Ikhbar.com: Penjajah Jepang panik. Ramalan bakal ambruk di tengah Perang Pasifik semakin menguat. Guna menggalang dukungan dan kekuatan baru, ditebarnya janji-janji kemerdekaan ke setiap wilayah yang merasa berada dalam kekang kendali mereka.
Di Indonesia, janji itu dikemas melalui pembentukan Dokuritsu Junbii Chosakai alias Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tepatnya pada 1 Maret 1945, persis di hari perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito.
Siasat Jepang tidak lantas dianggap barang haram. Para pendiri bangsa menyambut dan memanfaatkan peluang itu dengan baik. Akan tetapi sidang pembahasan rancang-bangun negara yang telah lama diidam-idamkan tersebut baru dimulai dua bulan berikutnya, yakni pada 28 Mei 1945, di gedung Volksraad, yang kini masyhur disebut Gedung Pancasila di Jalan Pejambon, Jakarta.
BPUPKI dan Keanggotaan Ki Bagus
Sudah barang tentu, Jepang tak melepas kontrolnya begitu saja. Dari sebanyak 69 keanggotaan yang disarankan dalam BPUPKI, tujuh orang di antaranya berstatus sebagai anggota istimewa yang tak lain merupakan perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang.
Para anggota khusus itu bertugas mengawasi jalannya proses persidangan yang diisi oleh 62 anggota aktif. Sidang paling bersejarah ini diikuti para peserta yang terdiri dari para tokoh pergerakan dengan latar belakang daerah dan ideologi berbeda namun bercita-cita sama, yakni kemerdekaan Indonesia.
Di sinilah nama Ki Bagus Hadikusumo muncul. Ia ditunjuk untuk mewakili Perserikatan Muhammadiyah, salah satu kelompok Islam terbesar yang telah banyak memberikan peran dalam menguatkan sumberdaya masyarakat Bumiputera sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Ki Bagus Hadikusumo menjabat Ketua Umum Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah menggantikan KH Mas Mansyur yang melibatkan dirinya dalam gerakan Empat Serangkai bersama Sukarno, Mohammad Hatta, serta Ki Hadjar Dewantara.
Pengaruh Ki Bagus sebenarnya sudah diperhitungkan matang oleh Jepang sejak jauh-jauh hari. Ia kerap dilibatkan Jepang dalam urusan-urusan pemerintahan di Jawa terkait iming-iming kemerdekaan Indonesia. Di mata penjajah Jepang, nama Ki Bagus sama bahayanya dengan Sukarno dan Mohammad Hatta.
Baca: Haji Tempo Doeloe: Transportasi, Tarif, hingga Jalur yang Dilewati
“Mungkin dengan alasan inilah Soekarno, Hatta, dan Ketua PB Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo terbang ke Tokyo pada November 1943 untuk diberi tanda jasa oleh Kaisar,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), dikutip pada Kamis, 1 Juni 2023.
Berdebat dasar negara
Pengaruh yang digadang-gadang Ki Bagus dalam statusnya sebagai salah satu anggota BPUKI memang terbukti. Pada sidang pertama BPUPKI dengan agenda merumuskan dasar negara Indonesia, Ki Bagus memberikan banyak masukan mengenai pentingnya membentuk satu kesatuan masyarakat di atas dasar ajaran agama, khususnya Islam.
“Tuan-tuan yang terhormat, tentu saja tuan-tuan menghendaki negara kita ini mempunyai rakyat yang kuat bersatupadu, erat persaudaraannya lahir dan batin. Kalau memang demikian maka marilah kita bangunkan negara kita ini berdiri di atas dasar-dasar ajaran agama Islam,” ucap Ki Bagus dalam pidatonya sebagaimana dicatat Sekretariat Negara RI dalam Risalah Sidang BPUPKI (1998).
Ki Bagus melihat, dasar ajaran Islam akan mampu mengakomodir kepentingan kelompok lain. Ia sama sekali tidak bermaksud meletakkan Islam dalam pengertian kelompok yang berada di atas elemen pendiri bangsa lainnya.
“Menurut Ki Bagus meskipun negara dibangun didasarkan kepada hukum Islam, akan tetapi hak masyarakat untuk memilih dan menentukan agamanya harus dihormati dan dilindungi,” tulis Sudarnoto Abdul Hakim dalam Ki Bagus Hadikusumo: Biografi, Perjuangan, dan Pemikiran (2015).
Perdebatan seputar gambaran dasar negara yang laik untuk Indonesia merdeka belum juga menemui mufakat hingga akhir masa persidangan pada 1 Juni 1945. Terjadi perbedaan pandangan antara golongan nasionalis yang mencoba merangkul suara kelompok Indonesia Timur yang digawangi Mohammad Hatta, dengan kelompok perwakilan agama yang memandang pentingnya untuk membangun Indonesia di atas dasar dan roh ajaran Islam.
Sikap kenegarawanan
Memasuki masa reses BPUPKI masa persidangan pertama, Sukarno membentuk panitia sembilan yang secara langsung diketuainya sendiri. Dewan khusus ini sebagaimana panitia delapan yang digagas sebelumnya memiliki tugas untuk menguatkan rumusan dasar negara terutama terkait isi pidato Bung Karno pada hari ketiga sidang BPUPKI dengan tajuk Pancasila.
Berbeda dengan BPUPKI, panitia sembilan tidak menyertakan Ki Bagus Hadikusumo. Alhasil, perdebatan dasar negara ini hanya diwakili empat orang kelompok nasionalis, yakni Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo Djojodisoerjo, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, serta Alexander Andries Maramis. Sementara selain Sukarno sebagai ketua, tiga orang lainnya disebut mewakili kelompok Islam adalah Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, serta Haji Agus Salim. Beruntung, panitia khusus ini akhirnya mampu bermufakat dan melahirkan Piagam Jakarta untuk dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan Undang-Undang Dasar (UUD) negara.
“Piagam Jakarta itu sendiri sebenarnya formal telah memenuhi proses pembentukan yang cukup fair, karena para perancangnya sub-komite BPUPKI, terdiri dari tokoh yang setara baik pendukung Islam maupun sekular, sehingga piagam dipandang sebagai bentuk kompromi,” tulis Yudi Junadi dalam Relasi Agama dan Negara: Redefinisi Diskursus Konstitusionalisme di Indonesia (2012).
Namun, bola perdebatan dasar negara masih menggelinding dalam persidangan BPUPKI kedua pada 10 hingga 14 Juli 1945. Bahkan puncaknya adalah tugas BPUPKI dianggap rampung dan digantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bersidang sehari setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Pada persidangan yang dihelat 18 Agustus 1945 itu perdebatan masih memanas, terlebih dengan adanya wacana pergantian kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai perwakilan Islam, Ki Bagus merasa kecewa. Sebanyak empat kali pula ia menolak untuk mufakat. Sukarno beberapa kali mengutus orang untuk melobi pimpinan Muhammadiyah itu. Dua orang, yakni Teuku Muhammad Hasan dan Wahid Hasyim tampaknya tak bisa membuat luluh tokoh bernama asli Raden Hidayat itu.
Ketidak-sepakatan Ki Bagus bukan hanya lantaran dihapusnya tujuh kata yang dikhususkan sebagai aspirasi utama kelompok Muslim, tetapi ia juga mengkritik atas putusan sidang yang dianggap setengah-setengah alias terlampau kompromistis dalam membangun dasar negara.
“Kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi, nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral. Itu terang-terangan saja. Jangan diambil sedikit kompromis seperti Tuan Soekarno katakan,” ucap Ki Bagus sebagaimana tercatat dalam Risalah Sidang BPUPKI (1998).
Ki Bagus terus melancarkan kritik dan ketidakpuasannya. Ihwal maksud kompromistis tadi, ia juga mengkritik rekannya dari kelompok Islam KH Masykur yang mendesak tetap menggunakan kata Allah dalam pembukaan UUD 1945 sebagai pengganti tujuh kata yang dihapus meski akhirnya disepakati sebagian besar peserta.
Kini, dari kelompok Islam tinggal Ki Bagus lah yang bertahan. Setelah semua kawan dekatnya melobi dan gagal, Kasman Singodimejo pun mendapat giliran untuk merayu rekan se-Muhammadiyah itu.
Kasman berhasil. Tampaknya ia paham betul sisi kebijaksanaan Ki Bagus. Kasman melobi dengan menggunakan bahasa Jawa halus yang sebenarnya masih sangat kental dengan tradisi dan latar belakang keluarga Ki Bagus Hadikusumo.
Selain karena kelihaian Kasman, kelegowoan Ki Bagus yang pada akhirnya menerima putusan sidang itu lebih disebabkan sikap mendahulukan kepentingan bangsa dibanding kelompoknya. Setelah menerima, dengan sifat kenegarawanannya, Ki Bagus mengenalkan Pancasila kepada kelompok Muslim dengan menafsiri sila pertama secara sangat halus.
Menimbang pendapat Mohammad Hatta, Ki Bagus menerjemahkan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan lafaz “Qul huwa Allahu Ahad,” yakni penjelasan tentang keesaan Allah SWT pada ayat pertama surat Al-Ikhlas dalam Al-Quran.
Kebesaran jiwa Ki Bagus dan rasa tanggungjawabnya yang tinggi inilah yang mampu mengantarkan Pancasila hingga bisa diterima oleh kebanyakan pemeluk Islam di Indonesia.