Peran Kakek Buyut Nabi dalam Penamaan Syakban dan Penetapan Kalender Arab pra-Islam

Kalender yang digunakan masyarakat Arab pra-Islam mirip dengan penanggalan Yahudi yang dimulai dari musim gugur.
Tampilan dekat astrolab Verona menunjukkan tulisan Ibrani ( kiri atas ) tertulis di atas tulisan Arab. SCIAM/Federica Gigante

Ikhbar.com: Sejak abad ke-5 Masehi, bangsa Arab telah mengenal empat rangkaian nama bulan sebelum akhirnya menetapkan nama-nama yang digunakan saat ini. Namun, nama-nama itu tidak digunakan secara seragam di semua tempat dan waktu. Orang Arab asli memiliki nama khusus yang cenderung berbeda dengan yang biasa digunakan kalangan peranakan. Sebagai contoh, suku Tsamud memulai tahun mereka dari bulan “Daimar,” yang bertepatan dengan bulan Ramadan dan menamai bulan Syakban sebagai “Mawha.”

Sebelum kedatangan Islam, bulan Syakban telah dikenal dengan berbagai nama oleh orang Arab asli. Salah satu nama yang digunakan adalah “Aadil,” yang bermakna keadilan atau keseimbangan. Ada dugaan bahwa nama ini diberikan karena pada bulan tersebut mereka menyesuaikan bulan Rajab dalam sistem penanggalan Nasīʾ. Selain itu, bulan ini juga disebut “Kus,’’ yang bermakna kesulitan atau keterikatan.

Dalam “The Shorter Encyclopedia of Islam (1991)” disebutkan bahwa kalender yang digunakan masyarakat Arab waktu itu mirip dengan penanggalan Yahudi yang dimulai dari musim gugur. Mereka menggunakan kalender lunisolar yang disesuaikan dengan matahari. Ra’s As atau kepala tahun selalu berlangsung dengan matahari, sedangkan tahun baru ditandai dengan berakhirnya musim panas.

Kalender lunisolar pra-Islam memiliki 12 bulan yang tiap-tiap bulan berjumlah 29 atau 30 hari, sehingga jumlah hari dalam satu tahun kalender adalah 354 hari. Untuk menyesuaikan jumlah hari yang didasarkan pada lunar month (perputaran bulan mengelilingi bumi) dengan jumlah hari dalam tahun matahari mencapai sekitar 11,53 hari setiap tahunnya, dibuatlah intercalary month (bulan sisipan) sebagai bulan ke-13 yang disebut dengan “An-nasi’.”

Baca: Cara Mudah Menghafal Nama-nama Bulan Hijriah

Makna bulan Syakban

Al-Biruni dalam “Al-Ātsār al-Bāqiyah ‘an al-Qurūn al-Khāliyah” menyebutkan nama lain bagi bulan Syakban, yaitu “Wāghilah,” sementara Ramadan disebut “Nāthilah.” Istilah ‘Wāghilah’ merujuk pada seseorang yang datang ke sebuah jamuan minuman tanpa diundang, mencerminkan kebiasaan orang Arab pada masa itu yang memperbanyak minum minuman keras di bulan Ramadan sebelum memasuki bulan-bulan haji.

Sejarah mencatat bahwa penamaan bulan Syakban sudah ada sejak tahun 412 Masehi. Nama ini pertama kali digunakan oleh Kilab bin Murrah, kakek kelima dari Nabi Muhammad Saw.

Kilab bin Murrah merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa Arab, yang dikenal sebagai pemersatu suku Quraisy dan pendiri tatanan sosial yang lebih stabil di Makkah. Kilab berperan dalam merancang sistem penanggalan yang lebih seragam bagi masyarakat Arab, termasuk penamaan bulan-bulan dalam kalender mereka.

Pada masa itu, bangsa Arab cenderung menamai bulan berdasarkan peristiwa atau fenomena alam yang menonjol pada waktu itu, dan Kilab bin Murrah memainkan peran penting dalam standarisasi tersebut.

Menurut Sayyid Muhammad dalam “Maadzaa fii Sya’baan?” nama Syakban dimaknai sebagai al-syi’b (jalan kebaikan), al-sya’b (tambalan), dan al-ta’asysyub (terkumpulnya banyak kebaikan), dan lain sebagainya. Sedangkan para ulama dan ahli bahasa lainnya banyak yang menghubungkan nama “Syakban”  sebagai derivasi dari kata “tasya’aba” yang berarti pisah, bercabang-cabang, berpencar-pencar, dan bercerai-berai.

Setidaknya ada empat faktor yang melandasi penamaan tersebut:

  1. Percabangan ranting pohon: Pada bulan ini, dahan dan ranting pepohonan mulai bercabang karena berada di puncak musim semi.
  2. Penyebaran kabilah untuk mencari air: Kabilah-kabilah Arab pada bulan ini mulai menyebar untuk mencari sumber air sebagai upaya bertahan hidup.
  3. Persiapan untuk pertempuran: Setelah menahan diri dari peperangan pada bulan Rajab—yang merupakan bulan haram—kabilah-kabilah Arab kembali melakukan ekspansi dan serangan pada bulan Syakban.
  4. Letaknya di antara dua bulan besar: Syakban terletak di antara bulan Rajab (bulan haram) dan Ramadan (bulan puasa), menjadikannya memiliki posisi istimewa.

Sementara itu, dalam “Fath al-Bari,” Imam Ibnu Hajar menyebutkan penamaan Syakban lebih karena pada bulan tersebut orang-orang Arab terbiasa menyebar untuk mencari air atau melakukan serangan setelah bulan Rajab yang suci. Para ulama lainnya juga mengungkapkan bahwa bangsa Arab lazim menamai bulan-bulan hijriah berdasarkan fenomena alam atau kejadian sosial yang berkaitan erat dengannya.

Baca: Mengapa Kalender Jawa Mirip Penanggalan Hijriah?

Penanggalan Arab sebelum Islam

Sebelum sistem penanggalan hijriah ditetapkan, orang Arab menggunakan berbagai cara untuk mencatat waktu. Mereka sering kali mengacu pada peristiwa besar yang terjadi pada masa itu. Misalnya, kaum Ibrahim mengukur waktu dari peristiwa Nabi Ibrahim As yang dilempar ke dalam api hingga pembangunan Ka’bah bersama Ismail. Setelah itu, keturunan Ismail mulai menghitung waktu dari pembangunan Ka’bah hingga mereka tersebar ke berbagai wilayah.

Orang-orang di daerah Tihamah mulai menandai waktu berdasarkan migrasi kabilah mereka hingga wafatnya K’ab bin Lu’ay. Setelah itu, mereka mulai menghitung dari kematiannya hingga peristiwa Tahun Gajah, yaitu saat pasukan Abrahah berusaha menyerang Ka’bah. Tahun Gajah menjadi patokan utama dalam penanggalan Arab sebelum sistem hijriah diterapkan karena Rasulullah Muhammad Saw lahir pada tahun tersebut.

Kilab bin Murrah memiliki peran dalam menyatukan sistem penanggalan Arab dengan menyusun bulan-bulan secara lebih tertib. Dengan pengaruhnya di suku Quraisy dan peranannya sebagai pemimpin yang dihormati, ia menginisiasi standarisasi nama-nama bulan yang sebelumnya berbeda-beda antar kabilah. Standarisasi ini bertahan hingga era Islam dan menjadi dasar bagi kalender hijriah yang diterapkan kemudian.

Kembali menurut Al-Biruni, bangsa Arab Kuno menganut sistem 12 bulan denagn nama-nama bulan yang berbeda dengan zaman jahiliyah maupun era Rasulullah Saw. Rangkaian satu tahun itu diawali dengan bulan bernama “Al-Mu’tamir”—yang sejajar dengan Safar.

Selanjutnya, penanggalan tersebut disambung dengan nama-nama bulan Najir, Khawwan, Bussan, Hantam, Zaba’, al-Asamm, Adil, Nafik, Waghl, Huwa’, dan Burak. Namun, nama-nama tersebut kemudian ditinggalkan generasi-generasi Arab yang muncul sesudahnya. Mereka mengubah nama ke-12 bulan agar berpatokan dengan adat istiadat dan iklim cuaca.

Sistem penanggalan Arab memang memakai metode lunar calendar (bulan) yang kurang menghiraukan musim. Namun, konvensi tentangnya dalam konteks budaya Arab justru menunjukkan kesadaran musim di dalam penamaan beberapa bulan (months). Khususnya, nama bulan yang disertai imbuhan “awal” dan “akhir.

Baca: 3 Alasan Muharam Jadi Bulan Pertama Kalender Hijriah

Penetapan kalender hijriah 

Pada tahun ke-17 Hijriah, tepatnya di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab RA, sistem kalender Islam secara resmi ditetapkan. Sebelumnya, kaum Muslim masih menggunakan penanggalan Arab tanpa sistem tahun yang jelas. Ketika Abu Musa al-Asy’ari mengeluhkan hal tersebut, Khalifah Umar langsung mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah.

Beberapa usulan muncul, di antaranya memulai kalender dari kelahiran Nabi, dari hari diutusnya beliau sebagai rasul, atau dari hijrahnya ke Madinah. Namun, Khalifah Umar lebih memilih hijrah sebagai awal penanggalan Islam karena hal itu dinilai mampu menandai perbedaan antara kebenaran dan kebatilan.

Kalender hijriah akhirnya ditetapkan pada tahun 16 Hijriah, tetapi mulai diterapkan setahun berikutnya. Tahun pertama dalam kalender hijriah dihitung sejak bulan Muharram, meskipun peristiwa hijrah sebenarnya terjadi di bulan Rabi’ul Awwal. Alasannya adalah karena Muharram merupakan bulan pertama dalam sistem penanggalan Arab dan menandai waktu kembalinya jemaah haji ke daerah masing-masing.

Sejak saat itu, sistem kalender hijriah digunakan secara resmi oleh kaum Muslim dan tetap menjadi penanggalan utama dalam menentukan waktu-waktu ibadah hingga kini. Kalender ini berbasis pergerakan bulan, sesuai dengan firman Allah dalam QS. At-Taubah: 36, yang menegaskan bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas, dengan empat bulan di antaranya sebagai bulan haram (mulia).

Dengan ditetapkannya kalender hijriah, umat Islam memiliki sistem penanggalan yang mencerminkan identitas mereka dan memisahkan mereka dari praktik-praktik penanggalan pra-Islam yang dipenuhi dengan manipulasi sistem Nasīʾ. Kalender ini tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga menjadi simbol sejarah peradaban Islam yang terus digunakan hingga saat ini.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.