Ikhbar.com: Bagi banyak orang, bekerja hanyalah rutinitas harian untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun, dalam perspektif Islam, bekerja bisa menjadi lebih dari sekadar kewajiban duniawi. Terlebih bagi seorang buruh, setiap tetes keringat yang jatuh adalah sebuah bentuk pengabdian. Dengan niat yang benar, bekerja bisa menjadi sebuah ladang ibadah yang terus mengalirkan kebaikan.
Di balik kerasnya pekerjaan, ada dimensi spiritual yang sering kali tak terlihat, tetapi sangat berarti. Apa yang tampaknya hanya sebuah pekerjaan biasa, sesungguhnya bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt jika dilakukan dengan niat yang ikhlas.
Baca: Ayat-ayat Keadilan bagi Kaum Buruh
Bekerja sebagai jalan ibadah
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menyatakan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah amal dengan derajat yang sangat tinggi di hadapan Allah Swt. Al-Ghazali menggarisbawahi pentingnya niat yang lurus, bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada yang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk diri sendiri dan keluarga memiliki nilai yang luar biasa. Bahkan, dalam kerja keras seorang buruh untuk menghidupi keluarganya, ada nilai ibadah yang sangat mulia. Dalam pandangan ini, kerja bukan sekadar untuk mendapatkan upah, tetapi lebih dari itu, sebuah perjalanan spiritual yang terus berlangsung, meskipun kadang tak disadari oleh mereka yang melakukannya.
Namun, ini bukan sekadar tentang bekerja untuk diri sendiri. Dalam Islam, bekerja adalah tentang memberikan kontribusi kepada masyarakat, menjaga kehormatan diri, dan memenuhi amanah dari Tuhan. Setiap pekerjaan, baik itu sebagai buruh pabrik, petani, atau pedagang, apabila dilaksanakan dengan niat yang benar, menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam juga memberikan contoh bagaimana bekerja adalah jalan spiritual. Nabi Muhammad Saw, meskipun sebagai pemimpin umat, tidak pernah meninggalkan pekerjaan sebagai penggembala kambing, bahkan ketika beliau sudah menjadi pemimpin. Demikian juga para sahabat, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang mengajarkan bahwa kesuksesan dalam pekerjaan bukan hanya soal kekayaan duniawi, tetapi juga soal keberkahan yang didapat dari bekerja dengan tangan sendiri.
Imam Hasan Al-Bashri, seorang ulama besar, juga menekankan pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang halal sebagai jalan beribadah. Menurutnya, bekerja keras demi menghindari ketergantungan pada orang lain akan jauh lebih terpuji karena sebagai bentuk ikhtiar dalam menjaga harga diri.
Hal ini menyimpulkan juga bahwa bekerja bukan sekadar untuk mencari uang, tetapi juga untuk menjaga martabat dan kehormatan. Dalam pandangan Islam, pekerjaan yang dilakukan dengan cara yang benar akan mendatangkan berkah dan pahala yang berlimpah.
Baca: Gerakan Buruh dalam Sejarah Islam
Zikir ikhlas
Kerja yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan adalah bentuk zikir yang terus berlangsung. Dalam ajaran tasawuf, pekerjaan tidak hanya dipandang sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Al-Fath al-Rabbani mengajarkan bahwa setiap aktivitas, meskipun tampak duniawi, jika dilaksanakan dengan niat untuk mencari keridaan Allah Swt, akan menjadi amal yang mulia.
Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukan dengan keikhlasan, akan dilihat oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Bekerja dengan penuh pengabdian, meskipun dalam keterbatasan, adalah sebuah bentuk zikir yang tak terucap dengan kata-kata. Meskipun mungkin tidak ada kalimat atau bacaan zikir yang terucap di bibir, tetapi hati yang ikhlas dan niat yang lurus sudah cukup menjadi penghubung antara hamba dan Sang Pencipta.
Buruh, yang sebagian besar waktunya habis untuk bekerja, tidak hanya berjuang untuk uang dan kehidupan dunia. Dalam setiap peluh yang menetes, dalam setiap langkah yang diambil, mereka sesungguhnya sedang berjalan di jalan spiritual yang sangat mendalam.
Para buruh mungkin tidak bisa membaca Al-Qur’an di saat bekerja, tetapi dengan melakukan pekerjaan penuh tanggung jawab, mereka sejatinya telah menjadikan profesi sebagai sarana zikir yang terus berlangsung.
Baca: Api Neraka tak Berani Sentuh ‘Tangan Buruh’
Seimbang dalam hak dan kewajiban
Namun, kerja yang dianggap sebagai ibadah ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan keadilan sosial. Islam mengajarkan bahwa dalam bekerja, hak-hak pekerja harus dihormati. Upah yang adil dan tepat waktu merupakan hak yang tak bisa ditawar.
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini mengingatkan umat Islam tentang pentingnya memberikan hak kepada pekerja. Tidak hanya memberi upah, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak mereka sebagai pekerja dilindungi dan dijaga.
Sistem kerja yang adil dan manusiawi adalah bagian dari tanggung jawab sosial yang harus dijaga. Keadilan dalam kerja adalah wujud nyata dari ajaran Islam yang mengutamakan kesejahteraan umat, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Rezeki, dalam pandangan Islam, tidak hanya tentang banyaknya materi yang dikumpulkan. Islam menekankan keberkahan dalam setiap usaha.
Allah Swt berfirman:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhulmahfuz).” (QS. Hud: 6)
Dalam ayat ini, Allah Swt menegaskan bahwa setiap makhluk, termasuk buruh, memiliki jatah rezekinya yang sudah ditentukan oleh-Nya. Oleh karena itu, kerja bukan hanya tentang mencari rezeki, tetapi juga tentang menerima ketetapan-Nya dengan penuh keyakinan dan tawakal. Dengan demikian, keikhlasan dalam bekerja dan menerima segala hasil usaha sebagai bagian dari takdir Allah adalah bentuk zikir yang terus menerus mengalir dalam setiap pekerjaan.
Baca: 5 Hadis tentang Buruh
Buruh, pahlawan yang tak ternilai
Di tengah dunia yang kadang penuh dengan ketidakadilan, buruh adalah pahlawan yang tak pernah disebutkan namanya dalam kisah-kisah besar. Akan tetapi, setiap hari mereka berjuang dengan tangannya, untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dalam setiap peluh mereka, ada doa yang terus mengalir, meskipun tak terdengar.
Buruh yang beriman adalah wujud nyata dari spiritualitas yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Sejatinya, mereka sedang mengajarkan dunia bahwa ibadah tidak selalu harus dilakukan di masjid, tetapi bisa dilakukan di setiap sudut kehidupan yang penuh dengan keikhlasan.
Pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk Tuhan, meskipun dalam bentuk yang sederhana, adalah jalan spiritual yang mulia. Setiap buruh yang bekerja dengan niat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, telah menapaki jalan ibadah yang penuh berkah. Mereka adalah pahlawan yang tidak hanya berjuang di medan dunia, tetapi juga di medan spiritual yang jauh lebih luas.