Ikhbar.com: Ada kecenderungan menarik yang kerap dilakukan generasi Z, yakni ihwal kegandrungan kelompok kelahiran tahun 2000-an itu terhadap kalimat-kalimat singkat nan indah yang memuat unsur-unsur motivasi.
Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Baqarah Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Ny. Hj. Sheila Hasina Zamzami dalam “Seminar Santri Putri: Membangun Perempuan Berkarakter dan Berprestasi” yang digelar dalam rangka peringatan Haul Ke-34 KH Aqiel Siroj dan Sesepuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon.
“Tapi, kata-kata motivasi tanpa aksi hanya halusinasi,” ujar Ning Sheila, sapaan akrabnya, dikutip dari tayangan Youtube KHAS Kempek, Selasa, 22 Agustus 2023.
Di hadapan ribuan santri putri, Ning Sheila mengingatkan bahwa hal pertama yang dibutuhkan dalam upaya pencarian ilmu yang bermanfaat adalah niat. Namun, niat tersebut tidak akan berarti apa-apa jika tidak diterapkan melalui perilaku dan upaya yang sebanding.
“Niat yang kuat harus diwujudkan dengan ikhtiar,” katanya.
Keberkahan waktu
Ning Sheila menjelaskan, menjalani proses pendidikan di pondok pesantren bukan hal yang dapat dilalui dengan mudah. Di pesantren, para santri dibebani tanggung jawab untuk mandiri dan rela berbagi.
“Di pesantren, kita jauh dari rumah dan orang tua. Biasanya, makan tinggal makan, tidak perlu antre, pengin apapun tinggal minta. Tetapi, di pesantren kita menjalani tarekat dengan sendirinya. Kita hidup berdampingan dan kerap harus rela mendahulukan kepentingan orang lain,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut putri KH Zamzami Mahrus tersebut, ada metode khusus yang penting diterapkan para santri agar bisa meraih ilmu yang bermanfaat selama mengenyam pendidikan di pesantren. “Praktik di pesantren harus dengan metode ‘paksa.’ Mendisiplinkan diri dan menerapkan manajemen waktu dengan baik,” katanya.
Baca: Gus Ahmad Lirboyo: Lingkar Pertemanan Tentukan Kualitas Belajar
“Kalau saat belajar kita menunggu semangat datang sendirinya, tidak akan pernah bisa berjalan. Semuanya harus dipaksakan,” sambung Ning Sheila.
Kedisiplinan itu juga diwujudkan melalui rutinitas untuk menginventarisir dan mengevaluasi target-target yang dikejar dalam sehari terakhir. Jika masih ada sisa tanggung jawab yang belum tertunaikan, maka hal itu sebisa mungkin harus dipenuhi.
“Setelah terbiasa menerapkan metode ‘paksa,’ makaa harapannya lama kelamaan akan istikamah. Nah, dari konsistensi inilah maka akan muncul apa yang disebut dengan keberkahan waktu,” katanya.
Keberkahan waktu ditandai dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas kebaikan diri. Seseorang yang sudah meraih keberkahan waktu, niscaya kesehariannya akan diliputi dengan nilai-nilai kebaikan dan kemanfaatan.
“Kita dan para kiai itu sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Tetapi, kenapa para ulama bisa lebih banyak melakukan kebaikan sementara kita tidak? Itulah yang dimaksud keberkahan waktu,” kata Ning Sheila.
Bahkan, lanjut Ning Sheila, keberkahan waktu ini kadang tidak bisa gampang dicerna akal. Orang-orang yang telah meraih keberkahan waktu cenderung memiliki kebiasaan yang mengagumkan yang tidak biasa dilakukan keumuman orang.
“Dalam kitab At-Tibyan, dikisahkan beragam kebiasaan ulama dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Ada yang satu bulan sekali, berarti ulama tersebut membaca satu juz per harinya. Kemudian ada yang sebulan dua kali khatam, ada yang seminggu sekali, bahkan ada yang sehari bisa delapan kali khatam,” katanya.
Baca: Analogi Masuk Akal Ikhtiar dan Tawakal ala Buya Said Aqil
“Itu wadzifah loh, rutinitas, bukan yang hanya dilakukan sekali dua kali, tetapi terus-menerus. Kalau sehari delapan kali khatam, itu sudah di luar nalar,” kata Ning Sheila.
Ning Sheila juga meluruskan bahwa kebiasaan melampaui kebiasaan itu bukan berarti karena dilakukan secara sembarang. Hanya, kata dia, keberkahan waktulah yang membuat orang-orang khusus bisa melakukan sesuatu yang hampir mustahil dikerjakan orang awam.
“Beliau-beliau tetap membaca sesuai dengan hak-hak Al-Qur’an. Tetapi, karena waktu mereka sudah berkah, jadi bisa tampak luar biasa,” katanya.
Untuk itu, ia berpesan agar para santri pantang patah arang dan selalu mengimbangi niat dan doa dengan ikhtiar dan tingkat kedisiplinan yang kuat.
“Jangan sampai pengorbanan yang kita terima selama di pesantren tidak menghasilkan ilmu yang bermanfaat,” pungkasnya.