Ikhbar.com: Ramadan telah berada di pengujung bulan. Tidak lama lagi, umat Islam akan merayakan Idulfitri yang juga masyhur disebut hari kemenangan.
Perayaan Idulfitri pertama kali diperingati umat Islam pada tahun kedua hijriah, tepatnya usai pasukan Muslim memenangkan pertempuran Badar yang meletup pada 17 Ramadan.
Hadaratussyekh KH Hasyim Asy’ari, dalam Risalah fi al-Aqaid menjelaskan, sebelum Islam hadir, bangsa Arab Jahiliyah telah memiliki dua hari besar yang mereka digunakan untuk berpesta pora, mabuk-mabukan, dan menari-nari. Kedua hari itu bernama Nairuz dan Mihrajan.
Keterangan senada juga dijelaskan Al Azhim Abadi dalam Aun Al Ma’bud. Kedua hari penuh kemaksiatan itu kemudian diganti oleh Islam dengan hari raya Idulfitri dan Iduladha.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idulfitri dan Iduladha. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Syekh Abdurrahman Al-Banna dalam Al-Fath al-Rabbani menyimpulkan perbedaan kedua hari raya Idulfitri dan Iduladha dengan dua perayaan warisan Jahiliyah tersebut. Nairuz dan Mihrajan ditetapkan berdasarkan pilihan seseorang yang sedang berkuasa, selalu berubah karena menyesuaikan zaman, serta diliputi dengan berbagai hal yang tidak kekal dan bertahan lama. Sebaliknya, hari raya Idulfitri dan Iduladha dihadirkan bersamaan dengan kewajiban ibadah puasa dan haji yang keduanya merupakan bagian dari rukun Islam.
Penamaan Idulfitri
Id dari bahasa Arab diucap Ied. Menurut kamus Lisan al-Arab karya Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Ali atau yang masyhur dengan nama Ibnu Manzur, lafaz tersebut diambil dari bentuk ‘Aada–ya’uudu dengan makna kembali. Bisa pula diartikan perkumpulan, yakni kembalinya orang-orang untuk bertemu atau berkumpul.
Sementara dalam Tanwir al Ainain karya Syeikh Abul Hasan Al Ma’ribi diterangkan bahwa asal mula kata Id adalah al-Aaadah, yang bermakna kebiasaan. Di dalamnya disebutkan bahwa tokoh sufi legendaris, Ibn Arabi berkata, “Hari raya ini disebut Id karena pada hari itu selalu muncul di setiap tahun dengan membawa kegembiraan baru.”
Sedangkan kata fitri, ia diambil dari fathara dengan makna membedah atau membelah. Hal ini bisa dihubungkan dengan perintah ifthar (berbuka) setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
“Rasulullah Muhammad Saw melarang berpuasa pada dua hari, yaitu Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Muslim)
Idulfitri di zaman Nabi
Banyak sumber menceritakan kesunahan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw di saat hari raya tiba. Dalam sebuah hadis riwayat Hakim disebutkan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan para sahabatnya untuk mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki, serta menyertakan diri dengan wewangian.
Riwayat lainnya, sebagaimana dikutip dalam As-Sunan Al-Kubra disebutkan bahwa Nabi di pagi Lebaran mengenakan ajmal tsiyabih (pakaian terbaik) berupa hibarah alias pakaian bercorak yang terbuat dari kain katun halus. (HR. Muslim).
Setelah berdandan rapi dan wangi, Rasulullah juga diceritakan lebih mendahulukan sarapan sebelum melaksanakan salat Idulfitri. Sementara untuk Iduladha lebih dipilih dengan mengakhirkannya.
Imam Bukhari menyebutkan bahwa Nabi terlebih dahulu memakan kurma kering dan dalam jumlah ganjil sebelum melaksanakan salat pada hari raya Idulfitri.
Selain persiapan yang dilakukan sebelum melaksanakan salat, Nabi juga menganjurkan para sahabatnya untuk berangkat dan pulang dengan jalan kaki melalui jalur yang berbeda.
عن جابر رضي الله عنه: كان النبي صلى الله عليه وسلم الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق
“Sahabat Jabir r.a menceritakan, saat salat Idulfitri dan Iduladha, Rasulullah saw akan berangkat dengan rute yang berbeda dengan saat pulang.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika dalam perjalanan pulang berjumpa dengan para sahabatnya, Nabi juga menyampaikan tahniah atau ucapan selamat hari raya dibarengi dengan berjabat tangan serta mengucapkan kalimat, “Taqabbala Allah minna wa minka” (Semoga Allah menerima ibadah kita selama Ramadan), lantas ucapan itu pun dijawabi para sahabat dengan perkataan yang serupa.