Ikhbar.com: Salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon sekaligus praktisi Tasawuf, KH Lukman Hakim menyebut puasa Ramadan sebagai waktu terbaik untuk bermesraan dengan Allah Swt. Selain itu, puasa juga dinilai mampu membersihkan hati seseorang dari residu-residu negatif.
“Puasa adalah rest area (pos peristirahatan di jalan tol) dalam perjalanan hidup. Seperti halnya kendaraan yang butuh istirahat agar mesinnya tidak panas. Manusia juga memerlukan jeda dari hiruk-pikuk dunia. Momentum ini menjadi kesempatan untuk menyucikan jiwa dan mendapatkan ketenangan,” ungkap Kiai Lukman dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertema “Puasa Para Sufi“ di Ikhbar TV, dikutip pada Sabtu, 15 Maret 2025.
Baca: Ikhbar TV Hadirkan Sinikbar Spesial Ramadan, Podcast Dakwah Kekinian untuk Gen Z
Tujuan puasa
Menurutnya, tasawuf mengajarkan bahwa ketenangan jiwa bisa dicapai dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Salah satu caranya adalah dengan mengendalikan nafsu dan memperbanyak ibadah selama Ramadan.
Kiai Lukman menekankan bahwa tujuan utama ibadah bukan hanya mendapatkan pahala, tetapi juga membangun kebiasaan spiritual yang berkelanjutan.
“Puasa disebut secara langsung dalam Al-Qur’an sebagai ibadah yang menuntun manusia menjadi “muttaqin,” yaitu orang-orang yang bertakwa. Dan orang bertakwa itu dijamin kehidupannya oleh Allah Swt, baik dari sisi kemudahan urusan, rezeki, maupun keberuntungan,” jelasnya.
Kiai Lukman juga menegaskan bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan solusi dalam setiap permasalahan hidupnya. “Siapa yang bertakwa, Allah Swt akan memberikan jalan keluar dari setiap masalahnya, akan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka,” tambahnya.
Meski demikian, Kiai Lukman menyebut bahwa tidak sedikit orang yang menjalani puasa hanya sebatas rutinitas tanpa benar-benar menyadari esensi ibadah tersebut.
“Banyak yang menjalani puasa, bahkan yang sudah terbiasa dengan puasa sunah seperti Senin-Kamis, tetapi tidak merasakan dampak spiritualnya. Setelah Ramadan, semangatnya kembali redup. Itu karena mereka belum memahami product knowledge dari puasa itu sendiri,” paparnya.
Kiai Lukman menganalogikan pemahaman tentang puasa seperti seseorang yang memanfaatkan perangkat teteknologi. Misalnya, anak kecil yang diberi handphone, kemungkinan besar, kata dia, perangkat tersebut hanya untuk bermain game.
“Tapi kalau diberikan kepada seorang dewasa atau ilmuwan, dia akan menggunakannya untuk penelitian dan menggali informasi dan teknologi. Begitu juga dengan puasa, jika kita tidak memahami hakikatnya, maka puasa hanya akan menjadi sekadar rutinitas tanpa memberikan dampak spiritual yang berarti,” katanya.
Baca: Sinikhbar: Puasa Para Sufi
Puasa sebagai sarana detoks jiwa
Kiai Lukman menyebut bahwa salah satu manfaat terbesar dari puasa adalah menyucikan hati dan pikiran. Dalam Islam, kata dia, puasa sering dikaitkan dengan konsep pembersihan diri.
“Puasa adalah super-cleaner (pembersih ekstra) bagi hati. Kalau ada noda di baju, kita bisa mencucinya dengan sabun. Tapi kalau nodanya membandel, kita perlu menggunakan pemutih dan air panas. Dalam konteks spiritual, puasa adalah alat pemutih dan air panas yang bisa membersihkan hati dari segala kotoran,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa keresahan yang dialami manusia sering kali berasal dari jiwa yang dipenuhi dengan berbagai residu atau kotoran negatif.
“Keresahan itu datang dari hati yang kotor. Seperti ruangan yang penuh debu, jika tidak dibersihkan, maka akan terasa sumpek dan tidak nyaman. Nah, puasa adalah alat yang bisa membersihkan debu-debu dalam hati kita,” tambahnya.
Kiai Lukman menekankan bahwa orang yang memahami puasa dengan benar, maka ia akan menemukan ketenangan jiwa yang luar biasa.
“Mereka yang benar-benar menjalani puasa dengan kesadaran penuh akan merasakan ketenangan batin. Sebab, puasa mengajarkan kita untuk fokus, untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan untuk tidak mudah terganggu oleh hal-hal duniawi yang sering kali hanya membuat hati gelisah,” katanya.
Baca: Tasawuf Talk: Apa Itu Tasawuf?
Kesederhanaan dalam Ramadan
Salah satu pesan yang tak boleh terlewatkan dari Ramadan adalah agar hidup penuh kesederhanaan. Menurut Kiai Lukman, kesederhanaan bukan berarti seseorang harus menahan atau menolak diri dari kenikmatan rezeki. Yang terpenting, kata dia, adalah memahami takaran yang pas dalam segala hal.
Untuk itu, puasa mengajarkan umat Muslim untuk mampu mengontrol diri, termasuk dalam hal makanan dan gaya hidup.
“Puasa itu seharusnya menuntun kita untuk tidak berlebihan dalam segala hal. Ironisnya, justru ketika Ramadan, tingkat konsumsi masyarakat meningkat drastis. Ini karena banyak orang masih belum memahami esensi kesederhanaan,” jelasnya.
Dalam dunia tasawuf, kesederhanaan bukan berarti hidup dalam kekurangan, tetapi hidup dalam keseimbangan. Kiai Lukman menjelaskan bahwa seorang Muslim boleh menikmati kehidupan dunia, asalkan tidak melampaui batas.
“Islam tidak mengajarkan kita untuk menderita. Justru kita dianjurkan untuk menikmati hidup, tetapi dengan takaran yang patut,” katanya.
“Misalnya, makanlah yang bergizi, berpakaianlah yang baik, tidurlah dengan nyaman. Tapi jangan berlebihan. Kesederhanaan itu bukan soal jenis makanan atau pakaian, tetapi soal takaran yang sesuai dengan kebutuhan,” jelasnya.
Kiai Lukman juga menekankan bahwa Ramadan bukanlah bulan untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, ibadah ini harus dijadikan momentum untuk lebih produktif.
“Puasa itu seperti mobil yang bebannya dikurangi. Semakin ringan bebannya, semakin cepat lajunya. Artinya, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan produktivitas, bukan sebaliknya,” tegasnya.
Karena itu, ia membantah anggapan sebagian orang yang menyebut bahwa puasa Ramadan identik dengan menurunnya semangat kerja.
“Banyak yang menjadikan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Padahal, sejarah mencatat bahwa banyak peristiwa besar dalam Islam terjadi di bulan Ramadan. Bahkan, banyak orang hebat yang justru melahirkan karya terbaiknya dalam kondisi puasa,” kata Kiai Lukman.
Kiai Lukman juga mengingatkan bahwa Ramadan adalah kesempatan untuk menata kehidupan sosial. Hal itu bisa dilakukan dengan cara sedekah dan lain sebagainya.
“Puasa mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap sesama. Jika kita bisa mengendalikan diri dari lapar dan haus, kita juga harus bisa menahan diri dari keserakahan dan egoisme. Ramadan seharusnya melahirkan pribadi yang lebih peduli dan empati terhadap orang lain,” tambahnya.
Sebagai penutup, Kiai Lukman mengajak umat Islam untuk menjadikan Ramadan sebagai momentum introspeksi diri.
“Jangan hanya fokus pada aspek fisik puasa, tetapi juga maknanya. Jadikan Ramadan sebagai waktu untuk belajar mengendalikan diri dan menata kehidupan dengan lebih baik,” pungkasnya.