Ikhbar.com: Melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci membutuhkan kekuatan fisik sekaligus materi yang tidak sedikit. Namun, jika tanpa disertai pemahaman hikmah dan pesan dalam rangkaian ibadah tersebut, niscaya prosesi haji yang dilakukan akan tampak seperti tidak bermakna alias terlihat sebagai ritual kosong tanpa makna.
Guna mendapatkan penghayatan lebih mendalam, prosesi ibadah haji juga perlu dipahami secara perspektif sufistik. Pasalnya, penafsiran para sufi tak melulu menjelaskan makna lahiriyah, tapi juga batiniyah.
Lokasi ka’bah
Satu di antara ayat yang berkaitan dengan haji adalah QS. Ali Imran: 96. Allah Swt berfirman:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَ هُدىً لِلْعالَمينَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Mekah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Dalam Lathaiful Isharat, Imam Al-Qushairi menjelaskan, makna mendalam dari rumah yang dijadikan tempat tawaf adalah hati. Dia menegaskan segala tujuan dari hati manusia harus berfokus pada Allah swt. Dengan demikian, ka’bah atau Baitullah tidak sekadar dimaknai secara lahir. Akan tetapi, juga dimaknai secara simbolik yaitu sebagai hati manusia.
Senada dengan Imam Al-Qushairi, Mansur Al-Hallaj menjelaskan dalam Al-Tawasin bahwa letak ka’bah berada di hati setiap Muslim. Hati itulah yang menurutnya simbol dari rumah Allah Swt.
“Aku berhaji di rumahku. Di sana kutemukan ka’bahku,” ujar ulama sufi asal Baghdad, Irak itu.
Baca: Nabi Ibrahim Melacak Ka’bah
Perjalanan spiritual
Berhaji merupakan perjalanan fisik sekaligus spiritual. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 97. Allah Swt berfirman:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Di dalam rumah itu terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), maka ia akan menjadi aman; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Syekh Najmuddin Al-Kubra dalam Al-Takwilat al-Najmiyyah fi al-Tafsir al-Ishari al-Sufi menegaskan, ayat tersebut memuat makna inti dari tujuan berhaji.
Ulama sufi asal Persia itu menyebutkan bahwa Allah menjadikan ka’bah dan haji hanya untuk-Nya. Adapun rukun-rukun haji dan manasik hanyalah sebuah isyarat tersembunyi, yaitu tanda bagi manusia untuk melakukan perjalanan fisik-spiritual.
Ia juga menjelaskan rahasia rukun-rukun haji. Menurutnya, ihram bertujuan melepaskan diri dari jeratan dunia dan menyucikan manusia dari akhlak yang tercela.
Sementara wukuf di Arafah diartikan sebagai pengakuan kelemahan hamba kepada Tuhannya dan berjanji menjadi hamba yang paling hamba. Adapun tawaf tujuh putaran merupakan upaya untuk mencapai tujuh tingkatan spiritual.