Ikhbar.com: Ramadan telah berlalu, bulan Syawal pun datang. Meski begitu, bulan pengganti Ramadan ini bukan berarti tanpa keutamaan. Selain sebagai bulan kemenangan, Syawal juga menyimpan banyak kesunahan yang bisa diamalkan umat Islam guna menambah pahala dan nilai ketakwaan.
Salah satunya adalah menjalani puasa sunah Syawal selama enam hari. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ كَاَن كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang telah melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia mengikutkannya dengan berpuasa selama enam hari pada bulan Syawal, maka dia (mendapatkan pahala) sebagaimana orang yang berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)
Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang masih memiliki utang puasa Ramadan? Bolehkah menggabungkan kewajiban qadha puasa dengan puasa sunah, termasuk puasa Syawal?
Para ulama menyebut kebiasaan ini dengan tasyrikun niat (menggabungkan niat).
Syekh Abdullah Sa’id Al-Hadhrami dalam Idah al-Qowa’idul al-Fiqhiyyah menyebutkan ada beberapa ketentuan mengenai penggabungan niat ibadah fardu dengan sunah.
Menurut Al-Hadhrami, keduanya bisa dihukumi sah. Seperti halnya menggabungkan niat mandi junub dengan mandi sunah sebelum berangkat salat Jumat dan niat puasa qadha dengan puasa Arafah.
Bisa juga hanya ibadah fardu yang dianggap sah. Hal itu seperti niat haji wajib dan sunah. Dan bisa juga hanya ibadah sunah yang dianggap sah. Contohnya adalah niat mengeluarkan zakat dan sedekah dengan segenggam beras. Dalam contoh ini sedekahlah yang dianggap sah karena takaran beras tidak memenuhi syarat zakat.
Terakhir, keduanya bisa sama-sama tidak sah. Contohnya adalah ketika seseorang makmum masbuq menggabungkan takbiratul ihram dengan takbir ruku’.
Terkait penggabungan niat puasa qadha dan Syawal, para ulama memiliki beragam pandangan.
Mengacu Fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar as-Syarif disebutkan, menggabungkan niat puasa enam hari di bulan Syawal dengan qadha Ramadan bisa menyebabkan hanya salah satu puasa yang dianggap sah. Pendapat ini datang dari ulama Mazhab Hanbali.
Kedua, puasa qadha yang digabung dengan puasa Syawal dianggap sah keduanya. Pendapat ini didukung oleh ulama Malikiyah dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
Ketiga, pendapat yang menghukumi tidak boleh menggabungkan dua niat. Pendapat ini didukung sebagian ulama Syafiiyah dan suatu riwayat ulama Hanabilah.
Namun, di sisi lain, Al-Khatib Asy-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj menegaskan, seseorang yang memiliki tangungan utang puasa Ramadan dianjurkan untuk mengqadhanya sesegera mungkin. Setelah itu, maka barulah ia boleh melanjutkan puasanya dengan puasa Syawal.
وَلَوْ صَامَ فِي شَوَّالٍ قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، هَلْ تَحْصُلُ لَهُ السُّنَّةُ أَوْ لَا؟ لَمْ أَرَ مَنْ ذَكَرَهُ، وَالظَّاهِرُ الْحُصُولُ. لَكِنْ لَا يَحْصُلُ لَهُ هَذَا الثَّوَابُ الْمَذْكُورُ خُصُوصًا مَنْ فَاتَهُ رَمَضَانُ وَصَامَ عَنْهُ شَوَّالًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصْدُقْ عَلَيْهِ الْمَعْنَى الْمُتَقَدِّمُ، وَلِذَلِكَ قَالَ بَعْضُهُمْ: يُسْتَحَبُّ لَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنْ يَصُومَ سِتًّا مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ لِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ قَضَاءُ الصَّوْمِ الرَّاتِبِ اهـ.
“Kalau seseorang mengqadha puasa, berpuasa nazar, atau berpuasa lain di bulan Syawal, apakah mendapat keutamaan sunah puasa Syawal atau tidak? Saya tidak melihat seorang ulama berpendapat demikian, tetapi secara zahir, dapat. Tetapi memang ia tidak mendapatkan pahala yang dimaksud dalam hadis khususnya orang luput puasa Ramadhan dan mengqadhanya di bulan Syawal karena puasanya tidak memenuhi kriteria yang dimaksud. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa dalam kondisi seperti itu ia dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Zulkaidah sebagai qadha puasa Syawal.”
Alhasil, bisa disimpulkan bahwa seseorang lebih dianjurkan untuk memisah atau tidak menggabungkan pelaksanaan dua ibasah tersebut. Hal ini dianggap lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan ulama.