Ikhbar.com: Amerika Serikat (AS) sering kali mengklaim diri sebagai tanah kelahiran berbagai norma kemanusiaan global, mulai dari tema hak asasi manusia (HAM), demokrasi, termasuk kesetaraan gender. Di tengah klaim tersebut, kesetaraan gender dalam praktik keseharian masyarakat AS rupanya masih jauh panggang dari api.
Feminisme, sebagai gerakan utama yang memperjuangkan kesetaraan gender, disebut pertama kali mendapatkan momentum besar melalui Konvensi Seneca Falls pada 1848. Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott, konvensi tersebut menghasilkan Declaration of Sentiments, sebuah dokumen yang menuntut berbagai hak bagi perempuan, termasuk hak suara.
Namun, lebih dari satu abad sejak Konvensi Seneca Falls, pertanyaan besar tetap muncul, “Apakah kesetaraan gender benar-benar ada di AS? Apakah kekalahan Kamala Harris dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi bukti bahwa konsep kesetaraan gender di Negeri Paman Sam cuma berkutat pada teori-teori bombastis tanpa praktik?
Baca: Aneka Reaksi Negara Muslim usai Trump Menang Pilpres AS 2024
Kekalahan Harris dan bias gender pemilih AS
Kekalahan Kamala Harris, kandidat perempuan kulit hitam pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden AS, mengingatkan kita pada kekalahan serupa yang dialami oleh Hillary Clinton pada 2016. Para analis menyebut bahwa faktor gender dan ras berperan penting dalam kekalahan Harris.
Donald Trump, yang dikenal dengan retorika seksis dan rasisnya, kembali mengalahkan kandidat perempuan. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa AS masih terperangkap dalam bias-bias lama.
Seorang peneliti opini publik AS, Tresa Undem menyatakan bahwa dinamika ras dan gender merupakan elemen utama dalam politik AS saat ini. Hal ini tercermin dari penurunan dukungan pemilih perempuan terhadap Harris dibandingkan dengan Pilpres sebelumnya.
“Dominasi Trump di kalangan pemilih laki-laki masih kuat, sementara dukungan dari pemilih perempuan terhadap Harris terus berkurang,” katanya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, pada Senin, 11 November 2024.
Data exit poll menunjukkan bahwa Harris hanya memenangkan 54% suara perempuan, lebih rendah dibandingkan Joe Biden yang meraih 57% suara kelompok pemilih tersebut pada 2020. Meski Harris mendapat dukungan kuat dari perempuan kulit hitam, tetapi dukungannya dari perempuan Latin terus anjlok hingga di hari H pemilihan.
“Isu-isu seperti ekonomi, inflasi, dan keamanan perbatasan menjadi prioritas bagi banyak pemilih perempuan, menggeser isu hak reproduksi yang dijadikan senjata utama oleh kampanye Harris,” kata Undem.
Baca: Konflik Gaza Bongkar Kedok Kebebasan Ekspresi di Barat
Ketimpangan ekonomi dan kekerasan terhadap perempuan
Meskipun feminisme diakui telah menjadi bagian dari sejarah panjang AS, kenyataan yang dihadapi perempuan di negara tersebut masih jauh dari ideal.
Fenomena gerakan 4B di Korea Selatan, yang menolak segala bentuk hubungan intim dengan laki-laki sebagai protes terhadap ketidaksetaraan gender dan kekerasan turut menyebar ke AS pasca kekalahan Harris.
Gerakan 4B kepanjangan dari Bi-hon (tidak menikah), Bi-cho (tidak berkencan), Bi-nam (tidak berhubungan seksual dengan laki-laki), dan Bi-yu (tidak memiliki anak).
Gerakan 4B mencerminkan kekecewaan perempuan terhadap sistem sosial yang dinilai tidak adil. Perempuan muda AS lewat platform-platform media sosial (medsos) menyuarakan bahwa mereka kecewa karena para pria telah memilih kandidat yang menurut mereka tidak menghormati otonomi tubuh perempuan.
Sayangnya, mereka justru menghadapi serangkaian serangan balasan misoginis dari pendukung Trump. Komentar yang merendahkan perempuan semakin sering muncul, terutama setelah kampanye penuh kemarahan dan hinaan.
Frasa seperti “your body, my choice. Tubuhmu, pilihanku,” yang awalnya digunakan untuk memperjuangkan hak reproduksi perempuan pada 1960-an, kini dibajak untuk memperburuk keadaan.
Banyak perempuan melaporkan bahwa mereka menghadapi ancaman, pelecehan, dan bahkan ancaman kekerasan di medsos pasca pemilu.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Dalam Islam dan di Indonesia lebih hidup
Ironisnya, kesetaraan gender justru lebih berhasil diterapkan dalam praktiknya di beberapa negara dan sistem yang tidak mengklaim diri sebagai tanah kelahiran ide-ide kesetaraan gender.
Ajaran Islam, misalnya, memberikan kedudukan yang terhormat bagi perempuan. Di dalam Islam, perempuan memiliki hak atas kepemilikan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Sejak zaman Nabi Muhammad Saw, perempuan sudah memainkan peran penting dalam masyarakat, baik sebagai pemimpin, pendidik, maupun pelaku ekonomi.
Baca: Ayat-ayat Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, juga telah menunjukkan keberhasilan dalam penerapan kesetaraan gender. Banyak tokoh perempuan, seperti Raden Ajeng (RA) Kartini, Cut Nyak Dhien, hingga para menteri perempuan, telah berperan penting secara praktik, bukan cuma teori, dalam pembangunan bangsa.
Tanpa klaim sebagai pelopor kesetaraan gender, Indonesia justru telah sedikit banyak mampu menempatkan perempuan di posisi yang strategis dalam politik dan ekonomi. Selangkah lebih maju dari AS, bahkan Indonesia pernah dipimpin Presiden perempuan, Megawati Sukarnoputri, pada periode 2001-2004.
Peran perempuan dalam Islam dan di Indonesia membuktikan bahwa kesetaraan gender tidak harus menjadi sebuah narasi yang didominasi oleh klaim ideologis dari negara-negara Barat. Dengan prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam ajaran Islam, perempuan dapat memainkan peran signifikan dalam masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, penerapan konsep ini bahkan terbukti lebih berhasil daripada di negara-negara yang secara eksplisit mengeklaim mendukung kesetaraan gender.