Ikhbar.com: Santri tidak hanya menjadi benteng agama, tetapi juga pilar kebangsaan, pemikiran, dan ekonomi. Tiga peran fundamental ini telah dijalankan kaum sarungan sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menteri Agama (Menag) RI, H. Yaqut Cholil Qoumas, atau yang kerap disapa Gus Menteri, mengingatkan bahwa sejarah mencatat tiga gerakan utama yang dilakukan oleh santri, yakni Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar. Tiga semangat ini harus terus dirawat dan dijalankan demi kemajuan bangsa, terutama terbangunnya mental kemandirian yang lebih kuat.
Baca: Pesantren Gelar Pameran UMKM di Mal Mewah, Gus Yaqut: Layak dan Bukan Hal Aneh
Gerakan kebangsaan
Gerakan pertama, Nahdlatul Wathan, yang berarti “Kebangkitan Tanah Air”, merupakan wujud kecintaan kaum santri pada negeri. Berdiri pada 1916, gerakan ini menunjukkan bahwa santri tidak hanya berfokus pada urusan keagamaan, tetapi juga pada perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan.
Gus Menteri menjelaskan bahwa semangat kebangsaan para santri begitu kuat, bahkan melebihi kecintaan mereka pada diri sendiri.
“Nilai kebangsaan yang dimiliki santri tidak boleh diragukan. Mereka siap berkorban demi negeri,” ujarnya, saat membuka Gebyar Expo Kemandirian Pesantren 2024 di Trans Mall, Bandung, Jawa Barat, Kamis, 10 Oktober 2024.
Dalam sejarahnya, lanjut Menag, Nahdlatul Wathan menjadi motor penggerak yang menginspirasi kaum santri untuk bangkit melawan kolonialisme. Gerakan ini menegaskan bahwa nasionalisme dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Cinta pada agama juga berarti mencintai pada tanah air.
“Santri menunjukkan bahwa perjuangan membela negara merupakan bagian dari kewajiban keagamaan,” katanya.
Gudang ide
Gerakan kedua, Taswirul Afkar, didirikan pada 1918 dan menjadi wadah bagi para santri untuk mengembangkan ide-ide besar dan membentuk pemikiran kritis.
Dalam Bahasa Arab, “Taswirul Afkar” berarti “Visualisasi Pemikiran.” Di sini, santri tidak hanya ditempa untuk memahami agama, tetapi juga dilatih untuk menjadi pemikir yang aktif dalam berbagai diskursus sosial, politik, dan keagamaan.
“Taswirul Afkar adalah tempat ide-ide santri tentang bangsa ini lahir dan berkembang. Mereka bukan hanya pendakwah, tapi juga pemikir yang ikut membentuk wajah bangsa ini,” kata Gus Menteri.
Taswirul Afkar menjadi fondasi bagi terbentuknya lembaga pendidikan dan studi yang terus berkembang pesat, menjadikannya salah satu tonggak penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Banyak cabang lembaga pendidikan ini yang tersebar di berbagai kota, menunjukkan kontribusi santri dalam mencerdaskan bangsa melalui pemikiran-pemikiran segar.
Baca: Gus Menag: Program Kemandirian Pesantren telah Lahirkan 432 BUMP
Mental kemandirian
Sementara itu, gerakan yang ketiga, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Saudagar), lanjut Gus Menteri, didirikan pada tahun yang sama dengan Taswirul Afkar. Nahdlatut Tujjar berfokus pada pembangunan ekonomi umat melalui aktivitas perdagangan.
Gus Menteri menjelaskan bahwa peran ekonomi santri ini yang belum maksimal digarap oleh banyak pesantren. Padahal, menurutnya, salah satu alasan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah untuk menghidupkan kembali semangat kewirausahaan kaum santri.
“Gerakan ekonomi ini adalah salah satu kekuatan yang melahirkan NU, tetapi hingga kini belum maksimal digarap. Pesantren harus bisa mandiri secara ekonomi,” tegas Gus Yaqut.
Belajar dari Nabi Muhammad Saw yang juga seorang pedagang, Gus Menteri menekankan pentingnya mengembangkan perekonomian pesantren melalui program Kemandirian Pesantren. Program ini hadir untuk memperkuat para santri agar tidak lagi bergantung pada pihak luar.
“Dengan program Kemandirian Pesantren, kita ingin pesantren tidak lagi kebingungan soal biaya operasional. Mereka harus mampu menghidupi diri sendiri melalui usaha yang mandiri,” ujar Gus Yaqut.
Program yang diluncurkan pada 2021 ini telah membuahkan hasil nyata. Sebanyak 432 badan usaha baru telah terbentuk di lingkungan pesantren, dan sebanyak 3.600 pesantren telah menerima bantuan inkubasi bisnis. Program ini tidak hanya memberikan modal usaha, tetapi juga pendampingan untuk memastikan pesantren mampu menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan.
Baca: Sejarah NU, Seabad Riwayat Perlawanan Ulama Indonesia
Revitalisasi gerakan
Munculnya Program Kemandirian Pesantren ini, menurut Gus Menteri, adalah upaya revitalisasi dari Nahdlatut Tujjar.
“Kita ingin kembali menghidupkan gerakan para saudagar ini, agar pesantren bisa berkontribusi lebih besar dalam membangun ekonomi umat dan bangsa,” ungkapnya.
Kemandirian ekonomi yang diharapkan dari program ini tidak hanya berdampak pada lingkungan pesantren, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian nasional. Produk-produk unggulan pesantren yang dipamerkan dalam Gebyar Expo Kemandirian Pesantren menjadi bukti keberhasilan program ini dalam mengangkat daya saing ekonomi pesantren.
Dari 55 booth yang dipamerkan, 51 di antaranya memamerkan berbagai produk hasil usaha mandiri pesantren.
Baca: Pameran Komite Hijaz Perkuat Tapak Sejarah NU
Mandiri dan berdaya saing
Gus Menag menekankan bahwa pesantren harus terus mengembangkan peran mereka, tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam pengembangan ekonomi yang mandiri.
“Pesantren tidak boleh lagi bergantung pada siapa pun. Pesantren harus kuat secara ekonomi agar dapat mendukung dakwah dan pendidikan mereka secara berkelanjutan,” katanya.
Melalui Program Kemandirian Pesantren, Gus Menteri berharap pesantren dapat terus berkembang, menjadi pusat pendidikan, pusat pemikiran, sekaligus pusat ekonomi yang berdaya. Sebagai motor penggerak utama dalam pendidikan Islam di Indonesia, pesantren memiliki potensi besar untuk membangun bangsa, tidak hanya secara moral dan spiritual, tetapi juga dalam bidang ekonomi.
“Pesantren yang kuat secara ekonomi akan memberikan kontribusi lebih besar bagi bangsa ini. Ini adalah komitmen kita, agar pesantren bisa berdaya, mandiri, dan mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional,” pungkas Gus Menteri.