Spahic, dalam History and Architecture of the Prophet’s Mosque (2019) menegaskan, justru dalam kesederhanaannya itulah di dalam Masjid Nabawi tersimpan kekuatan revolusioner. Masjid Nabawi bukan hanya tempat sujud, melainkan tempat masyarakat menyusun harapan, menyusun masa depan.
Kiblatnya semula menghadap ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Tapi kemudian Allah perintahkan agar kiblat dialihkan ke Ka’bah di Makkah. Perubahan ini memaksa perubahan struktur bangunan. Pintu selatan ditutup, sisi utara yang sebelumnya kiblat menjadi pintu masuk. Arsitektur masjid pun mengikuti arah wahyu, sebuah simbol bahwa pembangunan peradaban harus berpijak pada nilai ilahiah.
Baca: Masjid dalam Angka: Dari Jumlah hingga Problem Tata Kelola
Tiga tahun menjelang wafat, Nabi Muhammad Saw memperluas masjid ini hingga dua kali lipat. Luasnya menjadi sekitar 2.500 meter persegi. Fungsinya pun terus berkembang. Di tempat itu, beliau menyampaikan khutbah, memimpin musyawarah, mengatur strategi perang, bahkan mengobati luka para sahabat seusai pertempuran.
Dalam metode konstruksi, fondasi batu diletakkan sedalam tiga hasta atau sekitar 1,50 meter. Di atas tanah liat itu, dibangun tembok selebar 75 cm. Masjid dinaungi dengan mendirikan batang pohon palem dan balok kayu yang ditutupi daun dan tangkai pohon palem. Di arah kiblat, ada tiga serambi, atau tiang-tiang. Setiap serambi memiliki enam atau bahkan delapan pilar (batang pohon palem). Tinggi atapnya sama dengan tinggi seorang pria yang mengangkat tangan.
Salah satu sisi masjid dijadikan tempat berteduh para sahabat fakir yang tidak punya rumah. Mereka disebut Ash-shuffah, kelompok belajar yang tinggal di masjid dan menyerap ilmu langsung dari Rasulullah Saw. Di sana, pendidikan berjalan alami, tanpa sekat sosial, tanpa biaya, tanpa jarak dengan guru.
Sosiolog modern mungkin menyebutnya rumah belajar inklusif. Tapi lebih dari itu, Masjid Nabawi adalah wujud nyata kasih sayang dalam arsitektur. Ia bukan hanya bangunan fisik, tapi bangunan cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesamanya.

Baca: Sejarah Makkah pra-Saudi Arabia
Fungsi yang mengalahkan bentuk
Bagi Rasulullah Saw, arsitektur bukan tentang keindahan visual semata, melainkan tentang kemanfaatan. Maka, tak heran jika Masjid Nabawi tidak dibangun megah. Karena yang penting bukan kemewahan bentuk, tapi kebermanfaatan fungsi.
Masih dalam buku yang sama, Omer Spahic menyebut bahwa Masjid Nabawi adalah prototipe pusat komunitas. Sebuah model bangunan yang menyatu dengan kehidupan sosial, spiritual, dan administratif masyarakat.
Di masjid itu, Nabi menyelesaikan konflik, membagikan zakat, bahkan menerima utusan dari luar negeri. Tidak ada pembatas yang menghalangi antara urusan ibadah dan urusan dunia. Semua berjalan dalam harmoni. Dalam satu ruang, kehidupan berdenyut utuh.
Konsep ini kemudian berkembang menjadi arsitektur Islam. Sebuah pendekatan yang tidak memisahkan fungsi dengan nilai. Arsitektur bukan hanya soal bentuk kubah atau menara, tetapi soal makna, kebermanfaatan, dan keberlanjutan.
Masjid Nabawi adalah tonggak sejarah lahirnya arsitektur Islam. Tapi yang diwariskan bukan bentuk fisiknya, melainkan semangat dan fungsinya. Dari masjid itu, muncul masjid-masjid lain di dunia Islam yang mengusung nilai serupa, dengan bentuk berbeda, tetapi dengan ruh yang sama.
Sayangnya, dalam praktik modern, semangat itu mulai memudar. Banyak masjid kini dibangun megah, tetapi kosong dari fungsi sosial. Banyak pula yang hanya menjadi simbol status, bukan pusat peradaban. Padahal, warisan arsitektur Islam sejati adalah ketika bangunan bisa menghadirkan kedamaian, kemaslahatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Arsitektur Islam sejati adalah ketika bentuk, fungsi, dan nilai bersatu. Dimulai dari niat yang benar, dikerjakan dengan kejujuran, dan menghasilkan manfaat bagi manusia dan alam.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Seperti yang ditegaskan oleh pemikir Muslim Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Concept of Knowledge in Islam (1989), tanpa Islam sebagai prinsip, arsitektur hanya akan menjadi kulit kosong. Karena sejatinya, arsitektur Islam adalah pengejawantahan dari ajaran Islam itu sendiri, ia memfasilitasi pelaksanaan Islam dalam kehidupan nyata.
Hari ini, Masjid Nabawi berdiri megah di Kota Madinah. Tapi di balik kemegahannya, tersimpan warisan paling penting berupa makna filosofi. Yakni bahwa masjid adalah pusat kehidupan, bukan sekadar tempat ibadah. Tempat bertumbuhnya ilmu, solidaritas, dan harapan.
Masjid Nabawi adalah bukti bahwa peradaban besar bisa lahir dari ruang yang sederhana, selama ia dibangun dengan niat yang tulus dan fungsi yang luhur. Ia adalah rumah pertama umat Islam, sekaligus simbol awal bahwa Islam tidak datang hanya untuk mengubah keyakinan, tapi juga membangun peradaban yang utuh, mulai dari sebuah masjid.
Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.