Beda Mesir hingga Al-Azhar di Mata Mahasiswa dan Tangkapan Layar

“Mesir mengajarkan kesabaran dan cara beradaptasi.”
Ilustrasi Mesir dalam visual film. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Bagi banyak orang, Mesir dikenal melalui buku laris dan layar sinema populer. Kota Kairo yang ramai, Sungai Nil yang elok, serta masyarakatnya yang religius, salah satunya tergambar jelas dalam film Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009).

Bagi Ustazah Finatih, mahasiswi Universitas Al-Azhar asal Cirebon, pesona Mesir di layar film itu memang benar adanya; hangat, religius, dan mengesankan. Namun, setelah menetap di sana, ia menyadari ada banyak sisi lain yang tak kalah nyata. Mulai dari suhu yang bisa menembus 43 derajat, jalanan yang sempit, dan penduduk di dalamnya dengan gaya bicara lantang dan terkesan suka marah-marah.

“Kalau di film, yang ditampilkan itu bagian baik-baiknya saja,” ujar Ustazah Fina, sapaan akrabnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk Suka Duka Kuliah di Negeri Piramida di Ikhbar TV, dikutip pada Selasa, 4 November 2025.

“Kenyataannya, Mesir memang religius dan masyarakatnya dekat dengan Al-Qur’an. Tapi di balik itu, ada sisi keras, ramai, dan jujur apa adanya,” sambungnya.

Ustazah Fina (kanan), saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk Suka Duka Kuliah di Negeri Piramida di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Pro-Kontra Skripsi, Berkaca pada Kurikulum Universitas Islam Tertua di Dunia

Religius, hangat, tapi penuh kontras

Sejak awal kedatangannya, Ustazah Fina mengaku terkesan dengan keakraban masyarakat Mesir yang mudah menyapa.

“Mereka suka basa-basi, suka memuji. Aku yang introvert jadi belajar mengimbangi semangat mereka,” tuturnya.

Ustazah Fina pun menceritakan dengan lebih rinci bahwa keramahan tersebut hadir dalam kultur yang berbeda. “Kalau di Indonesia kita cukup angguk kepala, di sana harus cipika-cipiki. Bahkan sesama laki-laki berjalan sambil bergandengan tangan itu hal biasa,” kisahnya.

Ada pula kebiasaan yang dianggap tabu. “Di Mesir, jongkok di pinggir jalan itu dianggap tidak sopan,” katanya sambil tertawa kecil.

Meski demikian, Ustazah Fina mengaku menikmati dinamika itu sebagai bagian dari pengalaman hidup di luar negeri.

“Kalau kitanya terbuka, mereka juga akan sangat menerima,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, cuaca ekstrem juga menjadi ujian tersendiri. Pada musim panas, suhu mencapai 43 derajat. “Kita sampai menyiram air di kasur biar bisa tidur,” kisahnya.

“Kalau musim dingin bisa sampai empat derajat, dan itu sudah terasa menggigit bagi yang terbiasa hidup di Indonesia,” ungkapnya.

Baca: Geliat Perempuan Mesir Teladani Ibunda Imam Syafi’i

Al-Azhar dan tradisi ilmu yang hidup

Bagi Ustazah Fina, daya tarik utama Mesir terletak pada Al-Azhar, lembaga pendidikan Islam tertua di dunia yang tetap berfungsi tanpa henti selama lebih dari seribu tahun. Didirikan pada 970 M oleh panglima Dinasti Fatimiyah, Jawhar Aṣ-Ṣiqilli, Al-Azhar awalnya berhaluan Syiah Ismailiyah, sebelum kemudian menjadi pusat keilmuan Sunni pada masa Salahuddin Al-Ayyubi pada abad ke-12.

Nama Al-Azhar diambil dari gelar Az-Zahra (yang bercahaya), merujuk kepada Sayyidah Fatimah, putri Nabi Muhammad Saw.

“Al-Azhar itu jami‘ wa jami‘atan (masjid sekaligus universitas). Jadi ilmu tidak hanya diperoleh dari kelas, tapi juga dari majelis-majelis talaqqi di masjid,” ungkapnya.

Mahasiswa bebas memilih guru, duduk di lingkaran para syekh, dan mendengarkan penjelasan langsung dari kitab klasik.

“Kalau rajin, bisa dapat ilmu berlapis. Di kampus belajar teori, di masjid dapat hikmah,” jelasnya.

Secara sistem, Al-Azhar kini mengintegrasikan pendidikan agama dan umum. Sejak reformasi tahun 1961 oleh Presiden Gamal Abdel Nasser, universitas ini memiliki fakultas modern seperti kedokteran, teknik, dan pertanian, selain fakultas keislaman klasik. Rata-rata masa studi sarjana adalah empat tahun, dengan sekitar dua juta siswa yang tersebar di jaringan sekolah Al-Azhar di seluruh Mesir.

Untungnya, lanjut Ustazah Fina, bekal pengalamannya di pondok pesantren membuatnya tidak terlalu tertinggal mengejar target akademik di sana.

“Yang paling terasa itu karena saat di pesantren kita mengenal sistem sorogan,” kata alumni Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Jakarta ini.

“Kita terbiasa meneliti struktur kalimat Arab satu per satu. Jadi waktu membaca diktat di Mesir, kita tidak bingung mencari mana fi‘il dan mana fa‘il,” katanya.

Baca: Perjuangan Mahasiswa Guinea Bersepeda Ribuan Kilometer demi Kuliah di Al-Azhar

Antara realitas dan layar perak

Masih soal perbandingan antara film dan kenyataan, Ustazah Fina menilai Mesir di layar memang tampak indah, tetapi tidak seluruhnya sama.

“Kalau Sungai Nil di film kelihatan bersih, ya karena bagian kotornya tidak mungkin ditampilkan,” ujarnya sambil tersenyum.

“Namun, nilai religiusitas masyarakat itu benar adanya. Orang-orang naik angkot sambil membaca Al-Qur’an, dan murattal diputar di mana-mana,” sambungnya.

Menurutnya, justru dari keseharian yang keras dan jujur itu, pelajar bisa banyak belajar.

“Mesir mengajarkan kesabaran dan cara beradaptasi,” katanya.

“Kita menghadapi birokrasi rumit, dosen yang tegas, cuaca ekstrem, tapi semuanya membentuk mental,” ungkap Ustazah Fina.

Baca: Serial Netflix ‘Midnight at the Pera Palace’ Berlanjut, Petualangan Wartawati Turki yang Terjebak di Masa Atatürk

Pelajaran Al-Azhar untuk dunia

Selama hampir empat tahun di Kairo, Ustazah Fina menyaksikan bagaimana Al-Azhar menanamkan nilai kedermawanan dan toleransi.

“Setiap Ramadan, Al-Azhar menyediakan iftar gratis untuk ribuan pelajar asing setiap hari,” ungkapnya.

“Padahal Mesir bukan negara kaya, tapi Al-Azhar sangat menghormati pelajar,” sambungnya.

Nilai-nilai itu bukan hanya tradisi sosial, tetapi juga bagian dari sistem pendidikan yang menekankan wasatiyyah (moderasi Islam). Sebagai benteng ortodoksi Sunni dan mercusuar keilmuan global, Al-Azhar aktif menolak ekstremisme, mempromosikan Islam yang damai, dan menanamkan penghormatan terhadap perbedaan.

“Kita diajarkan cara berbicara di depan audiens yang beragam, bahkan yang sensitif terhadap agama,” katanya.

“Pesan yang selalu diulang oleh Grand Syekh Al-Azhar adalah moderasi, kebaikan, dan penghormatan pada perbedaan,” sambung Ustazah Fina.

Kini, Al-Azhar bukan hanya simbol tradisi Islam klasik, tetapi juga adaptif terhadap modernitas. Dalam QS World University Rankings 2026, universitas ini menempati peringkat 1001–1200 dunia, dan peringkat 801–1000 versi THE World University Rankings. Bahkan fakultas kedokteran dan kesehatannya menembus peringkat 501–600 dunia.

Dengan rencana membuka fakultas baru seperti Artificial Intelligence (AI) alias Kecerdasan Buatan , Warisan Islam, dan Sains Terapan, Al-Azhar membuktikan diri tetap bercahaya, sebagaimana makna namanya, di tengah zaman yang terus berubah.

Baca: Ramadan di Mesir, Meresapi Angin Toleransi Bersemilir

Bagi Ustazah Fina, cahaya itu tumbuh dari pengalaman yang menempanya. Dari sanalah ia belajar melihat hidup dengan mata batin yang lebih jernih, bahwa setiap peristiwa, sekecil apa pun, bisa menjadi sumber terang bagi perjalanan manusia.

“Kalau kita ngomongin Al-Azhar tuh, wah, bikin merinding. Kebaikan-kebaikan Al-Azhar, kenikmatan-kenikmatan di Al-Azhar, luar biasa banyak,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.