Ikhbar.com: Perusahaan media asal Inggris, We Are Social merilis jumlah durasi penggunaan media sosial (medsos) warga Indonesia. Penelitian bertajuk Digital 2023: Indonesia itu menunjukkan bahwa rata-rata warganet di Tanah Air menghabiskan waktu berselancar internet hingga 7 jam 42 menit/hari.
Medsos, menjadi sasaran yang paling digemari pengguna asal Indonesia. Dalam laporan itu disebutkan, mereka mampu menghabiskan rata-rata 3 jam 18 menit di setiap harinya.
“Ada 167 juta pengguna medsos di Indonesia. Selama 3 jam 18 menit sehari, pengguna medsos paling sering menggunakan layanan WhatsApp (92,1 persen), Instagram (86,5 persen), Facebook (83,8 persen), TikTok (70,8 persen), Telegram (64,3 persen), dan X -sebelumnyaTwitter (60,2 persen),” tulis laporan tersebut, dikutip pada Ahad, 27 Agustus 2023.
Baca: Matinya Kepakaran, Tantangan Baru Pemberantasan Hoaks di Indonesia
Doomscrolling, apa itu?
Data tersebut nyaris memastikan bahwa sebagian besar warganet Indonesia pernah mengalami doomscrolling. Fenomena ini muncul ketika seseorang merasa ingin mencari tahu lebih banyak tentang isu-isu yang tengah dihadapi.
Dikutip dari Halodoc, doomscrolling lebih berisiko dialami seseorang yang tengah mengalami gangguan mental tertentu, seperti gangguan kecemasan, panik, stres pascatrauma (PTSD), obsesif kompulsif (OCD), dan fobia sosial.
“Orang yang sering melakukan doomscrolling bisa menjadi sering stres, tertekan, terisolasi dan kesepian, hingga paranoid terhadap hal-hal yang ada di sekitar. Hal ini tentu bisa mengganggu aktivitas sehari-hari hingga menurunkan kualitas hidup,” tulis Halodoc.
Tak hanya itu, berbagai riset juga telah membuktikan bahwa kebiasaan telalu sering “mengonsumsi” berita buruk dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami berbagai gangguan mental, seperti gangguan kececemasan dan depresi, dan juga penyakit fisik, seperti tekanan darah tinggi, insomnia, hingga penyakit jantung.
Baca: Bagaimana Islam Membahas Kesehatan Mental? Ini Penjelasan Nyai Rihab Said Aqil
Cara terhindar doomscrolling menurut Islam
Depresi dan gangguan kecemasan jadi risiko utama yang berpotensi diidap pengguna internet doomscrolling. Jauh sebelum teknologi internet berkembang pesat, kedua isu ini memang telah banyak disinggung para ahli jiwa, termasuk para ilmuwan Muslim.
Salah satunya adalah Ibnu Sina. Menurutnya, ketenangan batin merupakan pangkal dari kesehatan fisik.
الوهم نصف الداء، والاطمئنان نصف الدواء، والصبر أول خطوات الشفاء
“Kesalahpahaman (yang menimbulkan kecemasan) adalah separuh dari sumber penyakit. Ketenangan hati adalah separuh dari obat. Kesabaran adalah permulaan dari langkah menuju kesembuhan.”
Islam menyebut ketenangan akan mudah dicapai melalui sejumlah pendekatan, salah satunya adalah lewat teologis. Dalam QS. Ar-Ra’d: 28, Allah Swt berfirman:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”
Pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. KH. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan, orang yang beriman hatinya akan damai dan tenteram. Sementara zikir bisa menenangkan hati seseorang.
“Zikir di sini maksudnya adalah mengingat Allah, baik melalui hati maupun lisan. Dengan zikir seseorang akan keluar dari rasa ragu, bimbang dan kekhawatiran. Oleh karena itu, seorang Muslim harus menanamkan zikir dalam kehidupan sehari-hari,” tulis pendiri Pusat Studi Al-Qur’an Jakarta itu.
Lebih lanjut, Prof. Quraish menyebut bahwa kehidupan mewah bukan jaminan mendapatkan ketenteraman hati. Hal itu baru dapat dirasakan jika hati yakin dan percaya bahwa ada sumber yang tidak terkalahkan yang selalu mendampingi dan memenuhi harapan.
Imam Al-Sa’di dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan juga menegaskan bahwa zikir adalah obat penenang yang mujarab.
“Maksudnya, zikir dapat menghilangkan kegundahan, kegalauan, keguncangan, dan keraguan hati. Dengan zikir pula hati akan menjadi tentang dan merasakan kenikmatan,” jelas Al-Sa’di.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan, manusia sebagai hamba Allah harus bisa mengambil dari lafaz “Allah,” yakni kesadaran tentang kebesaran Allah, kekuasaan-Nya yang mutlak, tiada terbatas, pengetahuan dan pengaturan-Nya yang menyeluruh bagi semua makhluk.
“Selain itu, seorang Muslim juga harus mengaitkan seluruh jiwanya dengan Allah, tidak memandang kepada selain-Nya, tidak berharap kepada selain-Nya, dan tidak takut kepada selain-Nya,” tulis Al-Ghazali.