Ikhbar.com: Karakter generasi muda, termasuk Generasi Z atau Gen Z menjadi sorotan penting dalam dunia pendidikan dan sosial, khususnya di tengah peralihan zaman yang semakin pesat seperti saat ini.
Gen Z dikenal sebagai generasi yang memiliki berbagai karakter positif yang penting untuk menghadapi dunia modern. Studi dari Pew Research Center (2020) menunjukkan, Gen Z cenderung lebih berpikiran terbuka, fleksibel, dan berorientasi pada solusi dibandingkan generasi sebelumnya.
Mereka sangat menghargai keberagaman, dan lebih toleran terhadap perbedaan budaya dan pandangan.
Selain itu, riset yang dipublikasikan The Deloitte Global Millennial Survey (2022) juga mengungkapkan bahwa Gen Z memiliki kemampuan adaptasi yang kuat dan kritis terhadap penggunaan teknologi yang berdampak pada kehidupan sehari-hari .
Karakter-karakter positif ini menjadi landasan penting bagi Gen Z untuk menjadi generasi yang siap menghadapi tantangan, sekaligus memegang teguh nilai-nilai kebaikan dalam menjalani kehidupan.
Citra positif yang sudah tertanam di dalam diri Gen Z tersebut akan semakin moncer ketika dibarengi dengan pendidikan pesantren yang tuntas, guna menjadikannya insan yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.
Santri dibentuk melalui sistem pendidikan pesantren, yang dikenal tekun mendidik spiritualitas dan nalar ilmiah. Dengan modal itu, Gen Z yang menjadi santri akan memaksimalkan potensinya sebagai yang terbaik di antara generasinya.
Term ‘santri’ sendiri mengandung sifat-sifat yang mencerminkan kompetensinya dalam menghadapi kompleksitas kehidupan sosial, dan peradaban yang bergerak dinamis. Sifat-sifat tersebut merupakan hasil dari pendidikan yang disiplin, dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Baca: 3 Gerakan Utama Santri menurut Gus Menteri
(S)piritual
Keseimbangan spiritual adalah prioritas bagi santri. Pendidikan yang dijalaninya menitikberatkan pada pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam, mulai dari tafsir Al-Qur’an, hadis, hingga ilmu fikih dan akhlak.
Pendidikan ini lebih mendalam dibandingkan institusi pendidikan umum. Santri memperoleh wawasan keislaman yang valid melalui rangkaian sanad, yang diturunkan dari guru ke guru hingga kepada tabi’in, sahabat, dan Rasulullah Muhammad Saw. Sanad tersebut tercatat secara ketat dalam syahadah atau ijazah.
Melalui kehidupan pesantren, santri terlatih untuk menjaga keseimbangan antara ibadah ritual dan amalan sosial, memastikan bahwa setiap aspek kehidupannya selaras dengan tujuan ibadah.
Sebagaimana dalam QS. Al-Mulk ayat 2, Allah Swt mengingatkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
“Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun,” (QS Al-Mulk: 2).
(A)daptive
Santri juga dikenal adaptif, mampu mengikuti perkembangan teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan adalah ciri penting yang diajarkan di pesantren. Pendidikan yang diberikan di pesantren mendorong santri untuk menjadi fleksibel terhadap tantangan baru, seperti penggunaan teknologi untuk dakwah dan pengembangan ilmu.
Santri sering dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka beradaptasi, misalnya dengan kondisi kehidupan sederhana di pesantren, sehingga terbiasa menghadapi keterbatasan tanpa kehilangan semangat belajar.
Santri menyadari bahwa ilmu diperoleh dengan perjuangan dan laku prihatin. Karena dengan hanya itulah seseorang mampu menghargai dan menghayati proses pendidikan yang dijalaninya. Santri dengan patuh dan penuh kesadaran mengamalkan enam syarat belajar yang termaktub dalam Alala, sebuah ringkasan Ta’lim Al Muta’allim karya Imam Al Zarnuji.
اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِســــِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
“Ingatlah, kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali memenuhi enam syarat. Aku akan menjelaskan gambaran besarnya kepadamu secara jelas.”
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ # وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Yaitu: cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk ustaz, dan durasi pendidikan yang panjang.”
Baca: Santri dan AI
(N)etworked
Salah satu kekuatan santri adalah kemampuan mereka dalam membangun networking atau jaringan sosial yang kuat. Jejaring ini tidak hanya terbangun di antara santri dalam satu pesantren, tetapi juga di antara pesantren-pesantren di berbagai wilayah.
Menariknya, status sebagai santri tak pernah hilang, meski mereka telah menyelesaikan pendidikan di pesantren. Keberadaan alumni santri yang tersebar di berbagai sektor masyarakat, baik sebagai kiai, maupun profesional, menciptakan jaringan yang terus mendukung kehidupan sosial dan karir mereka.
Solidaritas dalam komunitas santri didorong oleh semangat persaudaraan yang diajarkan Rasulullah Saw.
Nabi Saw bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya, dan tidak membiarkannya disakiti. Siapa pun yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah Swt akan membantu kebutuhannya. Siapa pun yang menghilangkan satu kesusahan seorang Muslim, maka Allah Swt menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Siapa pun yang menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat,” (HR. Muslim).
(T)olerant
Dalam menghadapi perbedaan agama, budaya, dan pandangan, santri diajarkan untuk bersikap toleran. Pesantren selalu menanamkan ajaran tentang toleransi beragama, sebagaimana tercermin dalam sejarah Islam yang penuh dengan kisah-kisah hidup berdampingan dengan agama lain.
Prinsip ini tidak hanya dihafalkan, tetapi benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan santri sehari-hari. Toleransi tidak hanya diajarkan dalam konteks agama, tetapi juga dalam menerima perbedaan budaya, dan pendapat di tengah masyarakat.
Banyak hadis Nabi Saw yang mencerminkan sikap toleransi tersebut, tak kurang juga ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajarkan seorang Muslim menghormati perbedaan di lingkungan sosialnya.
Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal,” (QS Al-Hujurat: 13).
Baca: Sejarah NU, Seabad Riwayat Perlawanan Ulama Indonesia
(R)espectful
Santri dikenal dengan sifat respectful (hormat) kepada guru, orang tua, dan masyarakat. Penghormatan ini merupakan bagian dari adab yang menjadi fondasi pendidikan pesantren.
Rasulullah Saw bersabda:
ليس منَّا من لم يوقِّر الكبير, ويرحم الصغير, ويأمر بالمعروف وينهى عن المنكر.
“Bukan termasuk dari kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih kecil, serta orang yang tidak memerintah pada kebaikan dan mencegah perbuatan munkar,” (HR: Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban).
Santri dilatih untuk selalu menghormati mereka yang lebih tua dan berilmu, serta menerapkan nilai-nilai sopan santun dalam interaksi sosial. Karakter ini membentuk mereka menjadi individu yang mampu berkontribusi positif di masyarakat, dengan tetap menjaga hubungan yang harmonis dan penuh rasa hormat.
Baca: Oktober Bulan Santri
(I)nnovative
Santri juga tidak hanya beradaptasi dengan perubahan, tetapi berinovasi dalam memahami dan mengembangkan ilmu agama. Tradisi bahtsul masail di pesantren adalah contoh nyata bagaimana santri dilatih untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer dengan merujuk kepada kitab kuning dan sumber-sumber otoritatif lainnya.
Dalam Islam, inovasi yang dilakukan dengan tetap berlandaskan pada ajaran syariah adalah hal yang dianjurkan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa yang menunjukkan kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan orang yang melakukannya,” (HR. Abu Dawud).
Melalui tradisi ini, santri dibekali kemampuan untuk memberikan solusi bagi persoalan umat, dengan cara yang relevan, dan sesuai dengan konteks zaman.
Dengan karakter-karakter seperti spiritualitas yang kuat, adaptabilitas, jaringan sosial yang luas, toleransi, penghormatan, dan inovasi, santri hari ini menjadi sebaik-baiknya representasi Gen Z yang mampu menjaga tradisi sekaligus siap menghadapi tantangan modern.
Karakter ini menjadikan mereka tidak hanya sebagai pewaris tradisi Islam yang luhur, tetapi juga agen perubahan yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat luas.