Saat Pemuda Jerman Kesengsem Santri Indonesia

Masjid Schwetzingen dibangun pada tahun 1779 di kompleks taman Istana Schwetzingen di Baden-Württemberg, Jerman. Komunitas Muslim di Jerman sudah ada sejak abad ke-17. Dok: Schloss-schwetzingen.

Ikhbar.com: Cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang universal, melampaui batas geografis dan budaya. Hal ini terbukti dalam kisah seorang Muslim asal Jerman, Alexander Anderson, yang menemukan cinta sejatinya di Indonesia bersama Inayah Wulandari, alumnus Pondok Pesantren Al-Shighor Gedongan Cirebon.

Alexander membagikan perjalanan cintanya yang penuh warna. Ia menekankan pentingnya keterbukaan pikiran dan komunikasi dalam menjembatani perbedaan budaya.

“Cinta bisa ditemukan di mana saja di planet ini, tidak hanya di tempat Anda tinggal,” ungkap Alexander dalam program Sinikhbar bertajuk “Dari Jerman: Menjemput Cinta Sepenuh Iman” bersama Ikhbar.com, dikutip pada Ahad, 2 Februari 2025.

“Pikiran saya sudah cukup terbuka tentang hal ini,” tambahnya.

Baca: Menikmati Ramadan Mode ‘Silent’ di Jerman

Bagi Alexander, cinta bukanlah sesuatu yang dibatasi oleh lokasi atau latar belakang. Meskipun berasal dari dua dunia yang berbeda. Jerman yang modern dan Indonesia yang kaya akan tradisi, Alexander dan Inayah berhasil membangun hubungan yang harmonis. Mereka membuktikan bahwa cinta dapat tumbuh subur ketika kedua belah pihak saling menghormati dan memahami perbedaan yang ada.

Menjaga identitas Islam di tengah masyarakat yang beragam

Sebagai seorang Muslim yang tinggal di Jerman, Alexander menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas keislamannya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, ia harus berjuang untuk melaksanakan ibadah sehari-hari, seperti salat dan mengonsumsi makanan halal.

Namun, ia tidak sendirian. Alexander menceritakan bagaimana komunitas Muslim di Jerman, yang terdiri dari berbagai kelompok budaya, saling mendukung untuk menjaga nilai-nilai Islam.

“Saya tumbuh dengan nilai-nilai Islam sejak kecil. Kita semua adalah Muslim pada dasarnya; kita semua adalah saudara,” kata Alexander.

Meskipun menghadapi tantangan, Alexander menganggap keberagaman sebagai kekuatan. Ia aktif terlibat dalam komunitas Muslim setempat, yang menurutnya adalah cara untuk tetap terhubung dengan akar keislamannya.

“Anda harus secara aktif mencoba menjadi bagian dari komunitas,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya solidaritas dan dukungan komunitas dalam menjaga identitas di tengah lingkungan yang berbeda.

Harmonisasi budaya dan agama: pelajaran dari Indonesia

Ketika Alexander mengunjungi Indonesia, ia terkesan dengan cara masyarakat setempat mengintegrasikan budaya dan agama dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Jerman, yang memisahkan agama dan budaya, Indonesia menawarkan perspektif baru tentang bagaimana kedua hal tersebut dapat berjalan beriringan.

“Jerman, sebagai bagian dari Eropa, tentu berbeda dengan Asia. Anda harus memiliki pikiran yang terbuka dan komunikasi yang baik,” ungkapnya.

Baca: Gara-gara Garam hingga Menapaki Jalan Jabir bin Hayyan

Alexander mengapresiasi semangat gotong royong dan rasa hormat yang ia temui di Indonesia. Ia juga terinspirasi oleh cara masyarakat Indonesia menghargai tradisi, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai agama.

Pengalaman ini memberinya wawasan berharga tentang bagaimana membangun keluarga yang harmonis di masa depan, dengan budaya dan agama dapat saling melengkapi.

Kisah Alexander dan Inayah adalah bukti nyata bahwa cinta dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia yang berbeda. Dengan keterbukaan pikiran, komunikasi yang baik, dan rasa saling menghormati, mereka berhasil menciptakan hubungan yang kuat dan penuh makna.

Alexander tidak hanya menemukan cinta, tetapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi tantangan hidup di tengah perbedaan budaya dan agama.

Simak obrolan lengkapnya di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.