Ikhbar.com: Berakhlak yang baik tidak hanya penting dilakukan kepada sesama manusia, melainkan juga terhadap lingkungan. Itulah makna dari manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkan potensi alam raya sekaligus diamanatkan untuk melestarikan lingkungan di sekitarnya.
Demikian disampaikan ulama ahli tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab saat menyampaikan tausiah dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Pondok Pesantren Pasca Tahfiz Bayt Al-Qur’an, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Jakarta, pada Rabu, 20 September 2023, kemarin.
“Akhlak ada banyak, ada akhlak kepada Allah. Misalnya jangan sebut nama Allah saat mau ke kamar mandi, atau jangan teriak-teriak dengan menyebut nama Allah,” ujar Prof. Quraish.
Selain itu, ada juga akhlak kepada Rasulullah Saw. “Contohnya, begitu disebut namanya, kita mengucapkan selawat. Di dalam Al-Qur’an juga tercantum ‘jangan angkat suara lebih keras dari Nabi,” katanya.
“Akhlak yang lainnya tentu jelas kepada bapak dan ibu kita,” tambahnya.
Baca: Beda Akhlaq, Khalq, dan Khuluq
Akhlak kepada hewan dan lingkungan
Lebih lanjut, Prof. Quraish menyebut sikap berlaku baik juga harus diterapkan kepada binatang atau makhluk hidup lainnya.
“Ketika kita benci kepada binatang dan hendak membunuhnya, maka harus melihat konteks. Misalnya, kalajengking yang berpotensi mencederai kita, maka kita boleh bunuh, tapi ada akhlaknya, yakni membunuh dengan sekali, itu lebih baik ketimbang mencincang-cincang hewan tersebut,” ucap ulama alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo itu.
Penulis Tafsir Al-Mishbah itu menjelaskan, akhlak berikutnya perlu diaplikasikan kepada lingkungan.
“Tuhan itu sudah menyiapkan semuanya untuk manusia. Maka, ada ayat yang mengatakan ‘walakum fil ardhi mustaqarrun wa mata’un ilaa hiin,” katanya.
Menurutnya, “mustaqarrun” dalam QS. Al-Baqarah: 36 itu berarti sebuah tempat. Sementara “wa mata’un” adalah fasilitas yang ada di dalamnya.
“Enak nih, sudah ada hotel, sudah ada isinya. Ibaratnya seperti itu. Lantas tuan rumahnya siapa? Ya Tuhan lah sang pemilik itu semua,” jelas Prof. Quraish.
Ia mengatakan, Allah menciptakan bumi untuk manusia itu dengan kondisi yang sudah baik. Hal itu seperti yang tercantum dalam QS. Al-Mulk: 15. Allah Swt berfirman:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Ayah dari presenter kondang, Najwa Shihab itu menjelaskan, kata “dzalulan” artinya sifat binatang yang jinak. “Itu makanya manusia tidak merasakan pergerakan bumi yang sebenarnya terjadi setiap saat,” jelasnya.
Contoh lainnya terdapat pada QS. Al-Anbiya: 32. Allah Swt berfirman:
وَجَعَلْنَا السَّمَاۤءَ سَقْفًا مَّحْفُوْظًاۚ وَهُمْ عَنْ اٰيٰتِهَا مُعْرِضُوْنَ
“Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, tetapi mereka tetap berpaling dari tanda-tandanya (yang menunjukkan kebesaran Allah, seperti matahari dan bulan).”
Prof. Quraish menjelaskan, ayat tersebut sebagai bukti bahwa langit memiliki atap untuk memelihara isi bumi.
“Misalnya, jika ada meteor datang dari luar, dia tak tembus bumi. Sinar matahari disaring sehingga tidak begitu panas. Itu diatur Tuhan untuk tamunya,” tuturnya.
“Kalimat ‘kuluu min rizqihi‘ itu artinya silakan makan apa saja yang ada di bumi, tetapi jangan berlebihan,” imbuhnya.
Baca: Bencana Lahir Hasil Perceraian Manusia dengan Alam
Jangan berlebihan dan menimbulkan kerusakan
Ia mengimbau kepada umat Muslim untuk menjadi tamu Allah yang baik. Jangan sampai melakukan tindakan yang dapat merugikan manusia lainnya.
“Misalnya ia dengan serakah menghabiskan makanan, tidak mikir orang lain. Itu namanya tamu yang buruk,” kata dia.
Menurutnya, di bumi ini ada banyak yang boleh dimakan dan dimanfaatkan manusia ketimbang yang dilarang.
“Yang dilarang itu sedikit, itu pun untuk kemaslahatan bersama,” ujar Prof. Quraish.
Sebagai tamu, lanjut dia, manusia dilarang merusak fasilitas milik tuan rumah. Jika demikian, maka bisa dipastikan bahwa tamu tersebut memiliki attitude yang buruk.
“Makanya, yang merusak lingkungan itu namanya tamu kurang ajar,” tegasnya.
Ia menegaskan, Tuhan akan senang jika manusia mampu memelihara isi bumi dengan baik.
“Nimatilah makanan yang enak, tetapi ‘Kuluu fil ardhi halalan thayyiban,” jelas dia.
Menurutnya, kata “thayyiban” artinya proporsional. Akan tetapi, pada kenyataannya penyakit manusia itu selalu isyraf (berlebihan). Dalam QS. Al-A’raf: 31 Allah swt berfirman:
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan,”
“Misalnya masak makanan banyak, tidak habis lalu dibuang. Itu juga termasuk perbuatan merusak lingkungan,” jelas Prof. Quraish.
Kerusakan yang akan terjadi pada bumi ini menurut Prof. Quraish sudah diprediksi Al-Qur’an sejak lama. Seperti yang tercantum dalam QS. Ar-Rum: 41. Allah Swt berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ia menjelaskan, lafal “Liyudziqahum” memiliki makna “hanya sebagian dari akibat perbuatan mereka.”
“Liyudziqahum itu artinya mencicipi. Dalam ayat itu redaksinya bukan liyushibahum, jika mennggunakan redaksi tersebut, maka habislah manusia di bumi ini,” terang dia.
Menurut Prof. Quraish, manusia bukanlah makhluk yang pertama menghuni bumi. Makhluk sebelumnya telah merusak alam dan digantikan manusia. Hal itu tergambar dalam QS. Muhammad: 38. Allah Swt berfirman:
ۗوَاِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْۙ ثُمَّ لَا يَكُوْنُوْٓا اَمْثَالَكُمْ ࣖ
“Jika kamu berpaling (dari jalan yang benar), Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan (durhaka) sepertimu.”
“Tugas kita itu sebagai khalifah, artinya pengganti. Banyak penafsiran ulama terkait khalifah, salah satunya ada yang mengatakan ia sebagai mandataris Tuhan untuk memakmurkan bumi,” ucapnya.
“Itu makanya ada yang mengatakan manusia sebagai pengganti makhkuk terdahulu,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, selain sebagai Pencipta, Tuhan juga memelihara. Maka Dia juga disebut Rabb yang berarti tarbiyah.
“Tarbiyah itu bukan mendidik, tetapi tarbiyatu dawaajin yang artinya memelihara, mengembangkan, hingga dia mencapai tujuan penciptaannya,” ujar dia.
“Contohnya, laut. Di sana ada ikan, mutiara, tugas manusia itu memelihara dan menjaganya. Jika tidak mampu, maka dia tidak layak menyandang status khalifah,” tandasnya.