Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga

VOC mengirimkan jutaan lembar kertas dari Amsterdam ke pusat-pusat kolonial di Asia, termasuk Batavia.
Ilustrasi. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Banyak manuskrip atau naskah Nusantara klasik, dari Aceh hingga Cirebon, ditulis di atas kertas Eropa. Biasanya, dari Belanda, Prancis, atau Jerman. Pada zamannya, kertas adalah barang mewah dan dikelola dalam sistem perdagangan global oleh kekuatan bisnis kolonial seperti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Selama masa kolonial, para penulis dan ulama Nusantara menyusun hikayat, mushaf Al-Qur’an, silsilah tarekat, ajaran sufistik, hingga dokumen perjanjian dan surat resmi antarkesultanan menggunakan kertas Eropa.

Menurut peneliti manuskrip dan sejarah intelektual Islam, Ustaz Agung Firmansyah, menelusuri asal kertas dalam naskah-naskah tua sangat penting sebagai bagian dari jejak budaya tulis global yang masuk ke pesantren, termasuk kitab kuning. 

“Mengetahui harga kertas Eropa penting sebagai petunjuk kehidupan sosial dan kedudukan pesantren pada era kolonial,” ujarnya, dalam diskusi bertajuk “Manuskrip Qur’an Buntet Pesantren dan Potensi Risetnya,” yang diselenggarakan Perpustakaan “Mbah Din” bekerja sama dengan Qur’an Center Buntet Pesantren Cirebon,  dikutip pada Selasa, 27 Mei 2025.

Diskusi bertajuk “Manuskrip Qur’an Buntet Pesantren dan Potensi Risetnya,” diselenggarakan Perpustakaan Buntet Pesantren”Mbah Din” dan Qur’an Center Buntet Pesantren, pada Ahad, 25 Mei 2025. Foto: Ikhbar.com/Lidya

Baca: Jelajah Pesantren Era Kolonial lewat Manuskrip Kuno Buntet Cirebon

Harga yang tak murah

Ustaz Agung mengutip salah satu sumber untuk menelusuri harga dan perdagangan kertas Eropa abad ke-18, berjudul “The Paper Purchases of the Dutch East India Company’s Amsterdam Chamber in the Early Eighteenth Century” oleh Frank Birkenholz (2021), yang dimuat dalam buku “The Paper Trade in Early Modern Europe: Practices, Materials, Networks.”

Menurutnya, VOC mengirimkan jutaan lembar kertas dari Amsterdam ke pusat-pusat kolonial di Asia, termasuk Batavia, dan kemungkinan besar ke pelabuhan-pelabuhan lain yang menjadi pintu masuk buku dan naskah ke Nusantara.

“VOC pernah mencoba memproduksi kertas di Batavia pada 1659–1681, tetapi gagal karena kualitas buruk dan kondisi geografis yang tidak mendukung. Akhirnya mereka kembali mengimpor kertas dari Amsterdam untuk dikirim ke Batavia,” ungkap dia.

Selama periode 1710–1720, VOC membeli sedikitnya 12.998 rim kertas tulis dan cetak, setara dengan hampir 6,5 juta lembar kertas. Total pengeluaran untuk pembelian kertas itu mencapai 111.448 gulden dan 13 stuiver.

Jika dirata-ratakan, harga satu rim kertas (500 lembar) sekitar 8,57 gulden, yang berarti setiap lembar kertas dihargai sekitar 0,017 gulden, atau kira-kira sepertiga stuiver per lembar. Stuiver adalah pecahan kecil gulden, dengan nilai 1 gulden sama dengan 20 stuiver.

Angka ini tergolong mahal jika dibandingkan dengan gaji buruh atau juru tulis saat itu.

“Sebagai contoh, seorang juru arsip VOC hanya digaji 200 gulden per tahun, sementara biaya pembelian kertas saja bisa mencapai puluhan ribu gulden per tahun,” ungkapnya.

Maka, tidak heran jika kertas menjadi benda bernilai tinggi, dan penggunaannya sangat dijaga, khususnya dalam kegiatan tulis-menulis resmi, perdagangan, dan keagamaan.

Manuskrip mushaf koleksi Buntet Pesantren Cirebon berkode Q-BNT-1 memiliki iluminasi (hiasan pinggir) yang khas. Foto: Buntet Pesantren/Bayt Al-Qur’an/Ali Akbar

Baca: Pemerintah bakal Ubah Sejarah Indonesia Dijajah Belanda 350 Tahun

Ukuran dan cap kertas

Kertas yang dibeli VOC terdiri dari beragam ukuran, mulai dari klein mediaen (±31 x 42 cm), groot post (±39 x 49 cm), imperiaal (±56 x 76 cm), hingga olifant (±70 x 100 cm).

Setiap jenis kertas memiliki fungsi masing-masing, dari surat-menyurat, pencatatan dagang, hingga pembungkus barang-barang berharga.

Beberapa kertas juga diberi watermark (cap kertas), seperti Amsterdams Wapen, Hollands Wapen, atau Pro Patria, sebagai penanda mutu dan produsen.

Cap kertas sering kali masih bisa ditemukan di lembar-lembar manuskrip Nusantara, termasuk mushaf-mushaf tua yang tersimpan di pesantren, masjid, atau koleksi pribadi.

Menurut penulis Tradisi Penyalinan Naskah di Buntet Pesantren Abad 19 (2020) tersebut, identifikasi jenis kertas dan asal-usulnya merupakan langkah penting dalam penanggalan dan pelacakan jejaring produksi manuskrip Islam di Indonesia.

Sosok yang juga menjabat sebagai Direktur Bisnis Ikhbar.com itu menegaskan, meneliti harga dan sirkulasi kertas Eropa di era VOC bukan hanya urusan ekonomi kolonial. Ia juga membuka ruang baru bagi riset lintas disiplin: dari sejarah perdagangan, studi manuskrip, hingga sejarah pendidikan Islam di pesantren.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.