Oleh: Ustaz Sofhal Adnan (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
LAPORAN World Economic Forum (WEF) bertajuk Future of Jobs (2020) memprediksi sejumlah pekerjaan bakal tersingkir artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Ancaman itu, konon akan terwujud, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Sekitar 23% pekerjaan akan terdisrupsi karya baru peradaban manusia itu.
Jenis pekerjaan yang sangat berpotensi tergerus adalah petugas entri data, akuntan, dan sekretaris. Selain itu, satpam, tukang bangunan, dan pekerja rumah tangga (PRT) juga masuk dalam daftar profesi yang turut terancam.
Meski demikian, WEF sendiri menyebut masih ada beberapa profesi yang tidak dapat digantikan AI. Syaratnya, pekerjaan itu berkaitan dengan keterampilan, penilaian, kreativitas, ketangkasan fisik, dan kecerdasan emosional.
Baca: Oktober Bulan Santri
Melampaui AI
Di sisi lain, Kementerian Agama (Kemenag) mencatat terdapat 39.043 pesantren di Indonesia pada 2023. Lembaga pendidikan Islam tradisional itu mendidik kurang lebih 4,08 juta santri.
Di pondok pesantren, para santri bergulat dengan pembelajaran banyak cabang dalam ilmu keislaman. Terlebih dalam penguasaan Bahasa Arab. Keahlian dalam memahami bahasa Al-Qur’an itu menjadi fondasi kokoh mereka akan gempuran AI.
Sejumlah perangkat kecerdasan buatan memang sudah menyediakan layanan penerjemahan dengan berbagai bahasa, termasuk Arab-Indonesia. Hanya, cara kerja AI baru sebatas mengolah data yang telah diinput. Sedangkan soal logika dan segala hal terkait semantik kebahasaan, dipastikan alpa.
Dr. Kai-Fu Lee dalam AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order (2018) menegaskan, AI hanya dapat melakukan tugas-tugas yang telah diprogram, tetapi tidak akan bisa menangani situasi yang tidak terduga atau kompleks.
Manusia masih dibutuhkan untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan dalam situasi yang tidak terduga atau kompleks.
Maka, di sinilah, para santri berkesempatan memainkan peran dengan bekal-bekal semantik, rasa, dan segala filosofi yang telah didapat selama di pesantren. Contoh paling gampang, yakni tentang adanya sinonimitas makna pada banyak kata di dalam Al-Qur’an, seperti lafaz firqah yang memiliki arti serupa dengan thaifah, ahzab, fiah, faujun, dan ma’syarun, yakni bermakna golongan.
Meski sepintas memiliki arti yang sama, tetapi hanya santrilah yang berpeluang memahaminya dengan sudut pandang yang berbeda. Mereka akan berpendapat bahwa kata yang semakna, bisa menghadirkan arti yang beragam ketika ditemukan kondisi yang berbeda.
Dengan kata lain, penempatan kata firqah dan padanannya memiliki kemungkinan penfsiran dan penekanan makna yang berbeda pula. Sebab, tidak mungkin Allah menggunakan kata-kata berbeda di saat ingin menyampaikan makna yang sama.
Baca: Para Santri di Zaman Nabi
Profesional, tak tergantikan
Kemampuan analisis bahasa tersebut menjadi makanan keseharian santri. Maka, jika berbicara soal profesi, banyak santri yang mengidam-idamkan mendapatkan kesempatan bekerja sebagai pentashih mushaf Al-Qur’an, terutama bagi mereka keluaran pesantren tahfiz.
Ada banyak santri yang bekerja di Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) yang berkantor di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Di sana, setidaknya terbagi menjadi tiga kelompok pentashih. Pertama, pentashih dengan latar belakang para kiai pengasuh pesantren Al-Qur’an. Kedua, pentashih dengan latar belakang pakar Al-Qur’an atau bahasa, baik akademisi dan peneliti. Ketiga, pentashih dengan latar belakang para santri dan penghafal Al-Qur’an.
Di sana, mereka bertugas menjaga kesahihan Al-Qur’an. Pekerjaan ini tentu akan sulit digantikan AI. Sebab kecerdasan buatan tidak akan mampu melakukan pekerjaan dengan seabrek modal pengetahuan dan metodopogi tersebut.
Prof. David Lazer dari Northeastern University mengatakan, meskipun AI dapat membantu memproses data dalam jumlah besar dengan cepat, manusia masih dibutuhkan untuk mengevaluasi dan menafsirkan data tersebut dengan kritis.
Selain kedua pekerjaan di atas, ada satu lagi aktivitas santri yang rasanya sulit digantikan AI, yakni kepiawaiannya dalam merumuskan persoalan keagamaan.
Pembuktian tersebut setidaknya sudah tergambar dalam keputusan Komisi Bahtsul Masail (BM) Waqi’iyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023. Hasilnya, disepakati bahwa mengamalkan fatwa keagamaan dari AI tidak diperbolehkan.
Gampangnya, menanyakan keagamaan kepada AI, boleh, tetapi haram jika menjadikannya sebagai pedoman untuk pengamalan.