Ikhbar.com: Sebanyak 40 foto lawas berjajar menjadi semacam mesin waktu yang mampu melemparkan imajinasi pengunjung ke masa-masa seabad lalu. Pameran Foto dan Dokumentasi Komite Hijaz yang digelar di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jawa Timur pada Ahad sampai Senin, 5-6 Februari 2023 menggenapi gambaran perjuangan para kiai Nahdlatul Ulama (NU) sejak sepuluh dekade silam.
Rangkaian foto pertama diawali dengan nuansa pembentukan Komite Hijaz, lalu disambung peristiwa pengiriman surat ke penguasa baru Arab Saudi kala itu, Raja Ibnu Saud. Setelahnya, ada pula balasan terkait persuratan penting itu.
Secara berurutan, kemudian ada foto kapal yang digunakan untuk berangkat, foto tim utusan. Foto tempat menginap tim Komite Hijaz, lokasi pertemuan dengan Raja Hijaz, hingga foto perjalanan pulang dari Arab Saudi.
Komite Hijaz adalah nama kepanitiaan yang dipimpin salah satu penggagas pendirian NU, KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui Raja Ibnu Saud di Tanah Hijaz untuk menyampaikan sejumlah permohonan.
Komite tersebut sepakat untuk menyusun mandat dan materi pokok yang disampaikan langsung kepada sang raja dalam forum Muktamar Dunia Islam. Risalah yang dibawa Komite Hijaz terdiri dari lima poin yang berasal dari pokok pikiran para ulama dan restu dari seorang tokoh sentral yang kemudian menjadi Rais Akbar NU, Hadaratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Dalam pameran yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU tersebut, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan bahwa Komite Hijaz telah melahirkan peristiwa bersejarah bagi organisasi NU. Hal tersebut tidak terlepas dari upaya keras muassis NU, khususnya KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai sang inisiator gerakan.
“Semua orang tahu komite ini berhasil merebut hijaz melalui suatu revolusi yang sangat keras,” ujar Gus Yahya, Ahad, 5 Februari 2023.
Ia mengatakan, kumpulan manuskrip dan dokumen yang dipamerkan tersebut merupakan sekumpulan bahan guna menyempurnakan narasi perjuangan para muassis pelopor Komite Hijaz di masa lalu.
“Kita membutuhkan suatu narasi tentang apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh pendahulu kita ketika dengan berani membuat inisiatif membentuk Komite Hijaz dan berangkat ke Hijaz bertemu dengan penguasa Hijaz Raja Ibnu Saud,” ungkapnya.
“Dari semua ini kalau kita kumpulkan beliau sudah mengusulkan Komite Hijaz ini sejak 1925 sebelum NU didirikan,” sambung Gus Yahya.
Sementara itu, Ketua Lesbumi PBNU KH Muhammad Jadul Maula menuturkan, Pameran Komite Hijaz ini merekam perjalanan bersejarah KH Abdul Wahab Chasbullah dan Syekh Ghanaim al-Amir ketika bertemu Raja Ibnu Saud tahun 1928 M.
“Paling tidak, membuka satu ingatan, membuka satu semacam komitmen dan rasa syukur terima kasih kepada para muassis atas perjuangannya, ketika digambarkan naik kapalnya, ketemu banyak orang,” katanya saat memberikan sambutan.
Dirinya menyebutkan, keberangkatan ke Hijaz itu dilakukan dengan biaya sendiri. Hal itu juga menggambarkan keikhlasan KH Abdul Wahab Chasbullah dan kuatnya komitmen perjuangan dan visinya ke depan.
“Mudah-mudahan dengan ini dapat mengambil spirit dan inspirasi, ngalap barokahnya,” katanya.
Lima butir perlawanan
Dilansir situs NU Online, Ibnu Saud, Raja Najed beraliran Wahabi itu menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada 1924-1925. Dampaknya, aliran Wahabi sangat dominan di Tanah Haram, sementara kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Kala itu, terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang sebelumnya menetap di Haramain. Mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari kemusyrikan dan bidah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah, termasuk makam Nabi Muhammad Saw dan para sahabat hendak dibongkar. Akibat kondisi seperti itulah, umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat prihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut Komite Hijaz.
Komite Hijaz bertugas menyampaikan lima permohonan, yakni:
Pertama, memohon diberlakukannya kemerdekaan bermazhab di Negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab itu, imam-imam Salat Jumat di Masjidil Haram diharap bisa ditentukan secara bergilir dengan melibatkan perwakilan setiap mazhab.
Komite Hijaz juga meminta agar kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut, seperti di bidang tasawuf, aqaid, maupun fikih diberi keleluasaan untuk bisa masuk ke Negeri Hijaz.
Kedua, memohon agar tempat-tempat bersejarah tetap boleh diramaikan dan diwakafkan demi memakmurkan masjid-masjid di sekitar lokasi tersebut.
Ketiga, memohon agar penentuan tarif dan biaya syekh dan muthawif diumumkan jauh-jauh hari sebelum musim haji tiba. Dengan demikian, orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup.
Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Kelima, Jam’iyah NU memohon balasan surat dengan isi sebuah penjelasan bahwa sebanyak dua orang delegasi telah benar-benar menyampaikan surat dan permohonan-permohonan tersebut kepada Raja Ibnu Saud.
Pengiriman Komite Hijaz harus dilakukan oleh organiasi formal. Atas dasar itulah, NU didirikan pada 31 Januari 1926.
Perjuangan lanjutan
Pada akhirnya, NU terus menjelma sebagai jamiyah raksasa. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut dakwah yang lentur dan mampu menyesuaikan kebutuhan masyarakat menjadi kunci bagi NU hingga bisa bertahan sampai 100 tahun.
“Selama puluhan tahun NU berhasil membangun keislaman dan ke-Indonesia-an secara harmonis,” kata dia.
Dakwah yang disampaikan Nahdiyin selalu mendekati budaya, sehingga dapat diterima di kehidupan masyarakat. “Dakwah NU itu mendekatkan pada apa yang dihayati sebagai budaya masyarakat, kemudian diberikan ruh keislaman. Itu sebabnya NU semakin besar dan diterima dalam kehidupan masyarakat,” jelasnya.
Di satu sisi, katanya, NU membangun keislaman dan ke-Indonesia-an secara harmonis. Di sisi lain, organisasi tersebut juga memiliki tantangan yaitu munculnya gerakan anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), misalnya gerakan ideologi transnasional baik liberalisme, kapitalisme, atau islamisme yang ingin dipaksakan ke Indonesia.
“NU sebagai salah satu pilar penting berdirinya NKRI. Oleh sebab itu, komitmen NKRI harga mati harus tetap tumbuh di NU dan tetap kuat,” tegasnya.
“NU sebagai jamiyah itu dinamis, selalu bisa mengikuti perkembangan zaman bahkan perkembangan politik nasional dan ikut menjaganya,” sambung dia.
Di sisi lain, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Musthofa Bisri (Gus Mus) mengatakan bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi NU di umur memasuki abad keduanya. Tantangan yang dihadapi NU sama dengan tantangan yang dihadapi Indonesia.
“Banyak tantangannya. Tantangan NU sama dengan tantangan Indonesia. Karena NU itu Indonesia,” katanya.
Gus Mus menyebut harapan terhadap NU ia rangkum dalam lirik lagu 1 Abad NU yang diciptakannya. Gus Mus berharap agar warga NU menguatkan niat, membulatkan tekat, dan terus melanjutkan amal serta mengembangkan khidmah.
“Menebar kasih-sayang semesta. Membangun peradaban baru yang mulia. Tuk kedamaian dan bahagia Bersama. Dalam ridha Allah Tuhan yang Maha Esa,” harap Gus Mus.
Kemanusiaan dan peradaban
Pengamat NU asal Belanda, Martin van Bruinessen mengatakan bahwa tantangan NU memasuki abad kedua adalah bagaimana menjawab masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia.
“Tantangan untuk sekarang bagaimana mengembangkan suatu wacana yang mampu membahas masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia,” ujarnya.
Menurut Martin yang merupakan seorang Antropolog, masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia sekarang ini di antaranya lingkungan hidup, perubahan iklim, hukum internasional, penyelesaian konflik, hak asasi manusia, kesetaraan ras, kesetaraan gender, kesetaraan agama.
“Apakah NU sanggup? Apakah pemikir NU sanggup merumuskan wacana yang menjawab semua tantangan itu? Sangatlah tepat kita akan melihat besok, akan menghadiri suatu halaqah (Muktamar Internasional Fiqih Peradaban), beberapa masalah itu akan disebut,” imbuhnya.
“Sangatlah tepat pada hari ulang tahun NU yang ke 100 ada satu konferensi besok, tentang fiqih peradaban. Di mana klaim itu akan diberi legitimasi dengan pembahasan mengenai sumber-sumber kepustakaan Islam untuk mendukung nilai-nilai itu,” sambung Martin.
Martin mengatakan bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban mengingatkan dirinya kepada sebuah diskusi di Eropa pada sekitar tahun 90-an dan 2000-an tentang konsep European Islam (Islam Eropa) yaitu ketika orang sering membandingkan tentang Islam di Eropa dan Islam Eropa.
“Banyak orang yang menulis hal-hal menarik antara lain Tariq Ramadan mengenai munculnya Islam Eropa. Muslim di Eropa sebagian besar dari imigran. Keturunan dari Turki, Maroko, Somalia, Pakistan, Indonesia juga, dan beberapa mualaf,” ujar Martin.
Mereka merupakan bagian yang terisolir dari masyarakat mayoritas, hidup dalam lingkungan sendiri, dan mempunyai tradisi Islam dari negara asal, “Meskipun secara fisik berada di Eropa tetapi tidak banyak disentuh oleh diskusi-diskusi yang berada di Eropa.”
“Jadi dialog itu bagian dari pencarian suatu Islam Eropa. Nah, Islam Eropa itu bukan sesuatu yang nyata yang bisa kita kaji karena sudah ada, nggak. Itu suatu yang ingin diciptakan, dikembangkan oleh orang yang peduli baik kepada Islam sebagai agama maupun kehidupan masyarakat,” pungkas Martin.