Ikhbar.com: Arah kiblat bagi umat Islam merupakan hal yang sangat krusial. Setiap Muslim diwajibkan menghadap Ka’bah di Makkah, Arab Saudi, di setiap kali mendirikan salat salat. Namun, pernah di suatu masa, tidak semua masjid di dunia menghadap ke arah yang benar-benar sesuai dengan titik Ka’bah. Di berbagai belahan dunia, banyak masjid yang terbangun dengan arah kiblat yang berbeda.
Sejarawan dan peneliti asal Inggris, sekaligus Direktur Proyek Astronomi Islam Abad Pertengahan di Universitas Johann Wolfgang Goethe, David A. King, dalam The Kaaba and the Sacred Geography of Islam (2024), mencontohkan penampakan Masjid Agung Cordoba di Spanyol, yang dibangun pada abad ke-8, justru menghadap ke Pegunungan Atlas, bukan ke Timur Laut, yang merupakan arah yang lebih tepat menuju Makkah.
“Hal serupa juga ditemukan di beberapa masjid di Suriah dan Turki yang menghadap ke barat daya, bukan tenggara, yang seharusnya merupakan arah ke Mekkah,” tulisnya, sebagaimana dikutip dari Muslim Heritage, Selasa, 28 Januari 2025.
Bahkan, di beberapa masjid di Asia Tengah, arah kiblatnya malah menghadap ke barat, bukan barat daya. Kejanggalan ini sempat membingungkan banyak orang, bahkan membuat para ilmuwan dan sejarawan berpikir bahwa pembangunan masjid-masjid tersebut dilakukan secara sembarangan.
“Namun, hasil riset terbaru membuktikan bahwa semua ini terjadi bukan karena kesembronoan, tetapi karena metode yang berbeda dalam menentukan arah kiblat,” katanya.
Baca: Masjid dalam Angka: Dari Jumlah hingga Problem Tata Kelola
Metode beragam
King menyebutkan bahwa perbedaan arah kiblat pada masjid-masjid abad pertengahan tidak terjadi karena kelalaian. Melalui penelitian manuskrip Arab abad pertengahan, dia mengaku menemukan bahwa para arsitek dan ilmuwan Islam saat itu menggunakan berbagai metode perhitungan untuk menentukan kiblat.
“Masjid-masjid tersebut dibangun dengan hati-hati, tetapi menggunakan beberapa sistem perhitungan yang berbeda,” ujar King.
Dalam beberapa kasus, para ilmuwan menggunakan ilmu astronomi dan matematika canggih untuk menghitung arah Makkah. Sebagai contoh, astronom Muslim pada abad ke-8 hingga abad ke-14 mampu menghitung arah kiblat dengan tingkat ketepatan yang sangat tinggi. Mereka menggunakan rumus geometri dan trigonometri, serta menghitung lintang dan bujur setiap kota, untuk memastikan arah kiblat yang akurat.
Di kota-kota besar seperti Baghdad, Damaskus, dan Kairo, metode ini memungkinkan masjid-masjid dibangun dengan arah yang tepat.
Namun, ada juga wilayah yang menggunakan metode yang lebih sederhana, yakni berdasarkan pengamatan matahari dan bulan. Di beberapa daerah, seperti di kawasan pedesaan di Mesir dan beberapa wilayah Afrika Utara, para arsitek masjid menggunakan pola pergerakan matahari untuk menentukan arah kiblat. Ilmu rakyat ini, meskipun tidak sesempurna perhitungan ilmiah, cukup membantu untuk menentukan arah salat. Salah satu contohnya adalah pengamatan pergerakan matahari yang terbit dari timur laut dan terbenam di barat daya, yang dijadikan petunjuk untuk menghadap Ka’bah.
Baca: Cara Nabi Ibrahim Temukan Fondasi Ka’bah
Kiblat dalam sejarah Islam
Ka’bah telah menjadi pusat perhatian umat Islam sejak sebelum agama ini muncul. Sebelum kedatangan Islam, Ka’bah adalah tempat pemujaan berbagai dewa. Pada masa itu, dewa-dewa yang dipuja oleh suku Arab mengaitkan diri mereka dengan batu-batu suci dan fenomena alam, seperti matahari dan bulan. Setelah Nabi Muhammad Saw menerima wahyu untuk mengubah arah salat dari Yerusalem ke Ka’bah di Makkah, arah kiblat pun menjadi bagian penting dalam ibadah umat Islam.
Salah satu ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa kiblat umat Islam adalah Masjidil Haram, Makkah (QS. Al-Baqarah: 144) menggambarkan pentingnya Ka’bah sebagai pusat ibadah umat Muslim dan menjadi pedoman bagi semua masjid yang dibangun di seluruh dunia Islam. Setelah itu, umat Islam berusaha membangun masjid-masjid dengan menghadap Ka’bah.
Namun, dalam praktiknya, banyak masjid yang dibangun dengan arah yang tidak sepenuhnya tepat. Sebagai contoh, di Kota Almería, Spanyol, terdapat masjid yang dibangun pada abad ke-10, menghadap lebih ke arah selatan, meskipun Makkah seharusnya terletak di tenggara dari kota tersebut.
Di Asia Tengah, seperti di Uzbekistan dan Tajikistan, beberapa masjid abad pertengahan juga menghadap ke arah yang salah. Ada masjid yang menghadap barat, bukan barat daya yang seharusnya menjadi arah kiblat. Salah satunya adalah Masjid Bibi-Khanym di Samarkand, yang meskipun memiliki desain arsitektur yang indah dan megah, ternyata arah kiblatnya melenceng cukup jauh.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa meskipun ilmu astronomi sudah berkembang pesat, penentuan kiblat tetap bergantung pada berbagai faktor lokal dan tradisi yang berbeda.
Masalah arah kiblat ini juga memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam banyak tradisi Islam, kiblat dipandang sebagai arah yang suci, tempat umat Islam harus menghadap saat berdoa.

Namun, dalam sejarahnya, beberapa ulama mengajukan pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya arah kiblat itu dihitung. Ada yang berpendapat bahwa arah kiblat harus mengikuti penghitungan astronomis, sementara yang lainnya menganggap bahwa kiblat itu harus dilihat secara harfiah sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an dan hadis.
Salah satu hadis yang terkenal adalah perkataan Nabi Muhammad Saw yang menyebutkan, “Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat (HR. Ibnu Majah).” Pernyataan ini sering diartikan bahwa arah kiblat adalah selatan, meskipun itu hanya berlaku untuk Kota Madinah, yang terletak di utara Makkah. Pandangan ini cukup berpengaruh pada pembangunan masjid di berbagai wilayah, terutama di wilayah Eropa dan Asia Tengah.
Di beberapa tempat, seperti di Irak dan Mesir, masjid-masjid dibangun dengan menghadap ke arah yang lebih fleksibel, yakni dalam kisaran 45 derajat dari Ka’bah. Hal ini membuat beberapa masjid menghadap ke arah yang tidak sepenuhnya sesuai dengan posisi Makkah.
Meskipun demikian, perbedaan ini tetap menjadi bagian dari tradisi Islam yang kaya dan beragam. Bagi sebagian umat Islam, kiblat adalah simbol persatuan, meskipun cara menentukannya bisa berbeda-beda.
Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia
Kemajuan ilmu astronomi Islam
Pada masa kejayaan Islam, ilmuwan Muslim memimpin dunia dalam bidang astronomi. Para astronom Muslim pada abad ke-8 hingga ke-14 berhasil mengembangkan metode yang sangat canggih untuk menentukan arah kiblat dengan presisi tinggi. Mereka menggunakan trigonometri dan geometri untuk menghitung arah Makkah dari setiap titik di dunia Islam. Salah satu contoh kontribusi besar ilmuwan Islam adalah penemuan tabel yang menunjukkan arah kiblat berdasarkan lintang dan bujur setiap kota, yang masih digunakan hingga abad ke-14.
Pada masa itu, alat bantu seperti kompas dan kotak kiblat mulai digunakan untuk mempermudah penentuan arah Ka’bah. Alat ini biasanya berisi kompas magnetik dan daftar tempat dengan arah kiblatnya. Dengan bantuan teknologi ini, umat Islam dapat memastikan bahwa masjid yang dibangun menghadap Ka’bah dengan akurat. Namun, meskipun ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, perbedaan pandangan dalam menentukan kiblat tetap ada di kalangan para ulama.
Dalam beberapa kasus, seperti di Mesir dan Maroko, masjid-masjid yang dibangun pada abad-abad berikutnya tetap menghadap arah yang kurang tepat, meskipun teknologi untuk menentukan kiblat sudah jauh lebih canggih. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi dan pengetahuan berkembang, faktor tradisi, budaya lokal, dan pandangan ulama tetap memainkan peran penting dalam menentukan arah kiblat.
Perjalanan sejarah penentuan kiblat menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan, tradisi, dan agama bisa saling berinteraksi dalam dunia Islam. Meskipun terdapat perbedaan cara dan pandangan dalam menentukan kiblat, esensi dari ibadah tetap sama: menghadap Ka’bah di Makkah.
Kiblat bukan hanya soal arah fisik, tetapi juga simbol persatuan umat Islam di seluruh dunia, yang menghubungkan mereka dalam satu ibadah yang sama, meskipun dengan berbagai cara untuk menentukannya.