Gerakan Buruh dalam Sejarah Islam

Sering kali peran mereka tidak tercatat dalam sejarah.
Salah satu gerakan buruh di Tunisia sedang melakukan aksi di saat Hari Buruh, 1 Mei. Dok GETTY IMAGES

Ikhbar.com: Buruh memainkan peran yang sangat penting dalam peradaban. Namun, sering kali peran mereka tidak tercatat dalam sejarah. Padahal, menelusuri peran buruh akan mengungkapkan sisi lain dari peradaban yang dibangun, bukan hanya dengan gagasan besar, tetapi juga dengan tangan-tangan yang bekerja keras.

Pada masa Mesir kuno, pekerja proyek piramida diperlakukan sebagai budak, meski beberapa catatan arkeologis menunjukkan mereka mendapat upah dan makanan. Dalam peradaban Yunani dan Romawi, buruh juga tenggelam di bawah bayang-bayang sistem perbudakan yang kejam.

Dalam konteks ini, kehadiran Islam membawa angin perubahan. Rasulullah Muhammad Saw tidak hanya membangun peradaban berbasis tauhid, tetapi juga meletakkan fondasi keadilan sosial yang melindungi hak-hak buruh.

Baca: Api Neraka tak Berani Sentuh ‘Tangan Buruh’

Menghargai peran

Ketika Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, pembangunan masyarakat tidak berhenti pada dakwah lisan. Pembangunan itu nyata, berlangsung di tanah, dengan tenaga kerja langsung.

Salah satu gambaran paling kuat dari masa ini adalah saat penggalian khandaq (parit) untuk mempertahankan Madinah. Kala itu, Nabi sendiri ikut mengayunkan cangkul dan mengangkat tanah, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hisyam dalam As-Sirah An-Nabawiyah.

Sejarawan era Kekhalifahan Abasyiyah, Al-Waqidi dalam Al-Maghazi mencatat, dalam peristiwa itu, para buruh tampil sebagai sosok Mukmin sejati yang berkontribusi membangun fisik sekaligus spiritual umat. Dikisahkan seorang pekerja menabrak batu besar yang tak mampu dihancurkan siapa pun, hingga Nabi sendiri memukulnya tiga kali hingga pecah, sambil memberikan kabar kemenangan.

Pembangunan Masjid Nabawi pun bukan proyek pemerintah formal, melainkan gerakan sukarela dari kaum Muhajirin dan Anshar. Nabi sendiri turut mengangkat batu sambil berdoa, “Ya Allah, tiada kehidupan sejati selain kehidupan akhirat. Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.”

Baca: Panduan Upah Buruh dalam Al-Qur’an

Dalam Islam, keterlibatan langsung dalam pekerjaan fisik menjadi bagian dari strategi dakwah membangun komunitas. Nabi Saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud As memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)

Ketika kekuasaan Islam meluas di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab Ra, kebutuhan untuk mengelola administrasi negara dengan lebih rapi menjadi keniscayaan. Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqat al-Kubra mencatat bahwa Khalifah Umar menetapkan sistem penggajian seragam berdasarkan peran pekerjaan, bukan asal-usul atau kedekatan pribadi.

Pada masa ini, istilah “buruh” mencakup berbagai profesi, termasuk pegawai administrasi dan penulis. Pendidikan tidak hanya diperuntukkan bagi orang merdeka. Banyak budak yang masuk Islam turut dididik dan berperan sebagai pekerja intelektual dan birokrat.

Dengan demikian, dalam Islam, kerja tidak terbatas pada tenaga fisik semata, melainkan mencakup juga kerja intelektual, meliputi kerja-kerja administrasi, pencatatan wahyu, dan pengelolaan negara.

Baca: 5 Hadis tentang Buruh

Cikal bakal

Walaupun istilah “serikat buruh” belum dikenal pada masa itu, semangat solidaritas pekerja sudah tumbuh kuat. Sosok Abu Dzar Al-Ghifari Ra menonjol sebagai suara yang membela keadilan sosial. Al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal menggambarkan Abu Dzar sebagai pengkritik keras akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang.

Dalam sebuah riwayat yang dicatat Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, Abu Dzar berkata, “Aku heran melihat orang yang tidak punya makanan untuk hari itu, tapi tidak memberontak dengan pedangnya.” Pernyataan ini mencerminkan kesadaran kelas yang tajam, bahkan mengandung seruan revolusioner melawan ketidakadilan.

Peneliti kontemporer seperti Thariq As-Suwaidan dalam Al-‘Amal wal-‘Ummal fil Islam (2001) mencatat bahwa cikal bakal prinsip serikat buruh sudah muncul kala itu, berupa seruan akan keadilan distribusi, partisipasi rakyat dalam pengawasan pemerintahan, dan perlindungan terhadap hak buruh.

Di kehidupan sehari-hari, para pekerja di Madinah membentuk jaringan solidaritas tidak resmi, saling membantu di antara sesama tukang kayu, tukang besi, dan pengrajin tali.

Menyelami sejarah Islam awal mengungkapkan bahwa buruh bukan sekadar aktor pinggiran. Mereka merupakan tulang punggung pembangunan masyarakat, dari membangun masjid, menggali parit, mendirikan pasar, hingga menopang solidaritas sosial.

Mereka bukan hanya tangan-tangan yang bekerja diam-diam, tetapi jiwa-jiwa yang menghayati kerja sebagai bagian dari ibadah. Islam menegaskan penghargaan itu melalui sabda Nabi Saw:

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ

“Rasulullah Saw ditanya, ‘Penghasilan apakah yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (HR Al-Hakim)

Di tengah dunia modern yang masih bergulat dengan isu keadilan sosial dan hak buruh, pelajaran dari masa lalu ini menjadi semakin relevan. Melihat kembali peran buruh dalam sejarah Islam bukan hanya soal penghormatan historis, melainkan juga sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang adil, manusiawi, dan berkeadaban.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.