Ikhbar.com: Halalbihalal menjadi istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia sejak lampau. Dalam Ensiklopedi Islam (2000), istilah ini diklaim sudah ada sejak awal Kemerdekaan RI, sekira periode 1940 hingga 1950-an.
Saiful Hakam dalam Halal Bi Halal, A Festival Of Idul Fitri And It’s Relation With The History Of Islamization In Java (2015) menyebut, halalbihalal diambil dari bahasa Arab, yaitu halal (kalimat isim), bi (kalimat harf), dan halal (kalimat isim). Namun, istilah tersebut justru tidak dikenal dalam bahasa Arab karena secara konstruksi tidak memenuhi kaidah kebahasaan.
Istilah ini pun tidak berlaku di negara lainnya. “Tradisi ini sangat mungkin berhubungan dengan tradisi sungkeman di Jawa,” tulisnya, dikutip pada Rabu, 26 April 2023.
Masih dalam buku yang sama, Saiful menjelaskan bahwa aktivitas yang biasa digelar dalam rangkaian perayaan Idulfitri tersebut lazim ditandai dengan aksi saling temu, berjabatan tangan, bermaaf-maafan, lalu makan bersama. Menurutnya, tujuan utama dari tradisi ini adalah menggantikan (hubungan sosial) yang haram menjadi halal.
Dalam praktiknya, halalbihalal menjadi momen perekat kekeluargaan dan pertemanan. Para perantau kembali ke kampung halaman untuk melepas rindu bersama handai taulan dan kawan lama.
Guna memperoleh keutamaan saat halalbihalal, seseorang hendaknya menjaga tiga anjuran Rasulullah Muhammad Saw tentang pentingnya sikap dalam mempererat persaudaraan. Yakni:
Saling mendoakan melalui salam
Islam menganjurkan untuk mengucapkan salam kepada sesama Muslim. Lebih-lebih kepada orang yang telah dikenal atau teman.
Ucapan “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” merupakan doa seorang Muslim kepada muslim lainnya. Ucapan itu bermakna “Semoga keselamatan serta rahmat Allah dan juga keberkahannya terlimpah untukmu”.
Di lain pihak, lawan bicara wajib menjawab salam untuk mendoakan balik. Hal tersebut sebagaimana pernyataan Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhu al-Muhadzab:
وأما جواب السلام فهو فرص بالاجماع فان كان السلام على واحد فالجواب فرض عين وان كان على جمع فهو فرض كفاية.
“Menjawab salam hukumnya fardu (wajib) menurut ijmak (kesepakatan ulama). Apabila salam ditujukan kepada individu, maka hukumnya fardu ‘ain. Dan apabila ditujukan kepada suatu kelompok, maka hukumnya fardu kifayah.”
Selalu tersenyum
Ada ungkapan mengatakan “wajah adalah cerminan hati.” Wajah yang dihiasi senyum menandakan hati yang siap berdamai dan saling meleburkan dosa dalam momen halalbihalal.
Tersenyum adalah perbuatan yang makruf (kebaikan). Rasulullah Saw bahkan menganjurkan untuk tersenyum dalam setiap interaksi dengan sesama.
Nabi Saw bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنْ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ الْمَعْرُوفِ
“Janganlah engkau remehkan perkara makruf, berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah yang penuh senyum dan berseri, sebab itu bagian dari perkara yang makruf.”
Berjabat tangan
Tak afdal kiranya jika halalbihalal atau bermaafan tidak dilengkapi dengan jabat tangan. ‘Physical touch‘ berupa jabat tangan dapat mempererat hubungan antarsesama.
Dalam Al-Muwattha karya Imam Malik bin Anas, terdapat hadis riwayat ‘Ata bin Abi Muslim Abdullah Al-Khurasani. Rasulullah Saw bersabda:
تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبْ الشَّحْ
“Hendaklah kalian saling berjabat tangan, niscaya akan hilanglah kedengkian. Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya akan saling mencintai dan menghilanglah permusuhan.”
Selain itu, ada juga tiga hal yang penting dihindari dalam acara halalbihalal. Yaitu:
Mengumbar aib
Membicarakan aib, meskipun berupa kesalahan atau dosa masa lalu merupakan hal yang tidak baik. Membicarakan aib teman lama juga berpotensi akan merusak tujuan utama halalbihalal sebagai perekat tali persaudaraan.
Suatu hari, Rasulullah naik ke atas mimbar lalu menyeru dengan suara yang tinggi:
يا معشَرَ مَن أسْلَمَ بلِسانِه، ولم يُفْضِ الإيمانُ إلى قلبِه، لا تُؤْذُوا المُسلِمينَ، ولا تُعَيِّروهم، ولا تتَّبِعوا عَوْراتِهم؛ فإنَّه مَن تتَبَّع عَوْرةَ أخيه المسلِمِ تتَبَّع اللهُ عورتَه، ومَن تتَّبَع اللهُ عَورتَه يَفْضَحْهُ ولو في جَوفِ رَحلِه
“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya padahal iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin! Janganlah menjelekkan mereka! Jangan mencari-cari kekurangan mereka! Sebab, barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang Muslim, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kekurangannya, niscaya Allah akan membongkar aibnya dan mempermalukannya, walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi)
Nabi Saw juga bersabda:
مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه
“Barang siapa melepaskan kesusahan seorang Muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barang siapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Pamer
Halalbihalal juga kerap dinodai dengan aksi pamer alias riya. Tindakan tidak terpuji itu bisa berupa dalam bentuk menunjukkan kekayaan atau kesuksesan berkarier yang berpeluang menyakiti yang lain.
Dalam QS. Al-Baqarah: 264, Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Nabi Saw juga bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar (syirik terkecil). Para sahabat bertanya, ‘Apa itu syirik terkecil itu, wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Yaitu riya.” (HR. Ahmad)
Ghibah
Ghibah merupakan tindakan yang tak kalah bahayanya ketika dilakukan dalam momen halalbihalal. Ghibah, tidak hanya berpotensi merusak keakraban, tetapi juga menghapus peluang memperoleh pahala dan keutamaan di dalamnya.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Ghibah adalah ketika engkau menyebut saudara (Muslim)-mu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.”
Lantas, para sahabat bertanya, bagaimana jika pada saudaraku itu memang terdapat apa yang aku katakan?
Nabi menjawab:
إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَد اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika padanya terdapat apa yang engkau katakan maka engkau telah melakukan ghibah kepadanya, dan jika tidak terdapat padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah melakukan buhtan kepadanya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw juga bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barang siapa yang membela kehormatan dan harga diri saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat” (HR. Tirmidzi)