Ikhbar.com: Zuhud bagian dari tasawuf. Ajaran ini kerap dianggap sebagai prinsip membenci segala kesenangan dunia. Namun, pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, terlebih jika dikaitkan dengan konteks modern saat ini.
Amin Syukur dalam Zuhud di Abad Modern (2009) menegaskan, paktik zuhud pada masa Rasulullah Muhammad Saw tidak diaplikasikan dengan mengisolasi diri atau memberi jarak dengan kebutuhan duniawi. Akan tetapi, zuhud justru dimaknai sebagai daya aktif untuk menggeluti kehidupan dunia sebagai bekal menuju akhirat.
“Jadi, Rasulullah dan sahabatnya tidak memisahkan secara dikotomik antara dua kehidupan dunia dan akhirat, melainkan satu sama lain mempunyai hubungan. Bahkan Nabi menyebut bahwa dunia adalah ladang akhirat,” tulis Amin.
Baca: Apa itu NPD? Ini Kiat Cegah Kepribadian Narsistik menurut Al-Qur’an
Ayat-ayat zuhud
Kata “zuhud” memang tidak secara spesifik tertulis di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, beberapa ayat ada yang berkaitan dengan ajaran tersebut. Dalam QS. Al-Qashsash: 77, misalnya, Allah Swt berfirman:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Syekh Sayyid Quthub dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an menegaskan, perintah pada ayat tersebut tercermin keseimbangan manhaj Ilahi yang lurus. Artinya, jalan hidup yang menggantungkan hati orang yang memiliki harta dengan akhirat dan tidak melarangnya untuk mengambil sebagian harta dalam kehidupan dunia.
“Harta itu juga anugerah dari Allah, maka terimalah dengan berbuat baik, berbuat baik ketika menggunakannya, berbuat baik dengan sesama manusia, dan berbuat baik dengan bersyukur,” jelas Sayyid Quthub.
Kemudian, dalam QS. Al-Hadid: 23, Allah Swt berfirman:
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
“(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menyebut bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa setiap hal yang terjadi di dunia merupakan ketetapan, qada dan qadar dari Allah.
“Kemudian ayat 23 menjelaskan bahwa sebaik dan seburuk ‘bagian’ yang diterima oleh seseorang itu tetap dari Allah,” jelasnya.
Dengan demikian, Syekh Az-Zuhaili menegaskan bahwa zuhud ialah orang yang menerima dengan lapang dada ketentuan dari Allah. Praktiknya adalah tidak larut sedih ketika menghadapi takdir buruk dan tidak terlampau bahagia jika diberi takdir baik.
Baca: Kitab Hikam al Hukama wa al Falasifah, Mahakarya Buya Husein Peredam Nafsu dan Amarah
Ihwal zuhud juga tertera dalam QS. Al-Hadid: 20, Allah Swt berfirman:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Imam Al-Qurthubi dalam Jami’ al-Ahkam al-Qur’an mengungkapkan bahwa hakikat manusia yang tertipu dengan dunia adalah mereka yang tidak beriman kepada Allah. “Sementara bagi orang-orang yang beriman mereka menjadikannya sebagai sarana untuk memasuki surga-Nya,” jelas Imam Al-Qurthubi.