Ikhbar.com: Perekonomian Mekkah tengah kolaps. Terlebih, pemasukan dagang yang diperoleh Bani Muthalib. Selama beberapa tahun belakangan, para saudagar mengeluhkan kelesuan dalam kegiatan dagang mereka.
Syekh Abu Muhammad bin Malik ibn Hisyam dalam Sirah An-Nabawiyah menyebut, resesi ekonomi itu pun berdampak cukup berat pada Abu Thalib, yang kini menjabat sebagai pemuka suku Quraisy. Kehidupannya kian terjepit, sementara anak yang menjadi tanggungannya cukup banyak dan masih berusia balita.
Meski begitu, Abu Thalib sudah cukup dikenal sebagai sosok yang pantang menyerah. Ia begitu yakin, bahwa Kota Mekkah selalu menghadirkan peluang. Terlebih lagi, sejarah kota ini telah mampu melahirkan para saudagar besar yang mampu menembus pasar internasional.
Sebagai kota usaha, Mekkah pun tidak cuma memiliki para pengusaha laki-laki, tetapi juga perempuan. Salah satu saudagar perempuan yang cukup terkenal ialah Khadijah binti Khuwailid yang berasal dari klan Asad.
Di suatu hari, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Abu Thalib. Ia sadar tidak semua saudagar tersungkur akibat resesi. Salah satunya, Khadijah. Perempuan pengusaha yang gigih itu dikabarkan tetap piawai berbisnis di tengah badai ekonomi yang tengah melanda. Abu Thalib berniat untuk mengambil kesempatan kerja musiman yang biasa ditawarkan para saudagar sekembalinya berdagang dari luar Mekkah.
Khadijah, dan saudagar lain yang masih bisa bertahan telah memiliki jadwal khusus dalam menjalankan bisnisnya. Jika musim panas tiba, mereka akan berduyun-duyun menuju daerah barat laut jazirah Arab. Ketika musim panas usai, mereka akan kembali menunggu datangnya musim dingin untuk melanjutkan bisnisnya ke Yaman. Di kedua musim tersebut, mereka akan mengarahkan unta-unta dagangnya menuju Palestina dan Syiria.
Sebagai pebisnis perempuan, Khadijah pun sedikit kerepotan jika memaksa diri untuk melakukan perjalanan dagang sejauh itu. Apalagi kini usianya telah mencapai 40 tahun. Dia lebih memilih mengupah seseorang untuk menjalankan usahanya. Abu Thalib pun menyarankan keponakannya, yakni Nabi Muhammad Saw, untuk mengambil peluang itu sebagai pembelajaran bisnis yang lebih serius di usianya menjelang 25 tahun.
“Wahai putra saudaraku, saat ini adalah tahun paceklik Kita sudah tidak memiliki lagi harta ataupun barang dagangan. Aku dengar Khadijah tengah mencari orang untuk memperjualbelikan dagangannya ke Syiria. Sebenarnya engkau sangat pantas untuk melakukannya,” rayu Abu Thalib, kepada Nabi Muhammad.
Mendengar hal itu, Rasululah sadar bahwa pamannya tidak sekadar memberikan informasi, tetapi lebih kepada anjuran baginya agar bersedia mengambil kesempatan tersebut. “Semoga Khadijah akan mengirim utusan padaku,” jawab Nabi.
Dan benar saja, Khadijah tiba-tiba mengutus seseorang untuk meminta Nabi Muhammad agar berkenan membawa barang dagangannya ke Syiria. Pilihan itu jatuh kepada Nabi karena Khadijah telah mengenal betul kepribadian putra Aminah itu. Kejujuran, kesopanan, serta kepandaian Nabi Muhammad dalam berniaga telah menjadi bahan pembicaraan para pelaku bisnis di Mekkah. Nabi Muhammad pun menyambut kepercayaan itu dengan riang.
Nabi pun mulai menjalankan kontrak kerja tersebut ditemani pembantu Khadijah bernama Maisyarah. Setelah semua dipersiapkan dengan matang, keduanya berangkat pada malam 14 Zulhijah. Bersama sejumlah pedagang lain, Nabi Muhammad bergerak melalui Wadil Qura, Madyan, dan Diyar Samud.
Setelah sampai di Syiria dan semua dagangan ludes terjual, rombongan bersiap-siap untuk segera kembali ke Kota Mekkah. Sejak perjalanan berangkat maupun pulang, Maisyarah banyak menjumpai keajaiban yang hadir pada diri Nabi. Salah satunya, perjalanan menembus gurun yang lumrahnya sangat berat, menjadi mudah dan serbateduh karena awan terus mengarak menutupi perjalanan mereka dari sengatan sinar matahari.
Nabi dan Maysarah pun akhirnya tiba di rumah mewah Khadijah. Maisyarah tak sadar jika langkah mereka memasuki rumah itu dicermati putri Khuwailid yang sejak awal telah tertarik dengan keluhuran Nabi Muhammad. Ketika menghadap, perhatian Khadijah pun tidak hanya pada laporan hasil dagang, namun juga telah beralih pada kemenakan Abu Thalib.
Saudagar perempuan Bani Asad ini memang telah lama hidup menjanda. Dulu ia pernah menikah dengan Abu Hallah ibn Zurarah At-Taymiy dan Atiq ibn ‘Aid Al- Makhzumiy. Dari perkawinannya dengan At-Taymiy Khadijah melahirkan dua putra bernama Hallah dan Hindun. Sedangkan dengan Atiq, melahirkan dua anak, yaitu Hindun dan Atiq.
Sepeninggal Abu Hallah dan Atiq ibn ‘Aid Al-Makhzumiy, sebenarnya banyak dari para saudagar yang hendak menyunting Khadijah. Kecantikan, keluhuran nasab, serta kemulian pribadi Khadijah memang menjadi minat hati banyak pria. Namun, semua lamaran ditampiknnya dengan halus.
Sikap itu jauh berbeda setelah Khadijah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Khadijah mungkin bisa menutupi perasaannya dari dua orang yang baru saja ia utus ke Syiria itu, tetapi hatinya terlalu awas untuk dikelabui. Setelah Maisyarah dan Nabi Muhammad pamit, ia langsung menceritakan isi hatinya itu pada sahabat dekatnya, Nufaisah binti Munya. Setelaha mendengarkan curhatan Khadijah, Nufaisah langsung menemui Nabi untuk menjajaki perasaan pemuda yang telah membuat saudagar perempuan itu jatuh cinta.
“Mengapa engkau belum juga menikah, wahai Muhammad?” tanya Nufaisah.
“Aku belum punya persiapan untuk ke pelaminan,” jawab Nabi.
“Kalau itu sudah disediakan, kemudian yang melamarmu itu adalah perempuan cantik, kaya, dan terhormat apakah kau mau menerimanya?” Nufaisah lebih sedikit menjurus. “Siapa dia?” tanya Nabi.
“Dia adalah Khadijah,” tegas Nufaisah.
Terhitung setelah dua bulan kepulangan Nabi dari Syiria, Nabi Muhammad akhirnya memberanikana diri melamar Khadijah. Ditemani Abu Thalib, Hamzah, dan beberapa pemuka Quraisy, Nabi datang meminang dengan mas kawin dua puluh ekor unta muda. Hingga akhirnya kedua pasangan suci itu menikah dan memulai perjuangannya untuk menegakkan agama Allah Swt yang bermula di Kota Mekkah.