Ikhbar.com: Cekcok ialah bumbu rumah tangga. Perkataan itu bisa benar, bisa juga salah, tergantung bagaimana cara setiap pasangan menyikapi perbedaan pandangan, apalagi sekadar kesalah-pahaman.
Yang terpenting, pertengkaran yang terjadi antara suami dan istri mesti dipahami sebagai sebuah kelaziman dan hal yang manusiawi. Bahkan, sekelas manusia suci, Rasulullah Muhammad Saw pun tak luput dari problem rumah tangga.
Dalam Umm al-Mukminin Hafsah binti Umar bin al-Khatthab, Syekh Khalid al-Hamudi menceritakan perjalanan rumah tangga Nabi Saw dengan salah satu istrinya, Hafsah, yang merupakan putri sulung Umar bin Khattab.
Suami terbaik
Ibunda Hafsah bernama Zainab binti Mazh’un, adik kandung Utsman bin Mazh’un, salah seorang cendekiawan Arab zaman Jahiliyah yang kemudian menjadi sahabat Nabi. Hafsah lahir beberapa hari setelah kelahiran Fatimah, putri bungsu Rasulullah.
Dalam catatan sejarah, kelahiran Hafsah bertepatan dengan peristiwa pemugaran ka’bah oleh suku Quraisy setelah roboh diterjang banjir atau sekira lima tahun sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu pertama.
Sejak kecil, Hafsah dikenal dengan pribadi yang tegas. Ia juga telah pandai membaca dan menulis di saat hal itu masih terbilang asing dan tabu bagi kaum perempuan Arab.
Memasuki masa dewasa, Hafsah dinikahi Khunais bin Hudzafah al-Sahami. Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama karena pemuda saleh tersebut syahid ketika ikut perang Badar.
Kematian Khunais, tidak hanya menghadirkan kesedihan bagi Hafsah, tetapi juga bagi sang ayah, Umar bin Khattab. Hingga akhirnya, Umar mendatangi Utsman bin Affan yang juga baru ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah. Umar meminta sahabatnya itu agar berkenan menikahi Hafsah.
“Aku belum ingin menikah saat ini,” jawab Utsman.
Tidak patah arang, Umar pun kemudian mendatangi Abu Bakar As-Shidiq dan menawarkan Hafsah kepadanya. Dia berharap Abu Bakar tidak menolaknya. Sayang, Abu Bakar cuma diam seribu bahasa.
Umar merasa kecewa. Ia akhirnya memaksakan diri untuk menghadap Rasulullah Saw dan mengadukan peristiwa tersebut.
Mendengar curhatan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman. Dan Utsman akan menikah dengan perempuan yang lebih baik dari Hafsah.”
Akhirnya, Umar tampak semringah. Ia sebenarnya tak sabar mendengar siapa nama laki-laki terbaik yang akan menggantikan posisi Khunias di hati putrinya tersebut.
Baca: Al-Qur’an Merevolusi Nilai Perempuan
Rasa penasaran itu tak jua terjawab sampai suatu hari Rasulullah lah yang mendatangi kediaman Umar untuk melamar Hafsah. Kebahagiaan pun kian membuncah di wajah sahabat berjuluk Al-Faruq tersebut. Setelah pembicaraan rampung, Umar segera bergegas guna memberitahu kabar gembira tersebut kepada para sahabatnya.
Orang yang pertama didatangi Umar adalah Abu Bakar. Usai mendengar kabar dari Umar, Abu Bakar berkata, “Umar, sahabatku, jangan marah. Sungguh aku mendengar Rasulullah menyebut nama Hafsah. Hanya saja aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya Rasulullah menolak Hafsah, pasti saat itu aku akan menikahinya.”
Rasulullah pun menikahi Hafsah pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyyah. Nabi juga menikahkan putrinya, Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan pada bulan Jumadil Akhir di tahun yang sama.
Cemburu buta
Di kediaman Rasulullah Saw, Hafsah hidup bersama istri Nabi lainnya, yakni Aisyah dan Saudah. Hanya saja, suatu waktu, istri Nabi Saw bernama Mariyah Qibtiyah datang mencari Nabi Saw ketika mereka bertiga tidak ada di rumah.
Ketika Rasulullah menemui Mariyah, tiba-tiba Hafsah pulang dari rumah ayahnya. Hafsah pun menangis penuh amarah tak kuasa menahan cemburu dan marah karena melihat Rasulullah tengah berduaan serta menganggap Mariyah datang tanpa memberi kabar.
Melihat Hafsah cemburu, Rasulullah berusaha membujuk dan memohon maaf. Bahkan, Nabi Saw meminta Mariyah untuk segera kembali dan memberikan kabar kepada Hafsah jika ingin datang ke rumah. Di sisi lain, Rasulullah meminta Hafsah agar tidak melanjutkan cemburu buta itu dan jangan membiarkan kabar liar berembus keluar.
Sayangnya, rasa cemburu dan tidak terima terus merangsek di dada Hafsah. Ia menceritakan kejadian itu kepada Aisyah, dan dengan cepat menyebar hingga kembali sampai di telinga Rasulullah. Mendengar kenyataan tersebut, Nabi Saw sangat marah hingga berniat menceraikannya.
Namun, kisah berubah ketika Malaikat Jibril turun dan menghampiri Nabi Saw. Jibril membawa amanat dari Allah Swt agar Nabi Saw tidak menceraikan Hafsah.
“Jangan ceraikan Hafsah, karena ia adalah rajin berpuasa dan beribadah. Ia akan menjadi istrimu di surga.”
Setelah mendengar itu, Nabi Saw kembali rujuk dengan Hafsah dan hidup hingga akhir hayatnya. Hafshah kemudian wafat pada Syakban tahun 45 Hijriyah.