Ikhbar.com: Distrik Hataba, Mesir, menyimpan banyak warisan budaya tak benda. Salah satunya adalah Makam Imam Syafii, pendiri salah satu aliran fikih terbesar, Syafi’iyah, yang banyak dianut penduduk Mesir, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.
Kemasyhuran Distrik Hattaba juga dipengaruhi oleh banyaknya dekorasi kompleks pemakamannya yang khas. Kawasan pemakaman di kota ini dikenal dengan nama Qarafa. Sebutan itu berasal dari Suku Yemini Bani Qarafa yang keturunannya juga dikuburkan di wilayah tersebut.
Baca: Doa Bisa Mengubah Segalanya, Kisah Inspiratif Imam Syafi’i dan Muridnya
Inspirasi kemandirian perempuan
Sebanyak lima perempuan dari Universitas Kairo menginisiasi gerakan kemandirian perempuan di Distrik Hattaba. Program ini telah mereka lakukan selama dua tahun terakhir.
Pencetus sekaligus manajer gerakan tersebut, Sara Hassan mengatakan, ada banyak inspirasi yang mengajarkan masyarakat setempat tentang kemandirian, terutama bagi kaum perempuan.
“Saya selalu terpesona dengan lingkungan sekitar (Hataba),” ungkap dia, dikutip dari Al-Ahram, Rabu, 4 Oktober 2023.
Sara Hassan merupakan seorang pembuat film, fotografer, sekaligus penulis skenario yang juga terlibat dalam produksi serial televisi terbaru, Risalet Al Imam yang mengeksplorasi dan menayangkan kehidupan Imam Syafi’i.
Hassan dan rekan-rekannya mendirikan rumah pengembangan komunitas dan seni untuk anak dan remaja di di wilayah tersebut. Ikhtiar itu pun pada akhirnya mampu melahirkan banyak produk kreasi berupa tas, tempat pensil, pakaian, atau karya sejenis dengan dihiasi corak kubah makam Imam Syafi’i, yang kemudian dibubuhi kutipan-kutipan berbentuk kaligrafi Arab .
“Kami terinspirasi oleh kehidupan Imam Syafi’i, dan tentu, ibundanya yang merupakan seorang janda tetapi bisa terus berjuang demi menghidupi putranya yang di kemudian hari dikenal memiliki pemikiran dan kecerdasan yang sangat brilian,” katanya.
Makam Imam Syafi’i dikelilingi banyak kuburan tokoh lainnya, termasuk para keturunan Mohamed Ali Pasha, penguasa Ottoman Mesir (1805-1848). Secara turun temurun, mereka mendambakan untuk bisa dimakamkan di area kompleks peristirahatan sang guru mulia.
Makam-makam itu, lanjut Hassan, umumnya didekorasi dengan kaligrafi ayat Al-Qur’an di bagian nisannya. Untuk mendekorasi dengan baik, tentu membutuhkan ahli yang terampil agar bisa mengintegrasikan seni kaligrafi itu dengan lingkungan sekitar.
“Dari sinilah muncul ide untuk membuat barang-barang yang mencerminkan warisan budaya dan kearifan lokal,” kata dia.
“Rekan saya Noha Hanafy membuat desain yang terinspirasi dari Kubah Al-Syafi’i. Karena daerah ini memiliki banyak makam peninggalan yang dekoratif, maka kaligrafi pernah menjadi seni yang booming di sini,” sambungnya v
Hassan juga pernah meminta bantuan master kaligrafi Mesir, Khalil Agha untuk mengajar anak-anak sekolah komunitas yang ia dirikan.
“Kami juga melibatkan anak-anak penyandang disabilitas yang selama ini berada di bawah tanggung jawab Kementerian Sosial dan Kebudayaan Mesir,” lanjut dia.
Tidak sendirian, Sara Hassan dan kawan-kawannya juga bekerja sama dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, Al-Alam Beity.
“Kami berupaya untuk terus memberdayakan para janda dan ibu tunggal dengan melatih mereka keterampilan menjahit serta meningkatkan kemampuan anak-anak di lingkungan sekitar sehingga mereka memiliki kesempatan kerja yang lebih baik di masa depan,” ujar Manajer Al-Alam Beity, Shimaa Mahmoud.
Baca: Perempuan Afghanistan Pupuk Sisa Harapan di Pakistan
Teladan sang ibu
Imam Syafi’i dikenal dengan nama lengkap Abu Abdillah Muḥammad bin Idris Asy-Syafi’i. Ulama besar ini lahir di Gaza, Palestina, tepatnya di Kota Asqalan pada 150 H atau 767 M. Ayah Imam Syafi’i wafat di Syam ketika dia masih kecil. Setelahnya, Imam Syafi’i yang kala itu masih berumur dua tahun, dibawa sang ibunda untuk pindah ke Makkah.
Ibu Imam Syafi’i bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. Fatimah memiliki garis keturunan yang terhubung dengan Rasulullah Muhammad Saw dari jalur keluarga Yaman hingga ke Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Di Makkah, Imam Syafi’i dan sang ibunda hidup dalam keadaan miskin. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahkan ibu Imam Syafi’i tidak mampu membeli kertas di saat putranya itu tengah menjadi sosok yang begitu getol dan haus akan ilmu pengetahuan. Dalam kondisi itu, Imam Syafi’i pun terpaksa harus menulis hasil belajarnya pada sejumlah tulang hewan.
Fatimah dikenal sebagai perempuan cerdas. Tak heran, jika ia begitu gigih memperjuangkan agar putranya bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Tak jarang, sang ibunda membujuk guru-guru Syafi’i agar mau mengajari anaknya walaupun dengan bayaran tak seberapa atau bahkan tidak ada bayaran.
Tidak hanya itu, Fatimah juga banyak yang menyebut sebagai ibu yang tabah, sabar, kuat dan mandiri. Sejak sang suami wafat, Fatimah tidak pernah berkeluh kesah. Semangatnya mendidik Syafi’i juga tidak pernah kendur meski harus dilakukannya seorang diri. Fatimah tidak memiliki niatan menikah kembali. Sebaliknya, ia terus bekerja secara mandiri untuk mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan anaknya.
Baca: Wahai Kaum Ibu, Ini Saran Al-Qur’an agar Terhindar dari Sindrom Baby Blues
Dari Makkah, Imam Syafi’i dan ibunya kemudian pindah ke Irak. Setelah cukup dewasa, mereka kembali bergeser ke Yaman seiring Imam Syafi’i yang mendapatkan tugas sebagai hakim di Yaman. Lantas, Imam Syafi’i menulis kitab legendarisnya, Al-Umm (Sang Ibu) kemudian kembali hijrah ke Kairo, yang kemudian menjadi tempat ia tinggal, mengabdi, dan mengajar, hingga wafat pada 820 M.