Ikhbar.com: Sejumlah universitas di Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai mimbar paling bebas sedunia. Di sana, ide-ide progresif sebagai respons problematika global kerap terlahir.
Kampus di Paman Sam dinilai telah menjadi teladan dalam penerapan prinsip kemerdekaan dalam beragama, arena eksplorasi ilmiah, dan kuatnya jaminan kebebasan berekspresi. Namun, setelah konflik Israel-Palestina kembali meletup di Gaza, label yang didengung-dengungkan selama puluhan dekade itu tidak lebih jadi omong kosong belaka.
Situs US Politico, mengutip mantan rektor Universitas Negeri New York, Jim Malatras menyebutkan, pihak administrasi kampus kini terlihat takut untuk memihak salah satu pihak, baik Israel, apalagi Palestina.
“Beberapa mahasiswa hukum di kampus elite Harvard dan Columbia telah kehilangan tawaran pekerjaan karena pandangan mereka,” tulis situs tersebut, dikutip pada Rabu, 25 Oktober 2023.
Bahkan, The Financial Times melaporkan, Universitas Harvard kerap meminta mahasiswanya untuk mengeluarkan kutukan keras terhadap Hamas lewat aksi demonstrasi.
“Kampus juga siap menghukum mahasiswa yang berpartisipasi dalam gerakan anti-Israel,” tulis laporan tersebut.
Baca: Kritik untuk Shakespeare dari Anak-anak Korban Teror Bom Israel di Gaza
Gejolak di kampus
Di AS bagian selatan, Florida Atlantic University mendapat tekanan dari seorang anggota Kongres yang merupakan wakil dari ras Yahudi, Randy Fine. Kepada wartawan, Fine terang-terangan meminta agar pihak kampus mengusir mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi pro-Palestina.
AS, yang merupakan negara sekutu utama Israel, memang kerap diwarnai aksi unjuk rasa yang menyarankan seruan gencatan senjata di Gaza demi menghindari bertambahnya korban yang terus berjatuhan. Bahkan, dua pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengajukan pengunduran-diri mereka sebagai protes atas posisi resmi AS mengenai perang di Gaza.
Selama konflik di Gaza berlangsung, kampus-kampus di AS, khususnya sejumlah universitas bergengsi secara jelas menyatakan menjadi sekutu Israel. Mereka biasa melakukannya dengan dalih “memerangi anti-Semitisme,” “memberikan kompensasi kepada orang-orang Yahudi atas penderitaan dan diaspora selama berabad-abad,” dan mendukung “oasis demokrasi di Timur Tengah yang otokratis.”
Akan tetapi, pandangan itu belakangan mulai berubah dan berkembang.
“Sejak dulu, tidak boleh ada kritik terhadap Israel. Mereka harus berpandangan bahwa tindakan Israel terhadap Palestina tidak ada yang salah. Profesor atau mahasiswa yang menunjukkan kecenderungan untuk mendukung Palestina bisa saja menghadapi dampak buruknya. Saat ini, hal itu mulai mendapat perlawanan,” kata pensiunan profesor geografi di Alabama, Aziz Khouri.
Sebagai respons perubahan itu, Duta Besar AS Jon Huntsman Jr pun menarik dukungan dana untuk University of Pennsylvania karena menemukan sejumlah profesor dan mahasiswa yang begitu lantang menyuarakan anti-Israel dan pembelaan terhadap Palestina.
Baca: Konflik Gaza Jadi Titik Didih di Timur Tengah
Fakta terlihat lebih jelas
Tidak hanya di AS, hal serupa juga terjadi di negara-negara Eropa yang selama ini secara vulgar menyatakan dukungannya kepada Israel.
“Sebelum Intifada Al-Aqsa pada tahun 2000, kesadaran masyarakat Eropa terhadap masalah Palestina masih terbatas, sehingga memungkinkan Israel untuk membentuk opini publik di Eropa,” kata profesor studi klasik di Roma, Abeer Taqi.
“Namun, saat ini, rincian peristiwa lebih jelas sudah mulai muncul dan dapat diakses di platform media sosial,” katanya.
Sebagian besar masyarakat Eropa, misalnya, tidak menyadari bahwa orang Yahudi di Palestina bukanlah mayoritas. Mereka tidak lain hanya imigran yang masuk dari Polandia dan Rusia.
Penderitaan yang dialami warga Palestina tidak dipahami secara luas sehingga membuat banyak orang Eropa percaya bahwa mengambil sikap terhadap masalah ini bukanlah hal yang diperlukan.
“Orang-orang Eropa berpikir karena Palestina berada di bawah pendudukan negara demokratis, hak-hak mereka akan dilindungi. Namun, mereka kini menyadari bahwa hal tersebut tidak terjadi,” kata Taqi.
Sejumlah demonstrasi besar pecah di ibu kota negara-negara Eropa. Massa mengecam aksi agresi militer Israel di Gaza.
Pada akhir pekan lalu, sebanyak 100 ribu pengunjuk rasa juga tumpah di jalanan di London, Inggris. Mereka menyuarakan dukungan bagi warga sipil tak berdosa di Gaza yang dibunuh tanpa alasan selain fakta bahwa mereka adalah warga Palestina.
Baca: Krisis Air, Warga Gaza di ambang Napas Terakhir
Pada hari-hari pertama konflik, Kanselir Jerman Olaf Scholes dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengumumkan bahwa pemerintah mereka akan melarang unjuk rasa pro-Palestina. Namun, jumlah pengunjuk rasa yang menentang serangan udara Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza tidak pernah berkurang.