Ikhbar.com: Tidak ada suara azan, tak akan ditemukan lalu lalang orang-orang yang tampak sibuk mencari penganan di sore hari bulan Ramadan. Jauh berbeda dengan di Indonesia, menjalani ibadah puasa di Jerman, segalanya nyaris harus serbatenang, senyap, dan terbatas.
Ustazah Yoan bersama dua anaknya bergerak menuju Kota Essen, guna menghadiri acara buka puasa bersama (bukber) para Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman Cabang Nordrhein-Westfalen (NRW). Dari kota yang mereka tinggali, yakni Bielefeld, perempuan asal Indonesia bernama lengkap Nur Yuchanna itu harus menempuh dua jam perjalanan dengan menggunakan Intercity Express (ICE) alias kereta cepat.
“Waktu magrib di sini sekitar pukul 20.10, sedangkan isya-nya pada jam 21.50,” katanya kepada Ikhbar.com, Selasa, 4 April 2023.
Sesampainya di lokasi, Ustazah Yoan melihat acara tersebut telah dimulai dengan kuliah tujuh menit (kultum). Untung saja, dia dan kedua buah hatinya masih belum terlambat untuk turut menyantap hidangan karena waktu magrib memang belum tiba.

“Kami pun berbuka puasa bersama lalu salat Magrib berjemaah. Sebagai warga nahdiyin, kami tidak lupa berselawat bersama. Sayangnya, kami tidak bisa melanjutkan salat Tarawih berjemaah karena tempat yang disewa hanya mengizinkan dalam waktu yang sangat terbatas,” katanya.
Susah-susah gampang
Menjalani puasa di Jerman, aku Yoan, susah-susah gampang. Jika kebetulan berada di rumah, ia tak perlu ambil pusing untuk menyiapkan makanan spesial di bulan Ramadan.
“Kalau menu favorit keluarga sih mana’ish, sejenis pizza dari Libanon dengan topping keju mozzarella atau za’tar atau sucuk (daging ham Turki),” ungkapnya.
Yoan mengatakan, atmosfer Ramadan benar-benar harus dibangun di dalam jiwa sendiri. Pasalnya, tidak ada satu pun penanda maupun kebijakan khusus yang diberikan pemerintah bagi penduduk Muslim.
“Tidak ada istilah kita minta dihormati. Lebaran pun, jika jatuh pada hari kerja, kalau tidak ambil cuti, ya harus kerja. Sekolah juga sama,” katanya.
Kangen Indonesia
Ustazah Yoan berterus terang amat merindukan suasana Ramadan dan Lebaran khas Indonesia. Oleh karena itu, ia biasa melaksanakan open house dan mengundang kerabat maupun kenalan di setiap hari raya.

“Jika Lebaran jatuh di hari kerja, maka kami akan berkumpul di akhir pekannya. Kebetulan orang tua saya juga tinggal di München, sekitar 650 kilometer dari tempat tinggal saya. Pada Idulfitri 2019 lalu, bahkan kami berkumpul dengan satu orang Turki hingga teman nonmuslim juga,” katanya.