Ikhbar.com: Ramadan menjadi media tempaan bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaannya. Setelah Idulfitri, semangat beribadah itu tetap terjaga hingga di hari-hari biasanya.
Oleh sebab itu, dianjurkanlah puasa sunah selama enam hari dalam bulan Syawal. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)
Lantas, bagaimana jika seseorang masih memiliki utang puasa Ramadan sebab sakit, bepergian, dan sejenisnya? Apakah mesti mendahulukan qadha atau berpuasa Syawal?
Terkait itu, para ulama terbagi ke dalam tiga pandangan atau pendapat.
Pertama, para ulama fikih Mazhab Imam Abu Hanifah (Hanafi) berpendapat bahwa diperbolehkan bagi siapa saja untuk melaksanakan puasa sunah meskipun utang puasanya belum dilunasi.
Imam Al-Kasani dalam Al-Badai’ wa As-Shanai’ menegaskan bahwa kewajiban membayar utang puasa Ramadan itu berlaku alwajib ala at-tarakhi (kewajiban yang bisa ditunda karena memilik rentang waktu yang panjang dan longgar). Artinya, qadha puasa Ramadan tidak harus dikerjakan pada bulan Syawal. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa yang sakit dan berada dalam perjalan (lalu dia berbuka) maka dia (harus menggati puasa tersebut) pada hari-hari lainnya.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dalam ayat tersebut, Allah Swt tidak menyebutkan atau membatasi kesempatan qadha puasa Ramadan dalam wakt tertentu. Allah Swt hanya memerintahkan agar puasa yang ditinggalkan tersebut harus dibayar.
Sementara itu, istri Rasulullah Muhammad Saw, Siti Aisyah bercerita:
كان يكون عليّ الصوم من رمضان، فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان
“Saya pernah punya utang puasa Ramadan dan saya belum melunasinya kecuali di bulan Syakban.” (HR. Bukhari)
Pendapat kedua, ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i juga membolehkan seseorang untuk melaksanakan puasa sunah sebelum melunasi puasa wajib. Akan tetapi, hal seperti itu dinilai ma’a al-karahah (kurang disukai/kurang baik).
Para ulama menilai mengakhirkan perkara wajib dan mendahulukan yang sunah merupakan pola terbalik.
Ketiga, ulama Mazhab Hanbali melarang seseorang melaksanakan puasa sunah sebelum menuntaskan kewajiban melunasi utang puasa Ramadan. Bahkan sejumlah ulama menghukuminya haram.
Pendapat ini, berlandaskan pada hadis Nabi, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء لم يقضه لم يتقبل منه، ومن صام تطوعا وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنه لا يتقبل منه حتى يصومه
“Siapa yang mendapati Ramadan dan dia masih mempunyai (utang) kewajiban berpuasa darinya yang belum dia penuhi, maka tidak diterima amalan puasanya. Dan barang siapa yang berpuasa sunah sedangkan dia masih mempunyai utang puasa Ramadan yang belum dilunasi, maka tidak diterima puasa sunahnya. (HR. Ahmad)