Ikhbar.com: Beberapa bulan lalu, tepatnya pada Juli 2024, parlemen Tajikistan telah mengesahkan undang-undang (UU) pelarangan “pakaian asing” yang ditengarai lebih menyoroti penggunaan hijab dan pakaian islami lainnya. Pemerintah setempat mengeklaim bahwa larangan itu semata-mata bertujuan untuk menjaga semangat dan nilai-nilai nasionalisme, sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan ekstremisme.
Bagaimana pun, mayoritas publik menafsirkan bahwa UU tersebut menjadi bagian dari upaya panjang, bahkan sejak puluhan tahun lalu untuk mendefinisikan identitas Tajik lewat penghapusan Islam politik sebagai kekuatan oposisi di negara mayoritas Muslim tersebut.
Kesaksian itu, salah satunya diungkapkan Anisa, bukan nama sebenarnya, perempuan Muslimah yang menjadi penerima dampak dari pelarangan jilbab di negaranya.
Cerita Anisa dimulai kala ia sedang dalam perjalanan mengunjungi keluarganya di pinggiran Dushanbe, Ibu Kota Tajikistan. Ia tiba-tiba dihampiri dua petugas polisi karena mengenakan hijab berwarna terang.
“Mereka terus mendesak kenapa saya memakai hijab dan apakah saya tidak tahu bahwa itu bukan tradisi Tajik?” ujar Anisa, sebagaimana dikutip dari The Beet, pada Jumat, 1 November 2024.
Baca: Tajikistan, Negara Muslim yang Larang Warganya Pakai Hijab
Situasi pun kian memanas ketika salah satu petugas mengancam akan membawanya ke kantor polisi.
“Mereka menarik jilbab saya dan mengatakan bahwa pakaian ini akan segera menjadi ilegal. Untungnya, argumentasi-argumentasi saya membuat mereka membiarkan saya pergi,” katanya.
Tak lama setelah itu, tepatnya pada 19 Juni 2024, Pemerintah Tajikistan pun mengetok UU yang melarang impor, penjualan, promosi, dan penggunaan pakaian asing bagi budaya nasional. Parahnya lagi, aturan tersebut menetapkan denda mulai dari 740 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar hampir Rp12 juta bagi setiap orang yang dianggap melanggar.
“Sedangkan bagi pegawai negeri dan tokoh agama bisa dikenai denda hingga 5.400 dolar AS (sekitar Rp84,8 juta),” ungkap Anisa.
Penangkapan seorang perempuan muda pada 22 Juni 2024 karena memposting foto diri di media sosial (medsos) dengan pakaian yang mereka anggap “tidak pantas” menunjukkan bahwa larangan ini tampaknya juga berlaku untuk pakaian modern seperti jins robek atau atasan yang terlalu terbuka.
“Namun, banyak pihak tetap melihat bahwa aturan ini lebih menyasar pada penggunaan pakaian islami tradisional, terutama hijab,” katanya.
Baca: Beban Ganda Atlet Perempuan Muslim Dunia
Di bawah kendali otoriter
Setelah merdeka dari Uni Soviet pada 1991, Tajikistan terjerumus dalam perang saudara yang melibatkan berbagai milisi dan faksi ideologis. Konflik yang berlangsung sekurangnya lima tahun tersebut menewaskan puluhan ribu orang dan mengakibatkan lebih satu juta warganya mengungsi.
Kebangkitan cepat gerakan Taliban di Afghanistan pada pertengahan 1990-an mengubah dinamika geopolitik kawasan ini.
Karena takut kekerasan di Afghanistan meluas ke Asia Tengah pasca-Soviet, pemerintah asing menekan pihak-pihak yang bertikai di Tajikistan untuk berdamai. Pada 1997, Emomali Rahmon, yang terpilih sebagai presiden Tajikistan tiga tahun sebelumnya, mengamankan kesepakatan damai yang memantapkan kekuasaannya.
Meski hampir tiga dekade telah berlalu sejak perang saudara itu, ingatan tentang penderitaan masih berpengaruh besar dalam kehidupan sosial-politik di Tajikistan. Pemerintah menegaskan diri sebagai penjamin stabilitas pasca-perang, tetapi justru memanfaatkan kenangan buruk itu untuk membenarkan pengetatan kebebasan sipil dan politik.
“Pemerintah Tajik sering kali melebih-lebihkan ancaman terorisme sebagai cara untuk mengonsolidasikan kekuasaannya,” kata Presiden Oxus Society for Central Asian Affairs, Edward Lemon.
“AS telah lama memandang Tajikistan sebagai garis depan dalam perang melawan terorisme. Secara historis, pelatihan kontra-terorisme AS telah membantu memperkuat aparat koersif negara Tajik, yang kini diterapkan kepada rakyatnya sendiri,” tambahnya.
Di sebagian besar Asia Tengah lain memang muncul beragam gerakan masyarakat sipil Islam. Namun, fenomena ini tidak menyentuh Tajikistan karena pemerintah di dalamnya menciptakan lingkungan yang sangat tidak ramah bagi agama.
Negara ini secara ketat mengawasi kegiatan kelompok masyarakat sipil Islam, mengontrol masjid dan tokoh agama, serta mendorong warga untuk tidak menempuh pendidikan agama di luar negeri. Polisi Tajik bahkan telah mencukur paksa jenggot sekitar 13.000 pria dengan dalih mencegah dan melawan gerakan ekstremisme.
Baca: Keteguhan Marwa, Atlet Voli Pantai Mesir yang Kekeh Berhijab di Olimpiade Paris 2024
Semakin ketat
Setelah merdeka, Tajikistan berusaha melepaskan identitas nasionalnya dari pengaruh Soviet. Dengan pakaian islami sebagai sasaran dari pemerintah yang ingin menekan identitas politik Islam, perempuan diharapkan dapat mewakili dan melindungi identitas nasional baru Tajik.
“Citra perempuan Soviet — terdidik, kuat, sekuler — adalah komponen kunci proyek identitas Soviet di Asia Tengah,” jelas peneliti dari Freedom for Eurasia, Svetlana Dzardanova.
“Setelah merdeka, sejumlah pemerintah di Asia Tengah berupaya menafsirkan ulang dan membentuk citra perempuan dalam proses pembentukan bangsa mereka,” sambungnya.
Larangan hijab di Tajikistan sebenarnya telah dimulai sejak 2007, tepatnya ketika Kementerian Pendidikan melarang pengtunaan pakaian islami dan rok mini gaya Barat bagi siswa sekolah dan universitas. Larangan ini kemudian diperluas ke pegawai dan pengunjung lembaga publik.
Pemerintah daerah pun mendirikan gugus tugas khusus untuk menegakkan larangan tersebut. Sementara polisi merazia pasar untuk menghentikan orang yang membeli atau menjual hijab.
“Dulu petugas polisi tidak menyukai penjualan pakaian Muslim, tapi saya bisa beralasan dengan mereka atau memberi suap. Sekarang mereka sangat ketat, dan saya harus membawa semua stok pakaian islami saya ke rumah dan menyimpannya di sana,” kata seorang pedagang pakaian dari Dushanbe, Suhrob.
Baca: Ibu, Anak Perempuan, dan Pengasuhan Islami, Belajar dari Kasus Nikita Mirzani dan Lolly
Senasib sepenanggungan
Larangan hijab serupa juga diterapkan di beberapa negara Asia Tengah lainnya. Pada Oktober 2023, Kazakhstan melarang penggunaan hijab bagi siswa dan guru dengan alasan menjaga nilai-nilai sekuler.
“Kebebasan beragama dijamin oleh hukum di negara kami. Saya pikir sudah seharusnya anak-anak memutuskan sendiri ketika mereka dewasa dan mengembangkan pandangan dunia mereka sendiri,” ujar Presiden Kassym-Jomart Tokayev.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan Kazakhstan juga telah melarang pengenaan simbol-simbol agama di sekolah.
Di Uzbekistan, hingga meninggalnya Presiden Islam Karimov pada 2015, kaum perempuan menghadapi kesulitan mengenakan hijab di lembaga-lembaga publik.
“Tidak seorang pun akan keberatan mengenakan hijab di Uzbekistan,” janji penerus Karimov, Shavkat Mirziyoyev pada 2019. Meskipun demikian, Kementerian Pendidikan baru secara resmi mengizinkan anak perempuan mengenakan hijab di sekolah pada 2021.
“Baru empat tahun sejak saya mulai mengenakan hijab. Itu pilihan saya sendiri,” kata Fotima Rakhmatullayeva, seorang perempuan dari Tashkent yang kini memilih tinggal di AS.
“Sampai usia 25 tahun, saya tinggal di Uzbekistan di bawah kekuasaan Karimov, periode yang ditandai dengan perlawanan terbuka terhadap hijab. Ada aturan tidak tertulis tentang pengecekan tas setiap perempuan yang mengenakan hijab di kereta bawah tanah. Sebagian besar sekolah negeri saat itu mendiskriminasi anak perempuan yang mengenakan hijab,” katanya.
Meski aturan lebih longgar di bawah pemerintahan Mirziyoyev, hijab tetap menjadi isu kontroversial bagi banyak orang yang ingin belajar atau bekerja di lembaga publik di Uzbekistan. Pada Juni 2024, seorang dekan fakultas di Institut Pedagogis Negeri Bukhara mengambil tindakan disipliner terhadap 77 mahasiswa karena mengenakan hijab dan dilaporkan mengancam akan mengeluarkan mereka.
Mufti besar Uzbekistan, Nuriddin Kholiqnazarov, juga telah mendesak masyarakat untuk mengikuti Islam secara moderat, dengan alasan bahwa Mazhab Hanafi, yang dianut mayoritas Muslim di Uzbekistan, tidak mengharuskan perempuan untuk menutupi wajah atau tangan mereka atau mengenakan pakaian serba hitam. Namun, keluwesan itu tidak membuat pemerintah memaklumi penggunaan jilbab.
Baca: Dewan HAM PBB Putuskan Pelarangan Hijab Atlet di Prancis Diskriminatif
Merampas jati diri
Kembali ke Tajikistan, larangan pakaian “asing” yang baru diresmikan pada Juni 2024 itu mengatur pembentukan kode pakaian nasional dengan melibatkan Kementerian Kebudayaan, Komite Urusan Perempuan dan Keluarga, serta sekelompok desainer lokal. Pemerintah berencana melibatkan blogger dan influencer terkenal untuk mempromosikan proyek dan mengimbau warga untuk tidak mengenakan apa yang mereka anggap sebagai pakaian asing tersebut.
Dzardanova khawatir larangan tersebut semakin meminggirkan komunitas religius Tajikistan.
“Kode pakaian nasional dapat menambah kendali negara atas agama, dan perempuan berisiko kehilangan jaringan sosial di sekolah, universitas, dan tempat kerja.”
Sementara bagi Anisa, larangan tersebut seakan benar-benar mengabaikan bahwa berhijab bagi sebagian orang bukan sekadar pakaian atau gaya hidup.
“Saya seorang Muslim yang taat. Memakai hijab bukan sekadar gaya hidup, tetapi bagian dari prinsip hidup dan keimanan saya,” kata Anisa.
“UU ini telah merampas jati diri dari tubuh saya sendiri,” pungkasnya.