Ikhbar.com: Desember tiba, tahun segera berganti angka. Pergantian tahun yang masih terasa beberapa bulan lalu dimulai, kini sudah hampir berakhir. Waktu, seolah melaju dengan begitu cepatnya.
Banyak pihak menilai, gesitnya laju waktu diakibatkan oleh kehidupan masyarakat modern yang dituntut untuk kerja serbacepat didukung perkembangan teknologi yang sangat pesat. Kedua hal itu dianggap sebagai faktor pendorong bagi manusia untuk terus bergerak tanpa henti. Namun, di dalam perspektif Islam, percepatan waktu ini tidak hanya sebagai bagian dari gejala sosial, tetapi juga salah satu tanda akhir zaman.
Baca: Menangkal ‘Jam Koma’ dengan Doa
Persepsi sains
Pola hidup modern berkontribusi besar terhadap keberadaan fenomena cepatnya laju waktu. Kehidupan yang serbacepat dan penuh tekanan yang didukung teknologi canggih ditengarai menciptakan ilusi bahwa waktu berjalan lebih gesit dari biasanya. Rutinitas harian yang dipenuhi dengan berbagai aktivitas membuat manusia bergerak tanpa refleksi mendalam. Akibatnya, hari-hari berlalu begitu saja tanpa jejak yang bermakna.
Dalam kajian sains, percepatan waktu ini dijelaskan melalui mekanisme neurologis dan psikologis. Profesor psikologi Universitas Michigan, Cindy Lustig mengatakan bahwa otak manusia memproses informasi dengan cara yang berbeda seiring bertambahnya usia.
Ketika berusia muda, manusia cenderung memiliki lebih banyak pengalaman baru yang diingat sehingga waktu terasa lebih panjang. Sebaliknya, ketika sudah semakin tua, aktivitas sehari-hari menjadi lebih rutin dan kurang bervariasi mengakibatkan otak mengelompokkan waktu menjadi satu kesatuan yang lebih besar sehingga membuatnya terasa lebih cepat berlalu.
Selain itu, menurut profesor di Departemen Psikologi, Università Cattolica del Sacro Cuore Italia, Daniele De Lernia, peningkatan kadar dopamin saat terlibat dalam aktivitas menyenangkan juga berperan dalam mempercepat persepsi waktu.
Ketika menikmati sesuatu, otak menjadi lebih aktif dan memproses informasi dengan cepat, sehingga kehilangan jejak waktu. Sebaliknya, saat mengalami kebosanan atau rutinitas, otak cenderung fokus pada detail-detail kecil, membuat waktu terasa lebih lambat.
Baca: ‘Mindful Reading’ Al-Qur’an, Terapi Meraih Ketenangan
Hilangnya keberkahan
Fenomena waktu yang terasa semakin cepat telah disinggung dalam sejumlah hadis Rasulullah Muhammad Saw. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa hal itu sebagai tanda dan ciri-ciri kian dekatnya hari kiamat.
Nabi Saw bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونُ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ وَالشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ وَتَكُونُ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ وَيَكُونُ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ وَتَكُونُ السَّاعَةُ كَالضَّرَمَةِ بِالنَّارِ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga waktu terasa berlalu begitu cepatnya. Satu tahun terasa seperti satu bulan, satu bulan seperti seminggu, satu minggu seperti satu hari, dan satu hari seperti satu jam, dan satu jam seperti kedipan mata.” (HR. Ahmad).
Fenomena tersebut, sebagaimana dijelaskan para ulama, tidak hanya bisa dimaknai secara harfiah, tetapi juga sebagai tanda betapa manusia semakin kehilangan keberkahan dalam memanfaatkan waktu. Keberkahan waktu luntur akibat adanya perubahan moralitas, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat yang semakin jauh dari nilai-nilai agama.
Dalam kehidupan sehari-hari, keberkahan adalah sesuatu yang sulit diukur, tetapi nyata dirasakan. Keberkahan memberikan kemampuan bagi manusia untuk merasakan manfaat besar dalam waktu yang singkat. Ketika manusia menjauh dari ketaatan kepada Allah Swt, keberkahan waktu akan perlahan-lahan menghilang. Kesibukan duniawi yang tidak diimbangi dengan ibadah dan zikir membuat waktu berlalu tanpa makna yang mendalam.
Baca: Scroll dan Zikir: Menjaga Keseimbangan Spiritual di Era Digital
Lenyapnya ilmu hingga kerusakan sosial
Hadis lain mengaitkan percepatan waktu dengan berbagai tanda lainnya, seperti hilangnya ilmu, meningkatnya kebodohan, timbulnya berbagai fitnah, dan banyaknya pembunuhan. Semua tanda ini menunjukkan bahwa percepatan waktu bukan hanya masalah teknis, tetapi juga merupakan gejala dari kerusakan sosial dan spiritual yang meluas.
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيضَ
“Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali setelah hilangnya ilmu, banyak terjadi gempa, waktu seakan berjalan dengan cepat, timbul berbagai macam fitnah, Alharaj -yaitu pembunuhan,- dan harta melimpah ruah kepada kalian.” (HR. Bukhari).
Selain itu, hilangnya ilmu dan dominasi kebodohan menjadi alasan lain di balik fenomena ini. Rasulullah Saw mengingatkan bahwa mendekati akhir zaman, ilmu akan diangkat dari tengah-tengah umat, digantikan dengan kebodohan yang meluas.
Hilangnya ilmu ini tidak hanya merujuk pada pengetahuan duniawi, tetapi juga ilmu agama yang menjadi penuntun hidup. Tanpa ilmu, manusia kehilangan arah dalam memanfaatkan waktu secara bijaksana.
Baca: Vibe Check ala Al-Qur’an, Tafsir QS. Ar-Ra’d Ayat 28
Saran Islam
Meski waktu terasa semakin cepat, Islam memberikan panduan agar manusia tetap mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Salah satu cara yang diajarkan adalah dengan memperbanyak ibadah dan zikir.
Ibadah adalah inti dari keberkahan waktu, bukan hanya sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, tetapi juga sebagai cara untuk menenangkan hati di tengah kesibukan dunia. Melalui ibadah, manusia dapat menemukan kembali esensi hidupnya dan memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta.
Selain itu, menuntut ilmu menjadi langkah penting lainnya. Islam menempatkan ilmu sebagai cahaya yang membimbing manusia dalam menjalani kehidupannya. Dengan ilmu, seseorang mampu mengatur waktunya secara efisien, menghindari kebodohan, dan menyusun prioritas yang selaras dengan tujuan hidup. Ilmu juga memberikan kemampuan untuk menghadapi berbagai tantangan modern tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual.
Kesadaran akan pentingnya menghindari kesibukan yang tidak bermanfaat juga menjadi kunci menjaga keberkahan waktu. Rasulullah Saw mengajarkan agar umat Muslim meninggalkan hal-hal yang tidak membawa manfaat, baik di dunia maupun akhirat.
Rasulullah Saw bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَيَعْنِيْهِ
”Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At Tirmizi).
Dalam kehidupan sehari-hari, fokus pada hal-hal yang bernilai dan bermanfaat membantu seseorang memanfaatkan waktu dengan lebih bermakna. Selain itu, menjaga amal saleh menjadi bagian penting dalam ajaran Islam. Amal saleh, baik dalam bentuk membantu sesama, bersedekah, maupun berbuat baik kepada orang lain adalah investasi untuk kehidupan di akhirat.