Ikhbar.com: Ribuan penyintas female genital mutilation (FGM) akan bergerak melintasi seluruh negara di Benua Afrika guna menentang praktik sunat pada perempuan. Massa aksi, yang juga terdiri dari para aktivis sosial itu akan melakukan perjalanan sepanjang 12.000 kilometer untuk menyuarakan aspirasi anti-FGM hingga ke berbagai pelosok negeri.
Koordinator Kampanye Media Global Penolakan FGM di Nigeria, Ayo Bello-Awodoyin mengatakan, gerakan bernama koalisi #FrontlineEndingFGM tersebut akan mengunjungi sebanyak 20 negara yang berada di Benua Hitam.
“Kami sedang berusaha merebut persepsi dan menyuarakan aspirasi. Sebelumnya banyak aktivis yang juga mengampanyekan hal ini, tetapi belum pernah dilakukan secara massal,” kata Awodoyin, sebagaimana dikutip dari The Guardian, pada Kamis, 8 Februari 2024.
Baca: Hukum Khitan bagi Perempuan
Rombongan akan memulai perjalanannya pada Juni 2024 mendatang, dimulai dari Mauritania di barat laut Afrika. Awodoyin memperkirakan, aksi massa itu akan mencapai Djibouti di Tanduk Afrika pada pertengahan 2026.
Awodoyin mengungkapkan, meskipun secara data statistik FGM di Afrika terus menurun, akan tetapi praktik tersebut masih marak dan dianggap legal di banyak negara. Bahkan, di Somalia, Gambia, Mali, dan Guinea, praktik sunat perempuan masih mendapatkan dukungan besar dari masyarakat.
“Masalah utamanya adalah keefektifan undang-undang,” katanya.
Baca: Daftar Negara Mayoritas Muslim Paling Ramah Perempuan, Indonesia Urutan Berapa?
Anggapan perintah agama
Menurut Awodoyin, hambatan utama dalam memberantas praktik FGM adalah keyakinan yang kuat di benak masyarakat bahwa FGM merupakan sebuah perintah agama.
“Oleh karena itu, pesan anti-FGM kepada masyarakat lokal harus disesuaikan dengan keyakinan budaya dan agama tertentu di wilayah Afrika,” kata dia.
Pendiri yayasan yang getol menolak praktik FGM di Afrika, Ifrah Foundation, Ifrah Ahmed menyarankan perlunya mengalihkan persepsi masyarakat tentang FGM dari sebagai perintah agama menjadi hanya sebagai warisan tradisi dan budaya.
“Oleh karena itu, akan berdampak besar bagi masyarakat jika mendengar seorang pemimpin agama mengatakan bahwa ini bukan praktik keagamaan, melainkan praktik budaya,” saran dia.
Gerakan #FrontlineEndingFGM juga akan melakukan perjalanan ke daerah pedesaan yang menampung para pengungsi. Mereka akan diberikan informasi melalui film dokumenter yang menceritakan risiko praktik sunat perempuan bagi kesehatan.
“Praktik ini dapat menyebabkan komplikasi persalinan, trauma, masalah menstruasi dan seksual, bahkan dalam beberapa kasus berupa kematian,” kata Ahmed.