Ikhbar.com: Pelaksanaan haji akrab dengan istilah kloter, singkatan dari kelompok terbang. Yakni, sebuah sistem pengelompokan jemaah haji Indonesia berdasarkan jadwal penerbangan pesawat udara menuju Arab Saudi.
Istilah kloter muncul seiring moda transportasi udara digunakan pertama kali oleh jemaah haji Indonesia pada 1952 silam. Jauh sebelumnya, mereka mesti menghabiskan masa berbulan-bulan untuk bisa sampai di Tanah Suci dengan menempuh perjalanan menggunakan kapal laut.
Kelas
Sejarawan Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menyebut, masyarakat Indonesia sudah mengenal kewajiban ibadah haji sejak dekade pertama penyebaran Islam di Jawa dan Sumatra. Bagi yang telah dianggap memiliki kemampuan, mereka berhaji dengan mengarungi laut menuju Jeddah.
“Kapal haji dan jemaah meninggalkan pelabuhan di Indonesia dan Singapura paling cepat pada Jumadil Awal atau paling lambat pada bulan Syakban. Sedangkan jemaah terakhir meninggalkan Indonesia pada bulan Zulkaidah,” tulis Shaleh, dikutip pada Rabu, 31 Mei 2023.
Di atas kapal, ada jemaah yang menempati dek kategori laagste klasse alias kelas rendah. Sementara bagi mereka yang termasuk hoogste klasse (kelas elite) bisa menempati kamar di dalam kapal.
“Selain kedua kategori jemaah haji itu, kapal haji diperbolehkan mengangkut penumpang biasa, bukan jemaah haji (gewone passagier), yang menempati kelas tersendiri,” tulis Shaleh masih dalam buku yang sama.
Sesuai dengan ordonansi haji yang diberlakukan Pemerintah Kolonial Belanda di era 1890-an, dek khusus kapal haji dirancang dengan ketinggian sekurang-kurangnya 1,80 meter, lengkap dengan ventilasi dan penerangan yang cukup. Untuk kebutuhan cuci dan kakus, air bersih di dalam kapal biasanya disediakan untuk 1.000 orang. Sedangkan fasilitas jamban disediakan dua unit per 50 orang.
“Sebelum berangkat ke Jeddah, kapal diperiksa de Comissie tot Keuring van Pelgrimsschepen untuk mendapatkan sertifikat layak berlayar. Setelah kapal tiba di stasiun karantina Kamaran, persyaratan diteliti kembali oleh Internationale Gezondheidsraad yang berkedudukan di Iskandaria,” tulis dia.
Baca: Memaknai Haji ala Sufi
Jalur dan tarif
Sejak 1873, kapal haji yang berlayar dari Indonesia melewati semenanjung Melayu menuju India terlebih dahulu harus singgah di stasiun karantina Laut Merah. Sesuai konvensi Paris 1903, fasilitas stasiun karantina ini diusahakan oleh pemerintah Turki. Namun operasionalnya ditangani Inggris, Prancis, dan Belanda dalam organisasi Internationale Gezondheidsraad.
Jalur yang ditempuh kapal-kapal haji masa kolonial dipengaruhi atas prosedural bisnis transportasi yang mereka jalankan. Adanya persyaratan layak berlayar serta pemeriksaan yang ketat bagi calon haji menimbulkan kebingungan serta tak jarang berujung pada perlakuan yang tidak ramah.
“Kapal Kota Agung berangkat dari Belawan membawa jemaah haji kira-kira 750 orang. Sampai di Sabang sekalian jemaah disuruh turun dan berkumpul dalam satu gedung seperti kuli-kuli kontrak antre pagi-pagi untuk bekerja ke kebun,” tulis Pewarta Deli edisi 3 Desember 1910, sebagaimana dikutip Shaleh.
Dalam 30 tahun terakhir abad 19, terdapat 4.000 hingga 8.000 orang berangkat ke Makkah di setiap tahunnya. Indonesia menyumbang 15% dari total orang asing yang mendarat di Hijaz.
Konsulat Belanda di Jeddah menerapkan biaya yang mesti dikeluarkan calon haji sebesar f82,99 (gulden) per orang. Angka itu dihitung untuk perolehan tiket pulang-pergi. Sementara bagi yang hanya ingin membeli per sekali jalan bisa dikenakan biaya hingga f322,99.
“Pada 1881, dari keseluruhan pendapatan konsulat sebesar USD11.868, lebih dari separuhnya alias USD8.694 berasal dari biaya visa jemaah haji,” tulis sejarawan Asia Tenggara Anthony Reid, dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2010).