Ikhbar.com: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI tidak lagi mewajibkan penulisan skripsi sebagai ujian akhir bagi mahasiswa program sarjana (S1). Sebagai gantinya, pemerintah menawarkan berbagai cara untuk menunjukkan kompetensi lulusan, seperti proyek, portofolio, praktik kerja lapangan, atau karya seni.
Sudah barang tentu, kebijakan yang merupakan bagian dari program Merdeka Belajar itu menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat mendukung lantaran produk skripsi yang selama ini diterbitkan dinilai jauh dari fungsi, tapi sebagian lainnya menyebut skripsi sebagai syarat kelulusan sarjana yang tidak bisa tergantikan.
Di sisi lain, manajemen pendidikan berorientasi kompetensi lulusan telah lama diterapkan. Sejak abad ke-10 Masehi, pendidikan tinggi berbasis Islam telah mencetak banyak tokoh terkemuka di berbagai bidang. Contohnya adalah Universitas Al-Azhar, Nizhamiyah, dan Al-Mustansiriyah.
Baca: Ini Tugas Berat Pendidik Menurut Buya Husein
Universitas Al-Azhar
Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir didirikan pada 970-972 oleh Dinasti Fatimiyah. Mengacu kepada Ensiklopedia Britanica, mulanya, Al-Azhar hanya sebagai madrasah dan pusat pembelajaran Islam yang relatif informal.
“Namun, seiring waktu, kurikulumnya diperluas untuk mencakup berbagai bidang ilmu seperti bisnis, ekonomi, sains, dan teknik,” tulis mereka, dikutip Kamis, 31 Agustus 2023.
Al-Azhar mengalami reformasi yang signifikan pada paruh kedua abad ke-19 atas pengaruh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
“Sebagai anggota komite pemerintah, sejumlah langkah mereka lakukan untuk mereformasi Al-Azhar. Pada akhir abad ke-19, prosedur, termasuk persyaratan penerimaan dan ujian, diformalkan, dan sejumlah mata pelajaran modern—beberapa di antaranya wajib— diperkenalkan,” katanya.
Al-Azhar resmi menjadi universitas pada 1961 di bawah pemerintahan Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser. Sejak awal, kampus ini telah mendapat reputasi tinggi sebagai institusi pendidikan Islam terkemuka. Selain itu, Al-Azhar juga dikenal sebagai pusat utama pendidikan sastra Arab dan studi Islam Sunni di dunia, serta menjadi universitas pemberi gelar tertua kedua di dunia.
Madrasah Nizhamiyah
Madrasah Nizhamiyah adalah lembaga pendidikan Islam yang berdiri pada abad ke-11. Didirikan pada tahun 1067 oleh Nizamul Muluk Qawamuddin Al-Hasan bin Ali Al-Tusi, pada era Dinasti Saljuk.
Menurut peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Entus Riyadhy Ahmad dalam Madrasah Nizhamiyah Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivitas Ortodok Sunni. Jurnal Tarbiya (2015), Nizhamiyah memiliki manajemen yang sangat baik, pendanaan yang memadai, bangunan yang terawat, perpustakaan yang lengkap, asrama, dan pendidikan gratis bagi mahasiswa di dalamnya.
Dalam kajiannya itu, ia berpendapat bahwa universitas ini mengutamakan pendidikan keagamaan Islam.
“Para ahli sejarah tidak seorang pun mengatakan bahwa di antara mata pelajaran ada ilmu kedokteran, ilmu falak dan ilmu-ilmu pasti, mereka hanya menyebutkan mata pelajaran nahu, ilmu kalam, dan fikih,” ungkap dia.
Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam
Madrasah Al-Mustansiriyah
Madrasah Mustansiriyah didirikan di tepi Sungai Tigris, Baghdad pada 625 H/1227 M oleh Abu Ja’far Mansur bin Zahir Muhammad bin an-Nasir Ahmad, atau dikenal dengan nama alAl-Mustansir Billah.
Dalam Kajian Historis Kurikulum di Madrasah Mustansiriyah. Edukasi Islami (2022), peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Deli Serdang, Sofyan mengemukakan, madrasah ini mengajarkan sejumlah mata pelajaran utama, termasuk ilmu tafsir atau Al-Quran, hadis, fikih, faraid, Bahasa Arab, nahwu, saraf, mantik, kalam, ushul, kimia, kedokteran, apoteker, dan biologi.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, metode pengajaran yang diterapkan di Madrasah Mustansiriyah, seperti hafalan, ceramah, halaqah, seminar, dan rihlah ilmiah, memberikan kontribusi yang beragam bagi perkembangan pendidikan para siswa.
Pertama, metode hafalan memastikan pengetahuan keagamaan penting, seperti Al-Quran dan hadis, tetap terjaga dan tersampaikan secara akurat. Selanjutnya, metode ceramah memungkinkan pembelajaran interaktif dengan guru yang membaca dan menjelaskan teks, memfasilitasi pemahaman yang lebih mendalam.
Metode halaqah berarti siswa berkumpul dalam kelompok sesuai tingkat. Metode ini mendorong kolaborasi dan pertukaran ide di antara teman sekelas dan guru. Demikian juga, metode seminar dan penelitian ilmiah mendorong siswa untuk berpikir kritis, menganalisis informasi, dan melakukan penelitian independen untuk menjawab pertanyaan akademis.
Kurikulum Madrasah Mustansiriyah yang mengintegrasikan ilmu agama dan rasional memberikan pendidikan holistik yang memadukan ajaran agama dengan pengetahuan praktis.
“Semua metode ini bekerja bersama-sama untuk memupuk pendekatan pendidikan komprehensif, memfasilitasi perkembangan intelektual, spiritual, dan praktis siswa secara seimbang,” pungkas dia.