Ikhbar.com: Ada riwayat menarik tentang Nabi Muhammad Saw di hari raya Idulfitri. Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al Khubawi, dalam Durratun Nashihin mengisahkan, di pagi yang menggembirakan itu, Rasulullah dengan begitu tenang melangkah menuju masjid.
Di tengah perjalanan, Rasulullah Saw melewati kerumunan anak-anak yang begitu riang. Terkecuali, satu bocah yang tampak murung menyendiri, dan menangis.
Kondisi yang kontras itu, rupanya menyita perhatian Nabi. Kepada anak yang berpakaian lusuh tersebut, Rasulullah Saw bertanya, “Mengapa engkau bersedih, dan tidak ikut bermain bersama mereka?”
“Paman, sekali waktu ayahku turut dalam pertempuran bersama Rasulullah. Namun, dia gugur,” jawab bocah itu, sesenggukan.
Nabi, terenyuh. Beliau berusaha dengan saksama mendengarkan cerita yang tampaknya belum usai itu.
“Ibuku,” lanjut sang yatim, “Menikah lagi. Ia memakan warisanku, harta peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku. Kini, aku tak memiliki apapun; makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa.”
Tangis bocah itu pun kian pecah. Tetapi dengan terbata-bata, ia tetap berusaha mencurahkannya, “Dan hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan Idulfitri bersama ayah mereka. Ketika memandangnya, perasaanku dikuasai nasib hampa dan duka. Aku cuma bisa menangis.”
Bocah yang sedari mula menundukkan wajah itu, tak sadar bahwa pendengar setia keluh kesahnya adalah Muhammad Rasulullah. Nabi pun menggenggam tangannya, lantas bersabda:
“Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi ayah, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah.
Kaget bukan kepalang, bocah itu lantas mendongakkan kepala dan bilang, “Bagaimana aku tidak mau menjadi bagian dari keluarga Rasulullah?”
Rasululllah pun kemudian mengajak anak itu pulang ke rumah. Disajikannya aneka makanan nan mengenyangkan, dipakaikannya baju baru dengan wewangian.
Tak lama, bocah itu keluar dari rumah Nabi dengan wajah penuh semringah. Melihat perubahan raut muka yang secepat kilat, teman-teman seumurannya tak segan bertanya, “Bukankah tadi kau menangis? Mengapa kini sangat gembira?”
“Ya. Sebelumnya aku lapar, tetapi lihatlah, kini tidak lagi. Tadi aku berpakaian lusuh, sekarang sudah amat bagus. Dulu aku anak yatim, dan hari ini, aku punya keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Bagaimana saya tidak bahagia?”
Mendengar cerita menakjubkan itu, sampai-sampai bocah lainnya berkata, “Andai ayahku juga gugur di peperangan itu, niscaya aku pun menjadi anak Rasulullah.”