Ikhbar.com: Ada 297.581 masjid di Indonesia. Dari jumlah tersebut, masjid terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat, yakni sekitar 59.241 unit.
Melansir data Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama (Kemenag) RI, per Selasa, 21 Februari 2023, masjid di Bumi Pasundan didominasi jenis jamik, yakni 53.929 unit. Kemudian, sebanyak 4.602 unit merupakan masjid di tempat publik, 591 masjid besar, 92 masjid bersejarah, 25 masjid agung, dan satu masjid raya.
Posisi kedua ditempati Jawa Tengah dengan 50.691 masjid. Sebanyak 45.759 masjid di Jawa Tengah memiliki tipologi sebagai masjid jamik.
Lalu, sebanyak 4.129 masjid di provinsi tersebut berada di tempat publik. Terdapat juga 601 masjid besar, 164 masjid bersejarah, 35 masjid agung, dan dua masjid raya.
Sebanyak 49.863 masjid berada di Jawa Timur. Di provinsi tersebut, masjid jamik menjadi yang paling banyak, yakni 37.413 unit. Jawa Timur pun memiliki 11.459 masjid di tempat umum. Kemudian, 622 masjid besar, 242 masjid bersejarah, 36 masjid agung, dan satu masjid raya.
Sementara, Bali memiliki jumlah masjid paling sedikit, yaitu 250 unit. Di atasnya ada Papua dan Papua Barat yang masing-masing memiliki 400 masjid dan 431 masjid.
Jumlah itu, tentu masih jauh dari fakta di lapangan. Sebab, pada 2020 saja, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menyebut Indonesia telah memiliki lebih dari 800 ribu unit tempat ibadah umat Islam hingga menjadikannya sebagai negara dengan masjid paling banyak di dunia.
Lima masjid termegah
Sementara itu, lima masjid termegah di Indonesia urutan pertama adalah Masjid Istiqlal. Masjid Istiqlal merupakan masjid negara yang terletak di pusat DKI Jakarta. Tak hanya terbesar di Indonesia, Istiqlal juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara.
Dengan luas bangunan 24.200 meter persegi di atas tanah seluas 98.247 meter persegi, masjid yang digagas Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1951 ini mampu menampung jemaah hingga 200.000 orang.
Bangunan utama Istiqlal dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar masjid.
Urutan kedua, ada Masjid Al-Akbar di Surabaya. Masjid nasional Al-Akbar dibangun sejak 4 Agustus 1995 atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno.
Sayangnya, karena krisis moneter pembangunannya dihentikan. Baru pada 1999, pembangunan masjid ini kembali diteruskan dan rampung pada 2021. Pada 10 November 2000, Mmsjid ini diresmikan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Masjid Al-Akbar memiliki mencapai kurang lebih 11,2 hektare dan mampu menampung jamaah hingga 59.000 orang.
Ketiga, ditempati masjid yang baru diresmikan tahun ini, yakni Masjid Raya Al-Jabbar. Masjid ini dijuluki sebagai ‘Masjid Apung’ karena didirikan di tengah danau yang berada di lahan seluas 26 hektare di wilayah Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat.
Pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar digagas Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan pada 2017 dan dan dilanjutkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Bangunan yang diarsiteki langsung oleh Ridwan Kamil ini memiliki desain yang tergolong unik, pasalnya bentuk kubahnya menyerupai sisik ikan serta memiliki empat menara yang menjulang.
Masjid Al Jabbar memiliki daya tampung mencapai 50.000 jemaah jika seluruh area masjid digunakan untuk salat. Sementara untuk area dalam masjid bisa menampung 20.000 orang dan di lantai atas masjid yang dikhususkan untuk perempuan bisa digunakan 2.000-3.000 orang.
Keempat, Masjid Kubah Emas Dian Al Mahri, Depok, Jawa Barat. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Kubah Emas. adalah sebuah masjid yang dibangun di
Masjid Dian Al Mahri dibangun oleh Hj. Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal Banten, yang telah membeli tanah sejak tahun 1996. Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 dan selesai sekitar akhir tahun 2006.
Dengan luas kawasan 50 hektare, bangunan masjid ini menempati luas area sebesar 60×120 meter atau sekitar 8.000 meter persegi. Masjid ini dapat menampung sekitar kurang lebih 20.000 jemaah. Kawasan masjid ini bahkan sering disebut sebagai kawasan masjid termegah di Asia Tenggara.
Kelima, Masjid Raya Baiturrahman, Aceh. Masjid yang terletak di Kota Banda Aceh ini memiliki lembaran sejarah tersendiri. Nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama masjid raya yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612.
Dengan luas bangunan 4.000 meter persegi, masjid ini dapat menampung jemaah hingga 13.000 orang. Saat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 yang menghancurkan sebagian Aceh, masjid ini selamat tanpa kerusakan yang berarti dan menjadi tempat berlindung sebagian warga Aceh.
Pekerjaan rumah
Meskipun menjadi negara dengan jumlah masjid terbanyak, akan tetapi hal itu bukan tanpa problem. Penyempitan pemaknaan menjadi permasalahan utama hingga membuat ikhtiar pemakmuran masjid tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Pemerhati masjid, Sobih AW Adnan dalam opini berjudul “Restorasi Fungsi Masjid” di Media Indonesia (2022) menjelaskan, makna dan fungsi masjid yang pada mulanya begitu luas, amat disayangkan jika pada akhirnya harus menyempit hanya menjadi tempat salat dan pengajian. Fungsi masjid mesti direstorasi selayaknya atau setidaknya sesuai semangat di zaman Nabi, yakni menjadi poros kegiatan syiar keagamaan dan kemasyarakatan.
Paling, ada tiga langkah yang diperlukan agar masjid kembali pada kesemangatan sebagai pusat peradaban Islam, pun kemasyarakatan.
Pertama, masjid harus berada di dalam pengelolaan tangan-tangan yang kompeten. Pengurus masjid hari ini membutuhkan daya nalar yang inovatif, kreatif, dan spirit kepemimpinan yang baik. Oleh mereka, masjid akan berperan melampaui fungsi keumuman. Masjid-masjid seperti ini tidak mustahil menjadi poros pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi kemasyarakatan.
Kedua, pengelolaan yang serius. Masjid tidak bisa diposisikan sebagai rumah kedua bagi para pengurusnya. Totalitas para sahabat Nabi dalam ikhtiar-ikhtiar pemakmuran masjid mendongkrak daya tarik rumah ibadah sebagai pusat segenap kegiatan.
Ketiga, pelurusan niat. Sistem musyawarah mufakat menjadi acuan penting dalam menopang kemakmuran masjid. Tanpa itu, masjid yang semestinya sebagai ruang terbuka malah mewujud eksklusif dan kembali terbatas dibajak keegoisan personal.
Persoalan lainnya ialah tata kelola keuangan dan manajemen. Kepengurusan pengelolaan masjid dituntut untuk naik kelas dengan menerapkan tata kelola dan manajemen yang lebih profesional.
Pendiri Institut Akuntansi Masjid, Absar Jannatin menjelaskan, keuangan masjid harus dikelola secara profesional, transparan, dan sesuai prinsip akuntabilitas. Tujuannya, demi membangun kepercayaan jemaah atau publik.
“Semakin tinggi kepercayaannya terhadap pengelolaan keuangan masjid, semakin mereka akan memberikan sumbangan dan donasi, zakat, infak, sedekah,” ujar dia.
Menurut dia, pengelolaan keuangan masjid yang baik dan benar adalah syarat mutlak untuk mengembangkan masjid. Setelah kepercayan terbangun dengan baik, masjid akan lebih mudah mendapatkan dukungan publik dan bisa menjalankan program-program kerja. Pelaporan itu tidak cukup hanya mengandalkan cara-cara tradisional yang telah lama dilakukan setiap jelang Salat Jumat didirikan.
“Syarat utama mengembangkan masjid, kepercayaannya dulu harus dibangun, kalau tidak ada kepercayaannya jamaah hanya akan menyumbang ala kadarnya,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, masjid perlu dorongan serta bantuan dari DMI, Kemenag, dan semua stakeholder.
Dia juga berpendapat bahwa masjid bukan hanya untuk tempat ibadah. Sebab segala aspek kehidupan masyarakat di sekitar masjid bisa diberdayakan melalui masjid. Pemberdayaan pendidikan, ekonomi dan kesehatan bisa dilakukan oleh masjid.
“Pendidikan, ekonomi dan kesehatan itu memungkinkan untuk diberdayakan masjid, masjid-masjid tertentu yang sudah besar memiliki klinik, toko, fintek untuk modal usaha,” kata Absar.
Pekerjaan rumah (PR) berikutnya adalah pelibatan masjid dalam kegiatan politik praktis.
Pusat Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Jalan Damai, menyebut ada tiga residu persoalan yang ditinggalkan oleh praktik politisasi masjid.
Pertama, munculnya polarisasi politik di tengah umat. Polarisasi diartikan sebagai satu kondisi ketika masyarakat terbelah ke dalam dua atau lebih kelompok akibat perbedaan politik. Polarisasi ini cenderung berkonotasi negatif, lantaran kelompok yang berbeda pilihan politik dipersepsikan sebagai musuh yang harus dilawan.
Kedua, merebaknya praktik intoleransi sesama agama maupun antar-kelompok agama yang berbeda. Intoleransi adalah sikap tidak mau menerima kelompok yang berbeda karena menganggap diri dan kelompoknya sebagai paling benar dan suci. Intoleransi adalah penyakit sosial berbahaya, apalagi dalam konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Ketiga, persekusi yakni tindakan intimidasi yang menjurus ke kekerasan fisik yang dilakukan satu kelompok terhadap individu atau kelompok lain karena perbedaan keyakinan atau pilihan politik. Persekusi biasanya dilakukan oleh kaum mayoritas kepada minoritas dengan tujuan mengendalikan dan mendominasi.