Ikhbar.com: Sekira 6.000 hingga 16.000 pejuang gugur dalam pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945. Mereka adalah rakyat Indonesia yang telah berani bertaruh jiwa dan raganya demi mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan tiga bulan sebelumnya, tepatnya pada 17 Agustus 1945.
Sejarawan kontemporer Australia, Prof. Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (1993) menceritakan, pertempuran Surabaya merupakan perang pertama pasukan Indonesia melawan pasukan Sekutu setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dan menjadi pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia.
“Ini menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme dan Imperialisme. Usai pertempuran, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat,” tulisnya, dikutip pada Ahad, 13 Agustus 2023.
Sejarah Indonesia adalah sekumpulan kisah-kisah kepahlwanan. Lebih dari separuh abad usia kemerdekaan, semangat mempertahankan kedaulatan mesti tetap dipupuk sebagai lambang kecintaan terhadap Tanah Air. Meski tidak lagi dengan cara dan musuh yang sama, tetapi niat untuk berkontribusi dalam menjaga kemerdekaan RI merupakan tanggung jawab yang harus terus diemban dari generasi ke generasi.
Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri
Jauh lebih mudah
Co Founder & Fact Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito menjelaskan, menyingkirnya para penjajah dari Bumi Pertiwi bukan berarti membuat rakyat terbebas secara penuh dari kewajiban menjaga martabat bangsa. Menurutnya, seluruh lapisan masyarakat harus memiliki kesadaran untuk terus merawat persatuan dan kesatuan Indonesia.
“Sekarang ini, cara kita mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu sangat, sangat, dan sangat mudah. Sampai tiga kali kata ‘sangat’ karena memang begitu mudahnya. Yakni, hanya dengan menahan jari untuk tidak mengetik atau menyebarkan informasi yang negatif, hoaks, apalagi yang mengandung ujaran kebencian,” katanya, dalam Hiwar Ikhbar #12 bertema “Hoaks dan Fakta Kemerdekaan RI,” bersama ikhbar.com pada Sabtu, 12 Agustus 2023, kemarin.
Namun, lanjut Ari, pekerjaan yang dianggap supergampang itu bukan berarti hal yang sepele. Pasalnya, persatuan dan kesatuan Indonesia yang sangat dibanggakan itu telah terbukti sempat terancam oleh pembelahan sosial akibat maraknya ujaran kebencian yang disebar lewat media sosial.
“Terutama di tahun politik. Mudah saja, tahan diri,” katanya.
Menyitat hasil survei yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), misalnya, menyebutkan, fenomena polarisasi politik diperkirakan masih berpotensi terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Hasil studi menunjukkan bahwa pembelahan yang berpeluang meletup di tengah masyarakat itu telah membentuk dua kelompok. Yakni dengan proporsi 57% dan 43%. Angka itu merupakan hasil analisis terhadap sebanyak 43 juta postingan di media sosial sebelum, selama, dan sesudah masa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Selainn itu dilakukan pula survei opini publik pada rentang waktu 6-28 Februari 2023. Hasilnya, sisa-sisa residu polarisasi pesta demokrasi lima tahun lalu itu masih terkonfirmasi membekas di tengah masyarakat.
Baca: Matinya Kepakaran, Tantangan Baru Pemberantasan Hoaks di Indonesia
“Hoaks yang disebar itu biasanya satu paket dengan ujaran kebencian. Ini yang memicu pembelahan sosial,” kata Ari.
Ari mengajak masyarakat agar mampu menahan diri dan tidak langsung terpancing emosi saat menerima informasi yang tidak baik, apalagi narasi-narasi yang telah dicurigai sebagai kabar bohong.
“Jika mendapatkan pesan seperti itu, istirahat dulu. Taruh ponselnya, atau ganti nonton yang lucu-lucu sampai emosinya hilang. Intinya, jangan ikut menyebarkan berita atau narasi yang sifatnya negatif dan memicu perpecahan,” kata dia.
“Sebab, di ujung jari kitalah tanggung jawab untuk mempertahankan kemerdekaan dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa itu berada,” sambungnya.