Ikhbar.com: Peristiwa Nuzulul Qur’an menandai babak baru dalam sejarah umat manusia. Sebelum turunnya wahyu, masyarakat Makkah hidup dalam masa jahiliah (kebodohan), dengan ketimpangan sosial dan praktik penyembahan berhala merajalela.
Nuzulul Qur’an menjadi titik awal dari perlawanan terhadap norma-norma buruk ini, membawa nilai-nilai keadilan, persamaan, dan monoteisme yang mengangkat derajat mereka dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.
Peristiwa tersebut terjadi di Gua Hira, sebuah tempat sunyi di Jabal Nur, sekitar 5 kilometer dari Makkah, pada tanggal 17 Ramadan, sekitar tahun 610 M. Nabi Muhammad Saw, yang saat itu berusia 40 tahun, menerima wahyu pertama dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril.
Wahyu tersebut adalah lima ayat pertama dari Surah Al-Alaq:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Menurut Ibnu Hisyam dalam As-Sirah an-Nabawiyah, wahyu pertama ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran dalam diri Nabi Muhammad. Namun, dukungan dari istri Nabi, Khadijah, dan Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani yang memahami kitab suci, membantu Nabi memahami peran barunya sebagai Rasul Allah.
Dampak awal wahyu ini sangat terasa di Makkah. Masyarakat Quraisy yang sebelumnya hidup dalam kegelapan kebodohan, penyembahan berhala, dan sistem sosial yang timpang, mulai dihadapkan pada ajaran tauhid dan keadilan. Meskipun banyak yang menolak, wahyu Al-Qur’an mulai menanamkan benih-benih perubahan yang kelak akan mengubah peradaban dunia.
Baca: Lailatul Qadar di Zaman Serba-Gelisah
Membentuk pola kehidupan masyarakat Arab
Setelah turunnya wahyu pertama, Nabi Muhammad Saw mulai menyebarkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi kepada keluarga dan sahabat terdekat. Sayyidah Khadijah adalah orang pertama yang memeluk Islam, diikuti Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar As-Shiddiq.
Abu Bakar memainkan peran kunci dalam mengajak tokoh-tokoh terkemuka Makkah, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk memeluk Islam.
Wahyu Al-Qur’an tidak hanya berisi ajaran spiritual, tetapi juga memberikan pedoman hidup yang komprehensif. Ajaran tentang keadilan sosial, persamaan derajat manusia, dan penghapusan praktik riba mulai mengubah pola pikir masyarakat Arab. Misalnya, Al-Qur’an menegaskan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menjadi dasar penghapusan diskriminasi berdasarkan suku dan keturunan, yang sebelumnya sangat kental dalam masyarakat Arab. Ayat ini menekankan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan latar belakang sosial, tetapi ketakwaan dan amal saleh.
Baca: Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Bertahap?
Peran Abu Bakar dan Utsman dalam kodifikasi mushaf
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M, proses penyebaran dan penulisan Al-Qur’an terus berlanjut. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf untuk pertama kalinya.
Langkah ini diambil setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam Perang Yamamah. Salah satu penulis wahyu, Zaid bin Tsabit, ditugaskan untuk memimpin proyek ini.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, mushaf Al-Qur’an yang telah dikumpulkan disalin dan disebarkan ke berbagai wilayah Islam. Menurut Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama (Kemenag RI), proses ini dikenal sebagai “Mushaf Utsmani” dan menjadi standar penulisan Al-Qur’an hingga saat ini.
Hal ini tidak hanya memastikan keaslian Al-Qur’an, tetapi juga memudahkan penyebarannya ke seluruh penjuru dunia.
Nilai Al-Qur’an sebagai fondasi peradaban Islam klasik
Al-Qur’an tidak hanya menjadi kitab suci, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan peradaban Islam sejak masa klasik.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an, seperti keadilan, ilmu pengetahuan, dan persaudaraan, menjadi fondasi bagi kemajuan peradaban Islam pada abad pertengahan.
Misalnya, dalam bidang ilmu pengetahuan, Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk mengeksplorasi alam semesta.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Ayat ini mendorong para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari matematika, kedokteran, hingga astronomi. Peradaban Islam klasik menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang memengaruhi perkembangan dunia hingga saat ini.
Baca: Rahasia ‘Iqra’ di Era Kecerdasan Buatan (AI)
Relevansi pesan sejarah Nuzulul Qur’an
Di era modern, pesan Nuzulul Qur’an tetap relevan. Al-Qur’an tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga solusi bagi berbagai masalah kontemporer. Misalnya, konsep keadilan sosial dalam Al-Qur’an dapat menjadi jawaban atas ketimpangan ekonomi global. Demikian pula, ajaran tentang persaudaraan dan toleransi dapat menjadi penangkal radikalisme dan konflik antaragama.
Sebagaimana Al-Qur’an telah mengubah peradaban Arab dari jahiliyah menjadi peradaban yang maju, kitab suci ini juga memiliki potensi untuk membawa perubahan positif di masa kini. Kuncinya adalah memahami dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an secara mendalam dan kontekstual.
Nuzulul Qur’an bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi merupakan titik tolak bagi transformasi peradaban manusia. Dari Gua Hira, wahyu Al-Qur’an menyebar ke seluruh dunia, membawa cahaya ilmu, keadilan, dan kemanusiaan. Di tengah tantangan global saat ini, pesan Al-Qur’an tetap relevan sebagai sumber inspirasi dan solusi bagi umat manusia.